Ibu dari Anaku Askara Biru (Kawa) dan Anaku Tarisma Jingga (Tabi) ini juga menceritakan pesan di balik single terbarunya “Anaku Sayang” yang rilis tanggal 22 Desember lalu sebagai ‘hadiah’ bagi para ibu tangguh di luar sana. Penasaran dengan kisahnya? Read on, Moms!
Kekhawatiran itu pasti ada, maka sejak tahu hamil anak kedua, saya memang langsung melakukan beberapa antisipasi untuk mengurangi kemungkinan sibling rivalry. Beberapa hal yang saya lakukan adalah mengedukasi Kawa tentang makhluk hidup yang ada di perut saya, yang ketika lahir nanti akan menjadi adiknya Kawa. Saya juga mencari tahu lebih lanjut mengenai penyebab sibling rivalry, dan sebagian besar itu karena atensi yang harus terbagi atau bahkan ‘tercuri’ sehingga Si Kakak tidak mendapat perhatian sama sekali. Maka sebisa mungkin saya mencurahkan perhatian ke Kawa, agar tidak merasa dijauhkan dengan hadirnya Tabi. Sejak awal saya sudah dekatkan Kawa dengan adiknya yang masih di dalam perut, saya bilang ke Kawa, “Adik kamu namanya Tabi, nanti kalau lahir dia belum bisa apa-apa. Nanti kita bantu Tabi ya,” dan saya lakukan itu setiap hari. Saya tidak mau memaksakan perasaan Kawa, saya tidak mau dia terpaksa membantu ibu mengurus adik, saya mau dia melakukannya karena punya empati, bukan karena harus.
Nah, menjelang persalinan Tabi, saya sudah tanya Kawa, “Tabi tadi bertanya, Kawa mau kado apa? Tabi bilang dia mau kasih kado karena senang akan lahir dan bertemu kita semua.” Cara ini bikin Kawa juga senang dan excited, akhirnya bisa bertemu Tabi. Saking semangatnya untuk bertemu Tabi, Kawa sampai tidak bisa tidur menunggu lahirnya Tabi, yang kebetulan dilakukan di rumah dengan proses waterbirth.
Dari sebelum melahirkan, ada sahabatku yang bilang kalau nanti pasti ada fase saya merasa kangen berat dengan Kawa, walaupun sehari-hari Kawa ada di samping saya. Ternyata benar, beberapa hari setelah melahirkan, saya merasakan hal itu. Saya sampai menangis tersedu-sedu saking kangennya dengan Kawa, saya merasa selama ini belum maksimal meluangkan waktu bersama Kawa. Menurut saya pengalaman ini haru sekaligus unik, karena setiap hari enggak pernah pisah sama anak, tetapi tiba-tiba merasa kangen banget dan bahkan sempat merasa kehilangan Kawa. Saya sempat takut hadirnya anak kedua membuat keadaan tidak sama seperti yang dulu lagi. Tetapi syukurlah kekhawatiran itu cuma sesaat, mungkin hanya selama 2-3 hari.
Bagi saya, tantangan terberat selama menjadi ibu adalah menghadapi diri sendiri. Karena faktor eksternal kan pasti ada saja ya, mungkin kesulitan di tempat kerja, sulit bagi waktu, kesulitan membuat prioritas, hingga harus menghadapi judgment atau cibiran dari orang lain. Tapi saya rasa kalau dari diri sendiri sudah merasa kuat, maka semua itu pasti bisa dilalui.
Permasalahannya, ketika kita gagal membagi waktu, maka ada hal terberat yang harus kita hadapi, yaitu menghadapi judgment dari diri sendiri. “Aduh saya ini ibu macam apa, masa gitu saja enggak bisa,” dan label-label negatif lainnya yang kita ucapkan pada diri kita sendiri. Contoh lainnya adalah ketika kita dicibir orang lain, lalu cibiran itu yang membuat kita melabeli diri kita sendiri. Menurut saya itulah hal yang membuat kita tidak kuat, tidak tangguh.
Menurut saya tantangan terbesar bagi setiap orang tua di tengah pandemi ini adalah melihat anak kehilangan ruang untuk bermain. Yang biasanya anak-anak bisa bermain bebas di playground atau di taman, sekarang semua arena yang menyenangkan itu ditutup. Padahal sebenarnya yang butuh ruang gerak paling banyak adalah anak, tetapi justru gerak anak yang paling terbatas di pandemi ini. Orang dewasa atau lansia justru lebih bebas bisa ke mana-mana, sedangkan anak tidak bisa demikian.
Kalau bagi orang tua kita dulu, berkarier dan berumah tangga itu harus bisa “work-life balance,” kalau sekarang jadi “work-life blend,” karena pandemi ini orang tua harus bekerja dari rumah. Ketika kita bekerja, ada anak. Tetapi saat bermain dengan anak, juga ada pekerjaan. Hal itu pasti membuat orang tua sulit untuk fokus di dua profesi ya, baik profesi sebagai ibu juga sebagai orang yang bekerja. Itu tantangan terberat di pandemi ini menurut saya.
Kalau mereka memang tertarik untuk berprofesi di dunia musik, silakan saja, tetapi itu semua benar-benar terserah mereka. Saya tidak akan memaksakan anak untuk menggeluti suatu profesi. Saya hanya berharap mereka bisa berkarier sesuai dengan ‘blue print’ mereka, karena saya yakin mereka pasti akan tersiksa banget jika harus berkarier di bidang yang tidak sesuai dengan ‘blue print’ mereka. Jadi kalau ditanya boleh atau tidak Kawa & Tabi jadi musisi, jawabannya boleh, asalkan itu sesuai dengan mereka.
Saya baru menemukan kalau saya adalah pengarang lagu yang hebat setelah punya anak. Entah saya membuat lagu baru dengan sangat spontan, entah lagu lama saya ganti liriknya, hingga terciptalah melodi-melodi yang bisa menghibur anak-anak. Bagi saya, seni adalah cara paling efektif untuk bonding (memperkuat ikatan ibu-anak), mengajarkan nilai-nilai kehidupan, dan mengenalkan karakter pada anak. Seni yang saya maksud bisa seni apapun, tetapi seni musik adalah yang paling mudah karena enggak perlu alat. Sebegitu berpengaruhnya musik dalam kehidupan sehari-hari kami, karena hampir semua aktivitas jadi lebih mudah dan seru dilakukan dengan sentuhan seni, khususnya musik.
Setelah menciptakan lagu “Belahan Jantungku” untuk anak pertama saya, Kawa, maka saya menciptakan lagu “Anaku Sayang” untuk anak kedua saya, Tabi. Diberi judul “Anaku Sayang” karena selain menunjukkan rasa sayang, kebetulan kedua anak saya namanya Anaku, yaitu Anaku Askara Biru dan Anaku Tarisma Jingga.
Ibu itu penuh akan rasa tidak percaya. Baik pada dirinya, maupun kepada dunia yang dihadapinya. Tapi ibu bisa mendapatkan sumber kekuatan dari anaknya, dari rasa cintanya terhadap buah hatinya.
Lagu ini menceritakan besarnya cinta ibu pada anaknya, dan betapa setiap anak sangat berarti di hidup ibunya. Di lagu ini ada lirik “Kau membuatku percaya menghadapi dunia,” karena faktanya banyak ibu yang tidak percaya dengan kemampuan dirinya sendiri, merasa enggak akan bisa menjadi ibu yang baik. Tetapi begitu anaknya lahir, ibu pasti mencoba menjalankan perannya sebaik mungkin. Jadi akhirnya yang membuat ibu percaya adalah anaknya sendiri, itulah poin dari lagu “Anaku Sayang” ini.
Menjalankan peran ibu pasti ada saja tantangannya, tetapi setiap ibu punya pilihan, setiap pilihan pasti enggak mudah dan punya risiko. Kalau sudah yakin dengan pilihannya, jalankanlah! Rasa struggle atau harus berjuang dimulai dari rasa tidak percaya pada diri sendiri. “Saya mampu enggak, ya? Bisa enggak, ya?” Justru keberadaan anak yang ternyata dapat menguatkan seorang ibu. Saya merasakan hal-hal itu, maka saya tuangkan di lagu ini.
Terinspirasi dari single ini, saya juga kemudian membuat campaign Anaku Sayang untuk menyuarakan suara seorang ibu. Di campaign ini saya mengangkat kisah dari beberapa ibu dengan latar belakang berbeda, ada yang single mom, ada ibu disabilitas, ada ibu dari anak disabilitas, ada yang anaknya meninggal, ada juga ibu yang married by accident. Mereka semua adalah contoh orang-orang yang sempat merasa “Bisa enggak ya, saya melalui semua ini?” Tetapi begitu anak lahir ya harus dijalankan, dan anak itulah yang membuat mereka percaya pada kemampuan diri mereka sendiri. Lagu yang dikomposisi oleh Rieka Roeslan dan saya, serta diaransemen oleh Ali Akbar Sugiri ini dirilis bertepatan dengan Hari Ibu, 22 Desember 2020, karena bagi saya lagu “Anaku Sayang” merupakan hadiah untuk para ibu.