Ada periode di mana seorang anak menolak untuk mendengarkan nasihat kedua orang tuanya. Menganggap dirinya tak lagi dimengerti oleh Moms dan Dads, dan merasa bisa melakukan segalanya seorang diri, sesuai dengan keinginannya. Periode yang disebut sebagai masa remaja.
Fisik hingga perilaku! Banyak perubahan yang terjadi dalam diri seorang anak memasuki masa praremaja lalu menjadi remaja seutuhnya. Faktor penyebabnya pun beraneka ragam, mulai dari perubahan hormon, pengaruh lingkungan, hingga peer pressure.
Menghadapi Si Kecil yang mulai memasuki masa praremaja dan remaja tentu tak mudah ya, Moms. Tapi asal tahu kuncinya, Moms pasti bisa melalui fase ini tanpa harus “beradu ego” dengan sang buah hati.
No worries, M&B akan membawa Moms dan Dads untuk lebih mengenal karakter Si Anak praremaja, dan memberi contekan bagaimana menghadapi mereka!
“No matter how good you are, at some point your kids are gonna have to create their own independence and think that Mom and Dad aren’t cool, just to establish themselves. That’s what adolescence is about. They’re gonna go through that no matter what.”
- Eddie Vedder (Musisi Amerika Serikat)
Banyak orang tua yang menyiapkan diri mereka untuk menghadapi fase remaja sang anak. Padahal, masa praremaja menjadi satu tahapan yang tidak kalah menantang, bahkan bagi sang anak. Fase ini umumnya terjadi pada usia 8-12 tahun, di mana mereka sudah bukan lagi anak-anak, tapi juga belum disebut sebagai remaja. Dan secara tiba-tiba, Moms akan merasa Si Kecil yang menggemaskan berubah menjadi sosok yang paling menyebalkan dengan segala sikapnya–duh!
Di fase praremaja, anak Anda akan menunjukkan banyak perubahan karakter sebagai transisi menuju kedewasaan, baik secara kognitif, fisik maupun emosional. Kondisi ini tentu membuat Anda merasa kewalahan, begitu juga timbul rasa ketakutan pada pribadi sang anak. Lalu, bagaimana cara menghadapi berbagai situasi yang terjadi saat buah hati Anda memasuki fase praremaja? Moms dan Dads bisa mengikuti panduan berikut ini.
Di fase praremaja, Moms akan merasa lebih sulit mendapatkan jawaban dari “Bagaimana hari kamu di sekolah?”, karena biasanya anak justru merasa terganggu dengan pertanyaan semacam itu. Jadi Laura Kirmayer, seorang psikolog klinis dari Child Mind Institute, menyarankan agar orang tua memposisikan diri sebagai pendengar untuk anak. “Kalau Anda benar-benar hanya duduk, tanpa pertanyaan, dan hanya mendengarkan, kemungkinan besar Anda akan mendapatkan informasi tentang kehidupan anak yang Anda inginkan,” jelas Laura. Metode pendekatan tidak langsung ini juga mengajak Anda sebagai orang tua untuk tidak mencoba ikut campur dalam menyelesaikan masalah yang anak alami, tetapi tetap siap sedia untuk memberikan saran dan solusi yang mereka minta sendiri.
Terjadinya komunikasi antara orang tua dengan anak praremaja juga dipengaruhi oleh sikap Anda. Apabila Anda memberi penilaian atau menghakimi suatu hal, anak juga ikut menilai diri Anda. Mereka akan mencari tahu karakter orang tuanya kasar atau kritis atau masa bodoh dari komentar Anda pada hal sederhana, contohnya cara berpakaian anak, dan lainnya. Jika sang anak tidak menyukai karakter yang ia nilai dari Anda, maka intensitas komunikasi antara orang tua dan anak pun jadi terpengaruh.
Pada anak praremaja, akan semakin muncul keinginan untuk mampu berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain, termasuk pada orang tuanya. Dan saat kemandirian ini semakin nampak ke permukaan, akan ada berbagai rahasia yang anak miliki tanpa ingin Anda ketahui. Di keadaan ini, Anda tidak perlu merasa ‘ditolak’ oleh anak sendiri. Mereka bukan dengan sengaja menjauhkan diri atau menentang apapun yang ingin Anda ketahui lebih jauh. Tapi, sang anak sedang berproses untuk belajar mengenal dirinya, keinginannya, kebutuhannya, dengan caranya sendiri. Dan faktanya, peran Anda untuk tetap mendampingi sang anak masih sangat dibutuhkan di fase ini.
Semakin bertambahnya usia, anak pun semakin mengenali dirinya sendiri secara fisik maupun mental. Di fase praremaja, mereka pun ingin menentukan yang terbaik bagi mereka tanpa memandang gender. Maksudnya, orang tua bisa mendorong sang anak perempuan untuk aktif berolahraga apapun yang dia mau, termasuk sepak bola atau bela diri. Begitupun dengan anak laki-laki, yang perlu didampingi agar mampu menunjukkan sisi emosional di dalam dirinya. Mereka perlu menjadi sensitif untuk tahu bahwa mereka dicintai, boleh menangis dan merasa vulnerable. Sebab, sisi maskulin dan feminin seseorang bukan berdasarkan gender, tetapi dimiliki setiap manusia dan itu perlu mendapatkan validasi, terutama pada anak praremaja dari orang tuanya.
Moms dan Dads mungkin selalu menyediakan waktu untuk bisa bercengkrama dengan anak-anak. Tapi, ada sedikit perbedaan ketika Anda ingin semakin mengenal praremaja. Untuk membuat mereka terbuka dan mau berbicara, orang tua perlu berikan satu atau dua momen dalam seminggu yang dihabiskan bersama anak. Berikan perhatian penuh tanpa adanya gangguan, seperti pekerjaan atau notifikasi ponsel di waktu tersebut. “Quality time ini sangat penting untuk membuat praremaja merasa diakui keberadaan dan perasaannya, sehingga mereka tidak menarik diri untuk berkomunikasi dengan orang tuanya,” tambah Laura.
Pada poin ini, bukan maksudnya orang tua ikut-ikutan membuat konten dari tren yang terjadi di kalangan praremaja, ya. Namun, Anda perlu tahu hal-hal yang populer, terutama di internet dan media sosial saat ini. Dengan begitu, Anda bisa membantu anak untuk memilah nilai-nilai dari tren tersebut, yang bisa diikuti dan tidak perlu dilakukan oleh sang anak. Untuk mendiskusikannya, jangan terlalu serius, ya. Lakukan dengan santai, sisipkan lelucon yang justru akan membuat Anda dan anak bisa semakin dekat serta terbuka saat membahasnya.
Catherine Steiner-Adair, seorang psikolog dari Harvard, konsultan sekolah, dan penulis buku The Big Disconnect menyebutkan bahwa orang tua perlu belajar menunjukkan reaksi di depan praremaja. Maksudnya, ketika anak sedang mengalami situasi yang buruk, jangan bereaksi berlebihan. Dan bukan juga dengan mengabaikan perasaan dan kondisinya begitu saja. Jika mereka ingin menangis, Anda cukup menenangkannya dengan memeluk dan ‘ada’ untuknya. Atau saat anak sedang bersemangat, Anda tentu perlu menunjukkan rasa senang yang secukupnya saja.
Seks, narkoba, kesehatan mental, dan masih banyak topik lain yang sering dianggap tabu bagi orang tua untuk dibicarakan dengan anak. Namun kenyataannya, hal ini perlu dibahas dan menjadi bahan diskusi, khususnya bersama anak praremaja. Dengan begitu, mereka bisa mendapatkan informasi yang akurat dan terarah, dibandingkan jika mencarinya di internet secara sembarangan. Anak praremaja juga dapat memiliki fondasi prinsip yang kuat jika dapat membahas hal-hal tabu dengan orang yang tepat, yaitu orang tua.
Rasa bingung yang Moms dan Dads alami saat Si Kecil beranjak memasuki usia praremaja tentu wajar terjadi. Pasalnya, mereka cenderung jadi anak yang sulit diatur dan bahkan sudah mulai memberontak. Anda pun perlu peka pada kondisi yang ditunjukkan anak saat memasuki usia tersebut. Apa saja ya, tandanya?
Ketika anak berada di fase praremaja, Moms dan Dads mungkin mulai menyadari adanya perubahan karakter yang ditunjukkan sang anak. Dilansir dari Parentcircle.com, Nivedita Mukerjee, seorang konsultan pendidik dan penulis, mengobservasi perilaku anak praremaja secara umum, sebagai berikut:
Selain karakter ini, anak Anda mungkin juga menunjukkan ‘red flag’ di fase praremaja yang perlu orang tua beri perhatian lebih. Tak hanya sering memberontak, anak juga justru masih sering bergantung atau manja pada orang tua. Sebagian juga memiliki prestasi yang kurang baik, dari sisi akademik maupun kemampuan lainnya. Apabila hal-hal ini yang ditunjukkan anak Anda, tidak ada salahnya berdiskusi dengan psikolog untuk menemukan langkah tepat menghadapi situasi tersebut.
Pubertas merupakan suatu tahap perkembangan seorang anak menjadi dewasa secara seksual. Sebagai catatan, periode pubertas bagi anak perempuan dan laki-laki, berbeda. Pada anak perempuan, pubertas pada umumnya terjadi pada rentang usia 10 hingga 14 tahun. Sedangkan pada anak laki-laki, pubertas terjadi pada kisaran usia 12 hingga 16 tahun. Selain faktor jenis kelamin, munculnya tanda pubertas juga bisa dipengaruhi oleh asupan gizi serta faktor genetik.
Meskipun ada perbedaan tanda pubertas antara anak perempuan dan laki-laki, pada umumnya anak akan mengalami pertumbuhan tinggi yang signifikan memasuki periode ini. Pertumbuhan cepat ini bisa dikategorikan sebagai growth spurt dan biasanya berlangsung selama 2 hingga 3 tahun.
Selain itu, anak perempuan dan laki-laki juga mulai mengalami perubahan bentuk tubuh memasuki masa pubertas. Anak perempuan biasanya akan terlihat lebih curvy, khususnya di bagian pinggul. Sedangkan anak laki-laki perubahan terjadi pada bagian bahu yang menjadi lebih lebar.
Last but not least, jerawat juga akan muncul memasuki masa pubertas. Kondisi ini berlaku baik anak perempuan maupun laki-laki.
Tidak sedikit dari orang tua yang merasa kewalahan saat menghadapi anak di usia praremaja. Salah satu tantangannya adalah membangun kedekatan dengan anak, di saat ia memiliki keinginan lebih besar untuk dekat dengan lingkungan pertemanan. Selain itu, orang tua juga kesulitan untuk menanamkan kedisiplinan di fase praremaja ini.
Anda tidak bisa terlalu tegas hingga membentak anak saat menegurnya, tetapi juga jangan menjadi lunak dengan sikap yang terlalu lembut. Akan lebih baik jika disiplin diajarkan dengan positif, sehingga akan membuat anak tetap perhatian, bertanggung jawab, serta menghormati Anda hingga usia remaja dan seterusnya.
Setidaknya, ada 8 hal yang dianjurkan Dr. Laura Markham, psikolog klinis dari Universitas Columbia dan penemu Aha! Parenting untuk orang tua yang memiliki anak praremaja. Lebih jelas, Anda perlu mencatat poinpoin berikut ini:
Ada beberapa perubahan sikap yang kerap terjadi pada anak yang tengah memasuki fase praremaja. Pertama, mereka cenderung lebih suka melakukan segala sesuatunya sendiri tanpa ditemani orang tua. Sebagian besar anak-anak di fase ini juga lebih memikirkan penampilan mereka. Dan yang tak kalah kentara adalah munculnya sikap membangkang!
Sikap membangkang pada anak praremaja bisa bermanifestasi dalam banyak hal. Ada yang sekadar bersikap seolah tak peduli omongan orang tua, ada yang pura-pura tak mendengar saat dipanggil, dan ada pula pembangkangan dalam hal yang lebih parah. Misalnya, anak bolos sekolah, tak mau mengerjakan tugas-tugasnya, atau bahkan melakukan aksi vandalisme dan kriminal.
Namun pertanyaannya, mengapa sebagian besar anak mulai menunjukkan sikap rebel atau membangkang saat memasuki usia praremaja? Apakah benar, sikap membangkang tersebut dilakukan tanpa alasan? Berikut penjelasannya.
Selama masa praremaja dan remaja, area otak yang disebut prefrontal cortex masih dalam proses berkembang. Perlu diketahui, prefrontal cortex merupakan bagian otak yang hanya dimiliki manusia dan berfungsi untuk mengatur fungsi eksekutif, yaitu membuat keputusan, memecahkan masalah, mengontrol diri, mengingat instruksi, menimbang konsekuensi, dan lain sebagainya.
Jika anak-anak yang lebih muda tidak melihat adanya “cacat” dalam pola asuh orang tua, anak praremaja justru mulai melihat adanya sesuatu yang tidak sesuai pola pikir mereka. Otak mereka mulai menilai segala hal yang dilihat dan dirasakan, walau tak semuanya benar. Mereka mulai mengembangkan ide-ide tertentu dalam otak yang belum sempurna tersebut.
“Mereka menyusun ide bagaimana sesungguhnya orang tua yang ideal berdasarkan apa dilihat dari orang tua teman, film, atau media sosial. Dan saat anak-anak membandingkan orang tua sendiri dengan gambaran yang terdapat dalam diri orang lain, mereka menginginkan hal lain. Anak-anak tersebut akan menganggap orang tua mereka tidak bisa berpakaian, berbicara, atau bersikap sesuai standar mereka. Bahkan bisa saja mereka menganggap orang tua sebagai sesuatu yang memalukan,” jelas David Elkind, PhD., seorang profesor perkembangan anak sekaligus penulis buku “All Grown Up and No Place to Go”, seperti dilansir situs WebMD.
Kemampuan baru yang dimiliki prefrontal cortex bisa mengubah informasi menjadi ide-ide. Di periode ini, anak-anak memiliki kecenderungan untuk mengasah “kemampuan baru” otak mereka, caranya adalah dengan berargumentasi. Nah, biasanya mereka memilih orang tua, sebagai orang terdekat, untuk menjadi lawan berargumentasi. Alhasil, yang terlihat adalah anak praremaja yang suka membangkang atau tidak menuruti perkataan orang tuanya.
Tidak dapat dipungkiri, salah satu cara individu untuk bisa diterima oleh orang lain adalah dengan mengikuti tren. Hal serupa juga berlaku bagi anak praremaja dan remaja. Jika Moms perhatikan, anak akan melakukan hampir segala hal yang tengah menjadi tren di kalangan mereka dan semua itu dilakukan agar bisa diterima atau bahkan menjadi populer. Misalnya, mengikuti gaya pakaian artis Korea yang sedang nge-hits. Ada juga anak yang mulai merokok demi terlihat keren di kalangan teman-temannya.
“Kini kebanyakan anak-anak mulai mendapat tekanan sosial di usia 13 dan 14 tahun, saat mereka masih terlalu muda untuk menolak. Namun bukan perkembangan anak yang berubah, melainkan tuntutan sosial yang datang terlalu cepat,” ungkap Elkind.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, anak praremaja sudah mulai memiliki pemikiran apa yang terbaik bagi mereka. Sayangnya, apa yang dianggap terbaik oleh anak bukan yang paling tepat di mata orang tua. Nah, keinginan besar untuk melakukan hal yang dianggap ideal oleh anak inilah yang nantinya mendorong mereka untuk membangkang. Mereka ingin merasakan kebebasan untuk melakukan apa yang diinginkan.
Kebebasan yang diinginkan anak nantinya akan berwujud kemampuan untuk mengontrol. Mereka ingin segala sesuatunya berjalan sesuai kemauan sehingga muncul kecenderungan untuk menolak atau mengabaikan perintah orang tua.
Pada sebagian besar anak praremaja, sikap membangkang berhubungan dengan perkembangan karakter dan kemampuannya berpikir. Akan tetapi ada pula anak praremaja yang membangkang guna mendapatkan perhatian. Biasanya hal ini terjadi pada anak yang kekurangan kasih sayang dari orang tua.
Memasuki usia praremaja, anak akan melalui perubahan fisik yang cukup signifikan, termasuk perubahan hormon. Hal ini bisa memicu tindakan kasar atau pengambilan keputusan yang terkesan tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Tentu saja, perubahan hormon tidak bisa dianggap sebagai penyebab perilaku buruk pada anak praremaja. Namun kondisi tetap memiliki peranan dalam perubahan sikap anak.
Orang tua perlu mengajarkan tentang pendidikan seks sejak dini. Semua diawali dengan mengenalkan perbedaan alat kelamin laki-laki dan perempuan, serta perubahan fisik yang terjadi seiring dia bertumbuh. Hal ini pun menjadi semakin jelas ketika anak berada di fase praremaja. Seperti mulai usia 8 tahun, anak sudah bisa diperkenalkan dengan informasi mengenai pubertas, yaitu tentang menstruasi dan mimpi basah.
Pada fase ini pula, orang tua bisa memberikan informasi yang lebih mendalam mengenai reproduksi secara biologis. Hal tersebut juga diiringi dengan pemahaman mengenai hubungan pertemanan yang sehat dan hubungan yang tidak sehat. Jangan lupakan juga pengenalan tentang nilai-nilai sosial, seperti mengekspos diri sampai ke hal-hal privasi ke publik yang bisa merugikan dirinya sendiri dan bahkan masa depannya nanti.
Selain penjelasan tersebut, orang tua juga perlu menjabarkan aspek seksualitas pada anak. Artinya, Anda perlu berbicara tentang sikap seksual, kesehatan dan perilaku seksual, orientasi seksual, kenikmatan seksual dan penyakit menular seksual. Anda bisa menekankan pada orientasi seksual, yang berkaitan dengan LGBTQ+ yang semakin dibahas beberapa tahun ke belakang. Sebab, bahasan LGBTQ+ di Indonesia masih merupakan hal yang tabu, seperti dikutip dari jurnal yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (KEMENPPPA). Karenanya, orang tua perlu membahas tentang hal ini pada anak, terutama saat ia berada di usia praremaja.
Kaines Adriana Kayra kini menginjak usia 10 tahun. Cukup banyak perubahan yang terjadi pada putri tunggal Endhita ini, mulai dari sikap hingga kebiasaan. Lantas bagaimana Endhita dan sang suami, Arlonsy Miraldi alias Oncy ‘Ungu’, menghadapinya? Apa saja yang dilakukan aktris sekaligus model tersebut untuk menjaga agar jarak antara dirinya dengan sang buah hati tak bertambah jauh?
Penasaran? Yuk, simak sharing Endhita sebagai ibu dari anak praremaja kepada Mother & Beyond berikut ini.
Pastinya, mulai ada jarak. Memasuki fase praremaja, anak lebih ingin sendiri. Oleh sebab itu, kita sebagai orang tua perlu memberi privacy kepada anak. Namun sebisa mungkin, kita tetap ngobrol dengan anak sebelum tidur. Bisa membicarakan apa saja, seperti suka duka sepanjang hari itu.
Pengalaman paling seru, mungkin menghadapi anak praremaja yang mulai ingin rebel. Ingin bisa sendiri. Kalau sudah begitu, sebagai orang tua kita perlu memberi kepercayaan kepada mereka.
Nah kalau dukanya, saya sesungguhnya ingin menanamkan kepada anak untuk terbiasa bercerita tentang apa saja ke saya. Karena selain sebagai orang tua, saya juga ingin menjadi sahabatnya.
Namun rupanya dia masih memiliki pendapat yang berbeda. Meski begitu, saya tidak putus asa. Setiap sebelum tidur, saya selalu membisikkan kepadanya ‘Mommy love you. Mommy sahabat kamu dan kamu hanya bisa cerita apa saja ke mommy karena teman-teman kamu tidak lebih tahu dibandingkan mommy’.
Tentunya lebih sulit remaja karena mereka sudah punya pendapat sendiri. Selain itu, dunia mereka juga berbeda, zaman berbeda. Akan tetapi sebagai orang tua, kita harus lebih sering meluangkan waktu dengan anak, berbicara dengannya, dan mengingatkan bahwa mama dan papa selalu sayang kamu.
“Saya sesungguhnya ingin menanamkan kepada anak untuk terbiasa bercerita tentang apa saja ke saya. Karena selain sebagai orang tua, saya juga ingin menjadi sahabatnya.”
Saya cenderung disiplin sekaligus memberikan pengertian. Selalu ada pengertian dari pihak anak untuk mengetahui apa kesulitan yang dihadapi dan masalah yang menyebabkan dia menjadi tidak disiplin. Dihukum, ya! Akan tetapi jika perlu saja.
Diamkan dulu tapi jangan lama-lama. Jangan menyimpan amarah hingga waktu tidur. Setelah itu, perlu diajak ngobrol ringan dan tidak dengan nada tinggi. Kalau perlu, selipkan humor yang memang disukai oleh anak.
Ehm, pastinya sering membahas masalah ini terlebih dahulu dengan anak. Namun tentunya, pembicaraan harus dilakukan secara private.
“Memasuki fase praremaja, anak lebih ingin sendiri. Oleh sebab itu, kita sebagai orang tua perlu memberi privacy kepada anak. Namun sebisa mungkin, kita tetap ngobrol dengan anak sebelum tidur.”
Kebetulan sex education akan mulai diajarkan di sekolah. Namun tentunya saya sudah mulai sounding ke anak sejak jauh-jauh hari.
Kalau saya pribadi, karakteristik ideal dari orang tua yang memiliki anak praremaja adalah orang tua yang memiliki pengertian dan juga kasih sayang. Jangan lupa waktu yang berkualitas bersama anak harus tetap ada. Waktu berkualitas dalam arti momen tanpa gangguan handphone.
Sabar, sabar, dan sabar. Karena apa yang kita tanam atau apa yang didik kepada anak saat ini adalah bekal untuk kepribadiannya nanti setelah dewasa.
Di usia 10 tahun ini, Melissa merasa Lucius Jazz Tikvatenu Tampubolon merupakan anak praremaja yang baik dan tidak neko-neko. Kehidupannya yang unik, yaitu memiliki satu ibu dan dua ayah justru membuat Jazz menjadi anak yang disiplin dan mandiri. Melissa pun berbagi caranya menghadapi Jazz sebagai anak pra-remaja dengan keterbukaan dan kasih sayang kepada M&B. Baca selengkapnya berikut ini, Moms.
Rasanya ngeri-ngeri sedap, ya.
Bersyukur karena Jazz termasuk easy preteen, dia pun masih suka bermain dengan mainannya sendiri dan main game online juga. Mungkin karena terpengaruh dari lingkungan sekolah yang mengajarkan tentang value, like being good and being kind. Nilai-nilai ini lebih penting dari nilai akademik. Jadi, senakal-nakalnya Jazz di kelas 6 ini rasanya tidak terlalu membangkang seperti saya dahulu, ya.
Bagi saya, setiap fase usia anak punya tantangannya masing-masing. Saat bayi, kesulitannya karena mereka belum bisa bicara dan mengekspresikan perasaannya. Saat balita, jadi fase paling melelahkan karena Jazz sangat aktif. Kalau meleng sedikit, dia bisa jatuh karena memang anaknya kinestetik dan susah untuk diam.
Dan di fase praremaja ini, dia sudah bisa talk back to us. Maksudnya, dia sudah kasih respon balik yang kritis, ya. Apalagi sudah ada pengaruh dari hormonal yang belum seimbang dan juga dunia internet. Jadi, saya ajak Jazz ngobrol panjang tentang hal ini supaya dia bisa membedakan cara merespon di dunia nyata yang berbeda dengan dunia internet. Dan tidak jarang jadi bersikap sok pintar, yang mungkin karena pengaruh dari internet yang luas, ya.
Jazz sendiri punya ayahnya, saya dan ayah tirinya. Dan karena saya adalah seorang ibu bekerja, jadi Jazz lebih sering berinteraksi dengan ayah dan ayah tirinya yang cenderung disiplin. Sejak dua-tiga tahun lalu, dia sudah membuat jadwalnya sendiri tanpa bantuan saya. Bahkan, dia sudah terbiasa untuk memasak untuk dirinya sendiri dan juga kami serumah. Tapi, tentu saja dia mungkin lupa dengan tugasnya. Nah, cara mengajarkan disiplinnya pun tidak otoriter. Jadi, Jazz benar-benar paham bahwa setiap hal dan rencana yang dia punya bisa berjalan baik kalau dia disiplin dengan waktu dan dirinya sendiri.
“Saya posisikan diri bukan sebagai orang tua, tapi sebagai teman saat ngobrol dengan Jazz. Jatuhnya bukan menasihati atau memberi saran, tapi saya sharing pengalaman yang pernah dialami saat seusianya.”
Saya posisikan diri bukan sebagai orang tua, tapi sebagai teman saat ngobrol dengan Jazz tentang masalah ini. Jatuhnya bukan menasihati atau memberi saran, tapi saya sharing pengalaman yang pernah dialami saat seusianya. Tapi, saya sendiri juga masih belajar mengenal Jazz, belajar mengatur emosi dan bicara di level yang sama dengannya.
Saya sampaikan juga ke Jazz bahwa setiap orang punya masalahnya masing-masing dan pastinya ingin kembali merasa nyaman. Jadi, satu sama lain sebagai keluarga perlu saling dukung dan ‘ada’ agar bisa merasa lebih baik, lebih sehat secara fisik dan juga emosional. Kami pun jadi bisa lebih mengontrol sebelum berbicara atau menunjukkan rasa emosi.
Jazz sendiri paham kalau dia sedang ada di fase pubertas. Dan meski kami tidak terlalu religius, Jazz mengaku mengenal dari Youtube juga bahwa berdoa jadi satu cara untuk menenangkan rasa cemas dan ketakutannya. Dia meminta dalam doanya untuk bisa menghadapi rasa akutnya, bisa merasa lebih baik dan lebih tenang.
Saya juga beri pemahaman pada Jazz bahwa tidak akan ada yang menyelamatkan dan memberikan kebahagiaan kita. Tapi, diri kita sendiri yang bertanggung jawab untuk hal itu. Jadi kalau ada yang membuat kita marah, tidak apa ditunjukkan asal jangan sampai merusak hari yang dijalani. Karena kita adalah bos dari diri sendiri. Dan kalau kita bisa mengontrol hal tersebut, maka diri kita bisa berfungsi kembali, yaitu untuk membantu diri sendiri dan juga orang lain.
Sejak Jazz masih kecil, saya kenalkan tentang seks dengan apa adanya saja. Saya tidak menggunakan istilah apapun, jadi penyebutannya tetap penis dan vagina tanpa mengubahnya sama sekali. Saya sendiri juga seorang aktivis dan ikut menyuarakan tentang LGBT, jadi tidak ragu untuk membahas hal yang tabu dengan anak. Tapi ternyata, Jazz yang justru merasa tidak nyaman jika membahas hal tersebut di usianya saat ini. Saya pun tidak mau memaksa, nanti juga ada waktunya anak dapat berdiskusi dengan orang tua soal seks dengan kedewasaan yang mereka miliki nanti.
“Saya beri pemahaman pada Jazz bahwa tidak akan ada yang menyelamatkan dan memberikan kebahagiaan kita. Tapi, diri kita sendiri yang bertanggung jawab untuk hal itu.”
Buat saya, tidak ada kata ideal atau sempurna untuk hal ini. Saya tentu ingin menjadi orang tua yang terbaik dan bisa menunjukkan rasa kasih sayang kepada anak. Tapi dengan background di mana saya tumbuh dengan emotionally immature parents, ini tentu bukan hal mudah. Saya cukup pemarah, terutama saat di masa muda karena pengaruh dari lingkungan ketika kecil dulu. Jadi, saya juga belajar dan berusaha untuk tidak membuat Jazz mengalami hal yang sama dengan yang saya alami.
Sabar jadi kuncinya, ya. Sabar menghadapi anak dan memahami bahwa mereka juga masih belajar banyak hal dalam kehidupannya. Toh, kita orang tua juga pernah berada di usia mereka dan mengalami banyak hal. Dan juga mengerti bahwa meski sudah jadi orang tua, kita dan anak pun belajar untuk menjadi orang yang baik dan penuh kasih bagi diri sendiri maupun sesama.