Adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi seorang wanita untuk bisa memberikan air susu ibu (ASI) kepada buah hatinya. Hal itu pula yang dirasakan aktris sekaligus penyanyi, Ardina Rasti. Di tengah kesibukannya, Rasti tetap mampu memastikan dua jagoan ciliknya, Anara Langit Adria (5) dan Awan Biru Araya (3), mendapatkan ASI eksklusif selama lebih dari dua tahun.
Buat Rasti, “kelulusan” Anara dan Biru sebagai anak ASIX jelas layak untuk dirayakan. Mau tahu perjuangan Rasti dan bagaimana dukungan sang suami, Arie Dwi Andhika (40), dalam mengASIhi kedua anaknya? Baca wawancara eksklusif Rasti bersama Mother & Beyond yang merayakan ulang tahun ke-18 pada September 2024, Moms!
Kalau sekarang aku lagi jadi host acara televisi Bedah Rumah. Selain itu, aku masih sibuk syuting FTV. Lalu insyaallah lagi persiapan untuk album baru.
Inginnya sih, sebagai awal kembalinya aku ke dunia film karena memang sudah kangen sama pekerjaan ini. Sejak kelahiran Biru, kebetulan saat itu sedang masa COVID-19, aku enggak berani menerima tawaran macam-macam.
Ketika sudah bisa menerima pekerjaan, aku juga carinya yang ada waktu libur karena seperti sang kakak, Biru juga full ASI. Jadi aku terpaksa menolak banyak tawaran seperti sinetron stripping. Pokoknya, aku hanya bersedia menerima pekerjaan yang ada jeda liburnya dan bisa pulang.
Nah, menjadi host Bedah Rumah buat aku tuh nyaman banget, karena tetap ada liburnya dan tetap pulang. Namun, tetap perjuangannya ya, harus selalu pompa ASI.
Aku ingin anak-anakku menjadi sosok laki-laki yang bertanggung jawab, jadi gentleman, sosok laki-laki yang tahu bagaimana memperlakukan perempuan dan menganggap perempuan sebagai ratu.”
Setelah itu, aku mendapat tawaran untuk kembali bermain film. Perdana harus syuting dan menginap di luar kota. Dan ternyata aku bisa melakukannya. Kebetulan, syutingnya masih di area Puncak. Jadi, aku masih bisa memompa ASI dan mengirimkannya ke rumah.
Pastinya. Perasaan di awal-awalnya tuh berat banget karena biasa sering ketemu. Biasanya, walau syuting masih bisa pulang. Namun, ini seminggu enggak bisa pulang. Hanya saja, ketika sudah dijalani ternyata bisa kok dilakukan.
Mungkin karena sekarang aku sudah lebih tenang karena ada kakaknya Biru. Berbeda dengan zaman Anara kecil, Kalau memang harus syuting, aku akan membawa Anara ke mana-mana.
Anara memang lebih sering direct breastfeeding ketimbang mendapatkan ASI perah. Jadi, saat aku syuting di mana pun, aku akan meminta satu ruangan untuk menyusui. Sedangkan kalau Biru, aku sudah bisa memompa.
Dia support banget! Dia tahu, saat zaman COVID-19, aku tuh kangen banget syuting. Jadi, dia kasih dukungan banget. Dia selalu bilang, “Kamu bisa, kok. Kamu juga bisa pompa ASI untuk Biru. Ayo, syuting lagi”.
Jadi, pas tahu akan syuting lagi, aku baru mulai memompa ASI. Aku baru mulai nyetok. Di rumah sengaja disiapkan dua kulkas khusus ASIP dan alhamdulillah penuh. Aku juga jadi lebih tenang setelah ada tabungan ASI.
Saat ini Anara berusia 5 tahun dan Biru sekarang berusia 3 tahun. Bisa dibilang, periode ini adalah golden age mereka. Tanggung jawab terbesarnya saat ini adalah bagaimana memastikan keberadaan sosok orang tua bersama mereka.
Aku dan Mas Arie punya komitmen, jika salah satu harus syuting, maka yang lainnya harus libur. Jika memang terpaksa harus berbarengan syuting, misalnya syuting FTV, kami sepakat siapa yang selesai duluan, maka dia harus pulang lebih dulu. Kuncinya kompromi.
Lalu kami juga masih bergantian mengantarkan anak-anak ke sekolah. Mengatur giliran ini memang seru, karena kami tahu momen seperti ini enggak akan terulang kembali. Jadi, kami hanya ingin menikmati segala “keriwehan” ini. Serepot apa pun, nanti juga akan berlalu dan mungkin kami yang akan kangen.
“Lalu kami juga masih bergantian mengantarkan anak-anak ke sekolah. Mengatur giliran ini memang seru, karena kami tahu momen seperti ini enggak akan terulang kembali. Jadi, kami hanya ingin menikmati segala “keriwehan” ini. Serepot apa pun, nanti juga akan berlalu dan mungkin kami yang akan kangen.”
Sempat overwhelmed, tapi hanya pada saat kembali mengerjakan sesuatu yang sesungguhnya dulu pernah dikerjakan, seperti syuting. Setelah terbiasa, ternyata bisa dilakukan, kok.
Hanya saja, saat melewati fase awalnya memang banyak ketakutan. Aku banyak overthinking, overwhelmed. Namun, saat dijalani, oh, bisa, kok. Kalau aku sih, ya, lebih sering memberi afirmasi positif ke diri sendiri, seperti “Kamu bisa” atau “Kamu kuat”.
Kalau boleh jujur, Mas Arie menjalankan sekitar 90 persen peran sebagai orang tua. Sejak anak-anak lahir, dia yang memandikan, membedong, mengganti popok, menyuapi, hingga antar ke toilet. Hampir semua dilakukan Mas Arie, sehingga tugasku hanya menyusui.
Pas anak pertama, Anara lahir, Mas Arie tahu betul betapa aku merasa overwhelmed saat menyusui, anak sulit tidur, dan lain sebagainya. Dia tahu betapa beratnya, dan berkata “Sudah, aku yang meneruskan kerjaan semua dan kamu bisa fokus menyusui saja. Yang terpenting kamu enggak stres, karena kalau kamu stres, maka ASI hanya sedikit yang keluar.”
Menurutku, ibu terbaik adalah diri kita untuk anak kita. Tidak ada yang bisa menggantikan.
Di sisi lain, kita enggak bisa bilang ibu yang ini yang terbaik atau ibu ini lebih hebat. Enggak bisa! Karena yang mengenal dan tahu segala hal tentang anak kita, ya kita sendiri sebagai orang tuanya. Bahkan sebenarnya, anak itu adalah cerminan orang tuanya, pewaris gen kita. Kita yang melahirkan dan dia akan langsung menyesuaikan diri dengan lingkungan kita.
Buat aku, stop comparing setiap ibu karena masing-masing ibu itu hebat. Setiap ibu punya masalahnya sendiri, punya bebannya sendiri. Jadi, kita enggak bisa bilang, “Ibu ini bisa, kenapa kita enggak bisa?” Enggak seperti itu, karena masing-masing ibu ada di lingkungan, support system, dan punya gaya parenting yang berbeda. Stop comparing dan percaya bahwa kita juga bisa menjadi ibu yang hebat.
Sesungguhnya aku ibu yang overthinking, terlalu banyak berpikir. Hanya beruntung Mas Arie bisa menyeimbangkan, kayak “Tenang saja, mereka begini atau begitu.”
Kalau disiplin, aku lebih menjaga ke screen time mereka agar waktu penggunaannya sedikit saja. Cara ini lumayan membantu, terutama saat bepergian, jadi tidak sedikit-sedikit bermain handphone.
Mas Arie tuh nyantai banget dan itu yang kerap membuat aku overthinking. Tapi, jadi seimbang antara aku dan dirinya.
Mas Arie adalah sosok family man banget. Satu hal yang membuat aku terkejut, sejak awal dia yang sudah lebih siap menjadi seorang ayah dibandingkan aku menjadi seorang ibu.
Dia sudah siap bertanggung jawab sepenuhnya. Dia mampu menjadi jangkar dalam rumah tangga ini. Kita kan sama-sama menjadi orang tua baru. Di saat aku panik tentang banyak hal, Mas Arie akan berusaha menenangkan.
Setelah melahirkan, aku juga sempat mengalami baby blues. Tapi, Mas Arie berkata, “Sudah, kamu tenang saja, biar aku yang handle”. Jadi, baby blues-ku lebih cepat reda dan tidak bertahan lama atau berubah menjadi postpartum depression.
Kalau soal parenting, sebenarnya aku lebih cenderung meniru gaya Papa. Kalau Mama tuh ibu-ibu bangetlah, kayak “Kamu enggak boleh begini begitu”. Pokoknya gampang panik.
Ada banget. Mama sungguh overthinking, enggak seperti Papa yang lebih cuek, tapi mendidiknya tegas.
Namun, sejak awal, aku sudah mencoba berkomunikasi dengan Mama. Sebagai orang tua baru, aku tetap meminta Mama untuk menghargai gaya parenting aku. Karena bagaimanapun, aku juga sudah mencoba belajar, sudah banyak bertanya. Jadi, aku juga meminta Mama menerima dan mengerti gaya parenting aku yang mengikuti zaman sekarang.
Aku ingin mereka menjadi sosok laki-laki yang bertanggung jawab, jadi gentleman, sosok laki-laki yang tahu bagaimana memperlakukan perempuan dan menganggap perempuan sebagai ratu.
Kalau sebagai ibu, aku senang banget karena kedua anakku lulus ASI eksklusif. Anara mendapat ASI selama 2,5 tahun dan Biru 3 tahun. Mengingat aku sempat struggle, maka aku bahagia bisa memberikan anak-anak ASI eksklusif.
Sejak awal aku sudah melakukan riset tentang pentingnya ASI untuk anak-anak. Jadi, aku memperjuangkan banget untuk bisa memberikan ASI buat Anara dan Biru.
Di saat banyak orang berkata saat aku mulai syuting, “Buat apa repot-repot. Sudah, dicampur sufor saja” atau “Orang waktunya makan, lo malah mompa ASI”, aku tetap berusaha. Apalagi saat syuting Bedah Rumah yang harus ke pelosok, aku harus mencari tempat yang bersih dan membersihkan diri sendiri sebelum memompa. Belum lagi, aku juga harus membawa cooler bag sampai 4 buah.
Meski begitu, aku tetap memberikan ASI. Aku tahu betapa ajaibnya ASI, jadi aku tetap berusaha. Ketika aku menjalankan komitmen tersebut dan lulus, rasanya bahagia banget.
Saat ini hanya ingin stabil di karier dan keluarga. Bisa menjalani karier tapi tetap memprioritaskan keluarga itu ternyata menyenangkan.
Dahulu sebelum menikah, hanya ada karier. Aku menjadi sosok workaholic banget, tapi seperti enggak ada tujuannya. Setelah memiliki keluarga, rasanya lebih menyenangkan, karena setelah pulang bekerja ada sosok-sosok yang membutuhkan aku.
Sesungguhnya dilihat dari point of view-nya saja. Jika memang sejak awal dianggap sebagai penghambat, maka ibu tersebut menjalani karier dan fokus keluarganya sebagai penghambat. Tapi, kalau ibu itu memang tahu prioritas, maka bagaimana ia memprioritaskan keluarga di atas kariernya akan menjadi sebuah berkah atau ibadah.
Sebaliknya, jika ibu beranggapan bahwa kariernya demi anak mendapatkan kehidupan yang baik di masa depan, maka itu akan menjadi ibadah juga. Yang terpenting, pola berpikirnya harus positif. Buat aku, tidak ada pilihan yang salah selama kita tahu hikmah di baliknya.
Cari support system-nya terlebih dahulu. Jika tidak dititipkan ke ayahnya, mungkin ke neneknya. Atau jika harus dititipkan ke daycare, pastikan daycare-nya bisa membuat kita lebih tenang.
Jangan terlalu sering merasa bersalah karena menjadi perempuan sudah berat. Hidup adalah pilihan dan kita harus bisa memilih. Jika kita memilih langkah A, pastikan yang B sudah baik atau justru mendukung pilihan kita.MB