Menjalani peran sebagai ibu bukanlah perkara mudah. Sekalipun kita telah mempersiapkan diri dan memperkaya informasi tentang bagaimana menjadi ibu yang baik, pada praktiknya mungkin berbeda. Dengan begitu banyaknya tugas yang dijalani di dalam rumah tangga, tak jarang para ibu, baik ibu rumah tangga maupun ibu bekerja tak lepas dari stigma negatif di masyarakat.
Menurut Psikolog Klinis, Anna Surti Ariani, Psi, stigma adalah ketidaksukaan terhadap tindakan, orang atau sekelompok orang. Seringkali stigma ini merupakan sesuatu yang negatif atau dianggap sebagai aib. Menurut Nina, sapaan akrabnya, dibanding ibu rumah tangga, ibu bekerja lebih sering mendapatkan diskriminasi akibat stigma. Stigma tersebut bisa didapat dari dua sisi. Pada sisi ketika Si Ibu berada di kantor, ibu bekerja ini dianggap kurang profesional karena punya tanggung jawab keluarga. Misalnya saat meminta pulang kantor lebih cepat karena harus mengurus anak di rumah. Sementara di sisi lain, ketika ia menjadi seorang ibu di masyarakat, ibu bekerja seringkali mendapatkan stigma sebagai ibu yang tidak becus atau bahkan tidak mengurus anaknya karena ia bekerja.
Tak hanya itu, masih banyak stigma-stigma lainnya yang sering dialamatkan pada sosok ibu sebagai ibu rumah tangga maupun ibu bekerja. Stigma di masyarakat ini pada akhirnya membuat sosok seorang ibu terkesan “jelek”. Apa saja stigma-stigma tersebut?
Dengan banyaknya tugas-tugas rumah tangga seperti memasak, mendidik, mengasuh anak, dan lain sebagainya, ibu rumah tangga masih kerap mendapatkan stigma negatif, seperti:
Mendedikasikan diri sebagai ibu rumah tangga tentu membuat ibu lebih banyak berada di rumah. Namun karena berada di rumah seharian, ibu rumah tangga kerap dianggap malas, tidak produktif, terlalu banyak bersantai di rumah, sampai membebani ekonomi keluarga. Padahal nyatanya menjadi ibu rumah tangga dengan menjalankan segala peran dan tugas di rumah sama melelahkannya.
Menjalani peran sebagai ibu rumah tangga, tak selalu berarti bahwa ibu akan menggantungkan hidupnya pada suami. Terkadang perannya ini dijalani karena kesepakatannya dengan sang suami untuk berbagi peran dalam rumah tangga. Bila diperhatikan, saat ini sudah banyak ibu rumah tangga yang mencoba berbisnis untuk mengisi waktu luang dan mendapatkan tambahan pendapatan.
Ketika seorang wanita memiliki pendidikan tinggi, namun pada akhirnya ia “hanya” menjadi ibu rumah tangga, stigma yang melekat adalah ia menyia-nyiakan pendidikannya. Padahal nyatanya menjadi ibu rumah tangga tidak mudah. Dengan pendidikan yang tinggi, setidaknya ibu memiliki modal untuk memanfaatkan ilmu yang ia miliki ketika mengasuh atau mendidik anak-anaknya.
Kucel, memakai daster, lusuh, menjadi gambaran penampilan seorang ibu rumah tangga. Hal ini sebenarnya kembali lagi pada masing-masing ibu rumah tangga. Tentunya tak seperti ibu pekerja yang dituntut berpenampilan rapi, berdandan, dan wangi, ibu rumah tangga mungkin akan tampak lebih sederhana saat di rumah, namun tetap bisa menyesuaikan penampilan sesuai situasi dan kondisi.
Dipandang selalu memiliki kesibukan yang luar biasa sehingga sering dianggap menomorduakan keluarga. Itulah salah satu stigma yang menempel pada ibu bekerja. Bukan hanya itu, stigma lainnya meliputi:
Tak selalu mementingkan ego untuk mengejar karier, ibu bekerja juga banyak yang justru memilih berkarier demi membantu keuangan keluarga, terutama bila keuangan keluarga tidak tercukupi bila hanya suami yang bekerja. Semuanya kembali pada kesepakatan suami dan istri untuk memenuhi kebutuhan keuangan rumah tangganya.
Meski sibuk bekerja, bukan berarti ibu bekerja tak memerhatikan keluarganya. Dengan menerapkan manajemen waktu yang baik, ibu bekerja pasti bisa membagi waktunya untuk pekerjaan dan keluarga.
Karena memilih berkarir membuat ibu bekerja dianggap malas mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Padahal nyatanya tak sedikit ibu bekerja yang sengaja menyisihkan waktunya untuk bangun lebih pagi atau tidur lebih malam untuk mengerjakan dan membereskan pekerjaan rumah tangga.
Ibu bekerja kerap dipandang tak menjalankan perannya sebagai istri dan ibu dengan baik. Namun bila dilihat, banyak ibu bekerja yang sukses membesarkan anak-anak mereka. Dengan memiliki komunikasi yang baik tentunya ia tetap bisa menjalankan perannya sebagai ibu dengan baik.
Demi bisa melawan stigma, cara paling sederhana mungkin dengan mengikuti standar masyarakat agar kita bisa diterima. Namun hal ini sebenarnya akan sangat berbeda dengan diri kita yang sebenarnya. Untuk itu kita perlu melakukan beberapa cara untuk melawan stigma terkait peran ibu yang keliru.
Menurut Nina, menariknya para ahli menyebutkan bahwa konfrontasi dan speak up memang merupakan cara-cara yang efektif untuk melawan stigma. Namun di luar itu, ada cara-cara lain yang bisa kita lakukan untuk melawan stigma, seperti:
Para ibu bisa melibatkan diri dalam kampanye melawan stigma. Misalnya kita bisa berkelompok dengan sesama ibu bekerja dan mengkampanyekan bahwa “Kita sebagai ibu bekerja bisa bekerja dengan baik, sekaligus bisa merawat dengan anak baik juga”.
Stigma juga bisa dilawan dengan edukasi lewat kelas-kelas yang dihadiri oleh narasumber atau para ahli. Bukan hanya untuk mengedukasi masyarakat, narasumber juga akan mengedukasi para ibu yang mendapat stigma agar bisa mendapatkan pandangan yang lebih netral dan tepat tentang dirinya.
Selain kampanye dan edukasi, dalam mematahkan stigma penting juga untuk menunjukkan sikap menghargai sesama. Seberapapun berbedanya orang lain dengan kita, kita tetap harus menghargai dan menghormati mereka. Ketika kita bersikap hormat dan adil, maka kita memberikan contoh pada orang-orang lain di sekitar kita agar mereka melakukan hal yang sama untuk menghargai orang lain.
Beberapa stigma yang dilontarkan masyarakat atau bahkan orang-orang di lingkungan terdekat mungkin membuat hati merasa tersentil. Bukan dengan emosi, Nina membagikan cara efektif untuk mematahkan stigma berikut, dengan mengucapkan kalimat-kalimat yang terkesan cukup percaya diri dan asertif.
- “Udah sekolah tinggi-tinggi, kok malah cuma jadi ibu rumah tangga, sih?!”
Jawab: Justru karena sekolah tinggi, saya jadi paham bahwa sangat perlu memerhatikan anak.
- “Jadi ibu rumah tangga ngapain kerja? Mending urus anak, rumah dan suami aja!”
Jawab: Saya punya kapasitas untuk tidak hanya mengurus keluarga dan rumah. Namun juga berkarir atau berbisnis, jadi saya mengoptimalkan kemampuan saya.
- “Ibu yang sempurna itu harus melahirkan secara normal, menyusui secara langsung, dan menjadi full time mom!”
Jawab: Tidak apa-apa kok, kalau saya disebut ibu yang tidak sempurna. Tapi saya bahagia lho, dengan anak-anak dan keluarga saya.
- “Ibu rumah tangga bisanya cuma ngabisin uang suami aja!”
Jawab: Saya dan suami bekerjasama untuk menggunakan uang keluarga kami seefektif mungkin. Suami memang mencari uang, sementara saya mengelola keuangan. Agar di akhir bulan kami bisa tetap makan dengan baik, juga punya tabungan untuk kebutuhan-kebutuhan keluarga kami di masa yang akan datang.
- “Kok, anaknya BLW (Baby Led Weaning) sih? Males nyuapin, ya?”
Jawab: Saya percaya bahwa walaupun bayi saya masih kecil, ia paham dirinya dan kebutuhannya. Ada banyak pula manfaatnya dari BLW. Saya berharap segala manfaat tersebut dialami oleh bayi saya.
Ingat Moms, saat melontarkan kalimat-kalimat tersebut, pastikan Anda menguasai kemampuan untuk bicara dengan hormat, menjaga kontak mata, dan diungkapkan dengan santai. Karena bila Anda mengucapkannya dengan nada tinggi dan intonasi yang cepat, ini akan mengurangi kualitas kalimatnya dan justru membuat kita tidak lebih dihargai.
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa stigma dan juga stereotip memang cenderung bersifat negatif. Dan karena merasa dihakimi oleh orang terdekat ataupun masyarakat luas, seorang ibu bisa saja terkena dampaknya secara psikologis. Kondisi ini muncul akibat usahanya untuk menyesuaikan diri dengan stigma dan stereotip yang ada.
Sebenarnya ada banyak faktor yang memengaruhi munculnya stereotip pada perempuan, terutama pada ibu. “Yang paling jelas adalah budaya patriarki yang sebagian besar dianut oleh suku-suku di Indonesia,” sebut Nina.
Patriarki sendiri merupakan sistem sosial yang menempatkan pria sebagai pemimpin dan pemegang kekuasaan. Dan budaya ini justru memandang perempuan itu tidak berdaya dan lebih rendah dari laki-laki. Kemudian, ada juga ideologi misoginisme atau bentuk diskriminasi terhadap gender perempuan yang melibatkan kebencian. Perempuan dianggap selalu salah, selalu kurang, dan sebagainya.
“Nah, pada komunitas atau kelompok masyarakat tertentu ada yang mengombinasikan patriarki dan misoginisme, bahkan disebarkan secara turun temurun. Hal ini tentu bisa memengaruhi stigma dan stereotip pada perempuan secara general, serta untuk seorang ibu secara khusus. Selain itu, sistem ekonomi, politik, atau pendidikan juga bisa memunculkan stereotip tersebut” tambah Nina.
Dari faktor-faktor yang sifatnya negatif tersebut, nyatanya dapat memengaruhi kondisi psikologis seorang ibu. Lebih jauh, berikut ini adalah dampak yang bisa Moms alami jika ingin selalu mengikuti stigma dan stereotip sebagai seorang ibu secara psikologis:
Dengan adanya berbagai anggapan tentang sosok ibu yang sempurna, seorang ibu yang merasa tidak mampu melakukannya akan menjadi rendah diri. Artinya, ia akan merasa bahwa caranya menjalani peran sebagai ibu selalu kurang. Alhasil, sang ibu pun akan memiliki nilai negatif hingga tidak menghargai dirinya sendiri.
Seorang ibu mungkin saja memiliki masalah mental yang masih dalam proses penyembuhan (healing). Jika ia justru berfokus untuk memenuhi stereotip sebagai ibu dan mengabaikan kondisi mentalnya, ini bisa menjadi buruk. Ia akan mengurungkan niatnya untuk meminta bantuan karena merasa akan memunculkan stigma lain pada dirinya.
Menurut Nina, memang banyak stigma dan stereotip yang mendiskriminasi perempuan, termasuk pada ibu. Apalagi untuk ibu bekerja, di satu sisi dianggap tidak profesional karena memiliki tanggung jawab mengurus keluarga. Sementara di sisi lain, masyarakat secara umum menganggap si ibu bekerja tidak becus dalam mengurus anak dan menjalankan perannya.
Satu hal yang juga menjadi bentuk diskriminasi pada ibu bekerja adalah flexibility stigma. Ini muncul saat seorang ibu meminta kepada atasannya untuk tetap bekerja, namun dilakukan di luar kantor. “Permintaan fleksibilitas waktu inilah yang memunculkan flexibility stigma pada seorang ibu dan membuatnya menerima sanksi-sanksi tertentu,” jelas Nina.
Mungkin Moms penasaran, apakah stigma dan stereotip pada seorang ibu bisa memberikan dampak yang positif? Jawabannya, mungkin saja ya. Hal yang negatif ini memang dapat memunculkan semangat pada sang ibu untuk bisa membuktikan bahwa ia tidak seperti stereotip atau stigma yang dituduhkan. Tapi, proses pembuktian ini bisa saja didasari oleh rasa dendam dan penuh luka. Jadi, tidak bisa dikatakan bahwa proses tersebut baik untuk kondisi mental seseorang.
Pembuktian tersebut bisa ditandai dengan beberapa perilaku, seperti:
Sebuah penelitian yang dilansir dari Psychology Today menunjukkan, seorang ibu yang mempunyai support system cenderung lebih memiliki kepercayaan diri dalam mengurus keluarga. Moms pun tidak segan untuk terus belajar dan mencari solusi, yang bisa didiskusikan dengan support system yang dipunyai.
Support system pun bisa datang dari suami, anak, orang tua, sahabat, maupun tetangga. Nina pun menyebutkan bahwa perannya bisa dari dua sisi. Pertama, mereka bisa memberikan dukungan dengan mendapatkan edukasi atau mengikuti kampanye tentang stigma yang keliru tentang peran ibu. “Dari sini, harapannya mereka bisa memahami peran ibu dan mau membantu meringankan beban sang ibu, serta membebaskan sang ibu dari stigma tersebut,” ujar Nina.
Dukungan lain yang bisa dilakukan adalah membuat sang ibu nyaman dalam menghadapi stigma dan stereotip yang ada. Karena ada masanya mereka merasa lelah dan sangat membutuhkan dukungan. Bantuan yang bisa diberikan adalah dengan menerima kondisi sang ibu apa adanya tanpa menuntut apapun. Nina menambahkan, “Support system ini juga meyakinkan bahwa sang ibu sudah melakukan perannya dengan baik, punya value dan merasa diterima di keluarganya sendiri.” Jadi, Moms tidak perlu memaksakan diri untuk mengikuti stigma dan menyamakan dengan stereotip yang ada di masyarakat.
Salah satu hal yang sering disebutkan sebagai stereotip seorang ibu adalah kemampuannya untuk mengatur semua hal dalam satu waktu. Padahal, tidak ada seorang pun yang bisa melakukan segala sesuatu secara sekaligus dan di waktu yang bersamaan. Maka, Moms perlu memahami pentingnya manajemen waktu, baik untuk ibu rumah tangga, ibu bekerja, maupun ibu pebisnis (mompreneur).
Hal yang paling utama untuk diperhatikan adalah disiplin. Nina menjelaskan bahwa di waktu yang relatif sama, seorang ibu dapat mengerjakan hal yang sama secara berulang. Hal ini bisa dijadikan rutinitas yang sudah pasti masuk ke dalam jadwal harian ibu.
Berbeda dengan situasi di mana seorang ibu perlu memilah kegiatan tertentu yang memerlukan waktu khusus. Misal saat ingin deep talk dengan anak, mendatangi pertemuan orang tua, meeting di pekerjaan. Hal-hal tersebut tentu tidak bisa dilakukan secara multitasking sehingga Moms harus menyiapkan waktu khusus tersebut ke dalam susunan manajemen waktu yang dibuat.
Lalu, seperti apa time management yang bisa Moms terapkan agar tetap dapat melakukan banyak hal tanpa rasa bersalah? Simak poin-poin mengatur manajemen waktu untuk ibu rumah tangga (IRT), ibu bekerja, dan mompreneur berikut ini, ya!
Stereotip yang ada di masyarakat menyebutkan bahwa ibu merupakan perempuan pengangguran. Padahal kenyataannya, ada segudang kegiatan yang Moms lakukan setiap hari dan memerlukan manajemen waktu yang baik agar semua bisa selesai sesuai harapan Anda.
Sebagian besar hal dalam manajemen waktu ibu rumah tangga sebenarnya juga bisa dilakukan oleh ibu bekerja. Namun, ada beberapa poin yang perlu ditambahkan agar Moms tetap bisa jalani peran sebagai ibu dan profesional pada pekerjaan.
Sebagai mompreneur, Anda juga perlu memiliki manajemen waktu yang baik agar bisnis tetap berjalan. Selain hal-hal di atas yang bisa diterapkan, perhatikan juga beberapa poin ini.
Dari sisi psikologis, Nina menyarankan agar seorang ibu harus menyakini bahwa yang dilakukannya adalah sudah yang terbaik. Jangan bandingkan diri Anda dengan orang lain yang dianggap sempurna atau lebih baik. Pahami juga bahwa menjadi berbeda itu tidak salah. Karena setiap orang, termasuk Moms memiliki pilihan dan keputusan yang paling baik untuk diri sendiri serta keluarga. Dan jika Anda mulai merasa tertekan dengan tuntutan yang ada, berhentilah sejenak. Tenangkan diri dengan menarik napas beberapa kali supaya bisa kembali mengendalikan diri kembali. Yang tak kalah penting adalah ceritalah dengan support system yang Moms miliki. Apabila semua hal tersebut sudah dilakukan namun tetap timbul rasa tidak nyaman yang berkelanjutan, tidak ada salahnya untuk berkonsultasi dengan psikolog klinis.
Foto: tirachardz, Drazen Zigic, jcomp/Freepik
Banyak yang mengenal Michelle Saragih Lynch (30) sebagai content creator yang menunjukkan sisi yang tidak biasa dari seorang ibu. Pada kontennya, Michelle justru memperlihatkan bahwa ibu juga pribadi yang rapuh dan selalu berusaha untuk menghadapi banyak tantangan. Mulai mengurus rumah, suami, serta kedua anaknya, Kyle (3) dan Kylo (1). Tidak ketinggalan juga perjuangannya saat hamil baby Kaylan yang ternyata tetap mendapatkan stigma serta dianggap tidak sesuai dengan stereotip sebagai seorang ibu. Bagaimana Michelle menghadapi berbagai tanggapan tersebut di media sosial? Simak obrolan serunya bersama M&B berikut ini, Moms.
Wah, sering banget, ya. Karena jaman sekarang di media sosial ada banyak hal menjadi mudah untuk dikomentari, termasuk tuntutan untuk menjadi sosok atau seorang ibu yang sempurna dalam mengurus anak.
Misalnya seperti salah satu konten saya yang menunjukkan rumah yang berantakan dari pagi sampai anak tidur. Saya memang membiarkan hal tersebut supaya anak puas bermain. Dan rumah baru akan rapi saat anak-anak tidur atau di akhir pekan, ketika mereka menginap di rumah neneknya.
Dari hal ini, ada saja yang berkomentar bahwa saya adalah ibu yang pemalas, tidak mengajarkan anaknya untuk membereskan mainan sendiri. Padahal kenyataannya, yang memberi komentar adalah seorang ibu yang “Mematahkan Stereotip Lewat Konten”anaknya sudah lebih besar usianya dari anak saya saat itu. Ketika si ibu sudah bisa memberi arahan dan anaknya mengerti, anak saya (Kyle) masih usia 2 tahun dan belum sepenuhnya mengerti kalau ditegur soal membereskan mainan.
Atau pernah juga saat memberi makan anak. Memang, mereka harus diberikan porsi makan yang nilai gizinya seimbang. Ya, tentu benar tetapi kenyataannya memberi makanan pada anak tidak semudah itu. Kita saja sebagai orang dewasa suka bosan dengan menu yang itu-itu saja, apalagi anak-anak.
Lalu, saat kehamilan ketiga saya ini, saya sempat merasa belum siap. Salah satu alasannya karena adanya dua anak balita yang masih harus saya rawat ketika tahu bahwa saya hamil. Meski begitu, saya tentunya sangat bersyukur karena kehamilan yang tidak direncanakan ini.
Karena sebenarnya saya itu mengalami PCOS, setelah Kyle dan Kylo lahir pun suami saya sudah disteril. Jadi, saya tidak mengira akan hamil lagi tanpa menjalani program hamil seperti kedua anak saya sebelumnya.
Nah, dari cerita ini, masih saja ada yang berkomentar saya tidak bersyukur padahal masih banyak yang mengharapkan kehadiran anak. Ada juga yang bilang ‘kenapa enggak pakai KB’, dan komentar lain yang membuat timbul rasanya serba salah, gitu. Kan, namanya kehamilan itu kehendaknya dari Tuhan, ya. Sekalipun sudah pakai KB, tapi memang tertulis menunda kehamilan sampai 99%, yang artinya masih ada kemungkinan hamil. Ya, memang ada saja yang protes atau beri tanggapan ini dan itu kalau dirasa tidak sesuai dengan pendapat mereka tentang peran orang tua.
“Kalau kita sudah berdamai dengan diri kita sendiri, maka kita bisa melakukan semuanya dengan lebih ikhlas dan jadi sempurna versi kita sendiri.”
Karena saya content creator, banyak sekali komentar tentang stereotip yang mungkin tidak sama dengan kehidupan saya sebagai ibu, apalagi yang bukan tinggal di Indonesia. Dan memang konten saya itu kehidupan nyata seorang ibu, yang mungkin berbeda 180° dari ibu lainnya di Instagram. Mulai dari tidak ada asisten rumah tangga karena suami saya yang sangat menjaga privasi, sehingga semua kami urus sendiri. Hal ini terkadang membuat saya stres sampai menangis, dan sempat saya share ke media sosial.
Dari situ saja sudah banyak yang komentar kalau saya tidak siap jadi ibu, atau ibunya kurang me time, atau kenapa tidak pake ART. Dan sedihnya lagi, yang berkomentar adalah seorang ibu juga.
Padahal kan, seharusnya ‘mom supports mom’. Sedangkan pengalaman yang ingin saya share adalah seorang ibu enggak apa-apa merasa stres dan menangis. Itu bukan berarti Anda gila kalau tidak menunjukkan sisi bahagia sebagai seorang ibu. Tapi, dari hal ini pun banyak followers saya yang merasakan atau mengalami hal yang sama. Mereka ikut komentar berterima kasih dan tidak merasa sendirian, sehingga memberi semangat untuk menjalani peran sebagai ibu.
“Seorang ibu enggak apa-apa merasa stres dan menangis. Itu bukan berarti Anda gila kalau tidak menunjukkan sisi bahagia sebagai seorang ibu.“
Saya sudah menjadi content creator sejak 2015 dan dimulai dari Youtube. Kalau ada yang berkomentar ‘nyinyir’ tentang kehidupan saya sebagai ibu, justru saya jadikan sebagai bahan konten berikutnya. Kalau di Instagram, komentar negatif itu saya pinned saja paling atas. Jadi, bisa saja komentar itu diserbu oleh followers atau mereka yang tidak setuju. Saya memang lebih memilih untuk menyerang komentar tersebut. Bisa dibilang caranya serupa dengan artis yang melaporkan netizen ke polisi supaya kapok, tapi kalau saya cukup pinned komentar mereka saja.
Ya, cara saya membalasnya dengan membuat konten dari komentar komentar negatif tersebut. Dan saya pastinya mengharapkan kita sesama manusia bisa lebih menghargai satu sama lain, tanpa harus menjadi keputusan orang lain. Karena, kita kan tidak tahu apa yang mereka alami. Apalagi sebagai ibu, sebaiknya kita saling support dan baik terhadap satu sama lain. Dari konten tersebut juga, kalau ternyata bisa menghibur dan membuat followers tertawa tentu menjadi berkat juga untuk saya, kan.
Menurut saya, tips untuk masa bodoh dengan stigma itu adalah love yourself first. Cintai dahulu diri kita sendiri dengan cara yang sederhana. Saya sendiri cukup sering membuat Instagram story yang bilang ke kalau saya cantik, meskipun saat itu saya sedang berjerawat. Hal ini saya lakukan untuk memiliki energi positif dan hubungan yang baik dengan diri sendiri. Jadi, mau ada sejuta orang bilang saya jelek atau tidak baik sebagai ibu, itu bukan masalah.
Setelah mencintai diri sendiri, memang akan timbul egois yang sebenarnya bersifat positif, kok. Misalnya anak minta jajan sesuatu, ibu juga boleh membeli sesuatu. Intinya, lakukan hal yang bukan hanya menyenangkan suami atau anak, tetapi juga diri kita sendiri sebagai ibu dan istri. Kalau kita sudah berdamai dengan diri kita sendiri, maka kita bisa melakukan semuanya dengan lebih ikhlas dan jadi sempurna versi kita sendiri.
Moms, masih ingat dengan sosok Monica Soraya HarIyanto, seorang pengusaha sekaligus aktivis sosial yang viral karena keputusannya mengadopsi 13 bayi? Ketulusan hatinya untuk menyelamatkan anak-anak yang kurang beruntung untuk bisa hidup lebih layak ini nyatanya tak lepas dari stigma masyarakat.
Tak mampu memberikan perhatian yang maksimal pada The Babies (sebutan 13 bayi) dan empat anak kandungnya, hingga dianggap keputusannya mungkin keliru karena stigma bahwa anak adopsi akan sulit diatur, bagaimana cara istri dari Hariyanto Duryat, pengusaha Batu Bara ini, menanggapi stigma yang menyasar pada dirinya dan keputusannya mengadopsi anak? Hal apa yang membuat Ketua Umum Bidadari Indonesia ini memutuskan mengadopsi 13 bayi? Serta bagaimana pula cara wanita satu ini untuk bisa adil berbagi kasih dengan tujuh belas orang anaknya? Simak wawancara eksklusifnya dengan M&B berikut, Moms!
Keputusan saya untuk mengadopsi anak berawal di tahun 2020, tepatnya awal-awal pandemi Covid-19. Seperti kita tahu bahwa saat itu kan kehidupan cukup sulit ya, banyak pekerja yang di-PHK, yang tadinya punya penghasilan jadi tidak berpenghasilan. Belum lagi saat itu di mana-mana lockdown.
Tiba-tiba ada seorang wanita yang menghubungi saya. Ia bilang bahwa saat itu ia sedang mengandung dan tidak punya biaya. Jangankan biaya untuk memeriksakan kandungan, memenuhi biaya hidup pun sulit. “Mematahkan Stigma Mengadopsi Anak yang Keliru” Nah, pada saat itu saya tidak punya pilihan lain, selain membantu wanita ini dan bayi yang dikandungnya. Saya pun tidak berpikiran bahwa ia akan berbohong atau tidak. Akhirnya saya bantu sampai ia melahirkan dan kemudian anaknya saya adopsi sesuai permintaannya. Singkatnya, itulah awal di mana saya mengadopsi anak hingga 13 bayi.
Suami dan anak-anak kandung saya menyambut baik keputusan saya, tidak ada penolakan dari mereka. Namun memang sebelumnya di akhir tahun 2019, saya pernah berucap pada suami, bahwa saya ingin punya anak lagi. Karena kebetulan saat itu anak saya yang paling kecil usianya 7 tahun, jadi sepertinya lucu bila punya satu anak lagi, dan kebetulan juga saya sangat suka anak kecil. Suami saya memberikan respon positif pada saat itu, kasarnya “Ya sudah, apa susahnya tinggal bikin”.
Namun di saat yang sama, ketika periode 2019-2020 saya melihat banyak sekali berita yang kurang menyenangkan di media sosial seperti berita anak dibuang, anak ditinggal, dan berita itu hampir setiap hari saya lihat. Kemudian saya berpikir, di luar sana sepertinya masih banyak anak-anak kurang beruntung yang membutuhkan kasih sayang. Setelah sempat mengubur keinginan untuk mengadopsi anak karena tidak tahu harus mengambil anak adopsi di mana, tiba-tiba Allah SWT mengabulkan keinginan saya, dan tanpa saya cari, tiba-tiba semuanya terjadi. Tepatnya di tahun 2020, saat awal pandemi Covid-19 tersebut.
Semuanya kembali lagi ke hati, ya. Saya memang tidak bisa memberikan perhatian saya pada 13 bayi dan empat anak kandung dalam satu waktu sekaligus, karena itu impossible, kan. Jadi memang harus gantian, dibagi bagi saja waktunya.
Kebetulan juga saya ada rules di keluarga, di mana kita harus ada waktu untuk pergi sama-sama. Pergi sama-sama itu ya dengan 13 Babies dan empat anak kandung saya. Misalnya hari ini ke mal sama tiga bayi saja, besoknya bayi lainnya. Hal ini pun berlaku ketika tidur, semuanya digilir. Ada pula waktu di mana saya dan suami hanya pergi dengan anak-anak kandung saya. Jadi kita membagi waktunya seperti itu. Semoga dengan begitu, saya harap mereka tetap bisa merasakan kasih sayang saya dan suami.
Mau tidak mau, anak adopsi ini kan memang berasal dari 13 keluarga yang berbeda. Dari segi gen pun sudah pasti tidak sama, karena memang bukan darah daging saya dan suami. Dan memang benar ketiga belas anak adopsi saya ini memiliki karakter yang berbeda. Ada yang nakal banget, baik banget, dan semakin mereka besar, semakin kelihatan lah, karakternya.
Tapi, semuanya itu kembali pada kita, orang tuanya. Bila kita ikhlas dan tulus merawatnya, saya yakin enggak ada yang enggak bisa. Mengasuh ketiga belas anak ini memang cukup menantang. Tapi kan, saya tidak sendiri. Beruntungnya saya dibantu suami dan anak-anak saya yang sudah besar untuk mendidik adik-adiknya ini.
Sopan santun juga menjadi concern saya di rumah. Karena hal inilah yang juga dididik orang tua saya dari dulu. Jadi kalau misalnya saya bilang tidak, ya tidak. Saya tidak mau mentang-mentang saya sayang pada mereka, kemudian The Babies bersikap seenaknya. Karena fasilitas yang saya berikan pada 13 Babies dan anak-anak kandung saya semuanya sama, enggak ada yang berubah atau dibedakan. Jadi mereka harus tetap punya sopan santun, itu yang kami didik sampai sekarang.
"Selama stigma yang dialamatkan pada saya itu tidak benar, lalu omongan-omongan orang di luar sana sifatnya hanya untuk menjatuhkan kita, untuk apa kita harus peduli.”
Beberapa orang di luar sana mungkin menganggap saya pilih kasih. Misalnya saya hanya sayang pada salah satu anak saja. Padahal nyatanya tidak. Kalau mereka berbuat salah, baik 13 anak adopsi maupun anak anak kandung saya, saya pasti marah. Saya tidak pernah membenarkan anak saya yang berbuat salah, siapapun itu. Tapi hal tersebut kan, tidak terlihat. Orang-orang hanya melihat momen yang happy-happy aja dari keluarga kami di channel YouTube.
Memang benar ada salah satu dari The Babies yang dekat sekali sama saya. Kedekatan dia dengan saya bahkan melebihi kedekatan anak-anak kandung saya ke saya. Tapi karena itu, ia jadi sering dibully sama The Babies yang lain. Mungkin mereka mikirnya bahwa si A anak kesayangan saya nih, bundanya. Makanya terkadang saya agak menghindar kalau ada dia. Sampai saat ini saya berusaha adil lah, ke semua anak-anak saya.
Saya speak up dengan memberikan klarifikasi. Misalnya lewat media sosial, atau saat ditanya teman-teman artis ketika kami sedang membuat konten YouTube bareng. Saya bilang yang sebenarnya, bahwa kenyataannya tidak seperti yang dilihat. Misalnya terkait anak kesayangan tersebut. Mungkin orang melihat saya selalu memanjakan dia, padahal tidak. Jadi tidak ada lah itu anak kesayangan, ya. Begitupun bila banyak yang tanya atau bilang bahwa punya banyak anak pasti ribet, buat saya pribadi sih tidak, ya. Karena saya ngejalaninnya fine-fine aja. Enak dan seru malah.
"Kalau banyak yang bilang bahwa punya banyak anak pasti ribet, buat saya pribadi sih tidak. Saya fine-fine aja, malah enak dan seru.”
Kalau dari saya pribadi, selama stigma yang dialamatkan pada saya itu tidak benar, lalu omongan-omongan orang di luar sana sifatnya hanya untuk menjatuhkan kita, untuk apa kita harus peduli. Karena masih banyak hal-hal positif di luar sana yang seharusnya itu menjadi concern kita. Lain halnya bila omongan itu benar, mungkin akan berpengaruh untuk saya. Jadi lebih baik pikiran saya, hati saya diarahkan ke hal positif, jadi auranya juga positif, biar saya juga berbuat hal-hal baik lebih banyak lagi untuk orang lain. M&B
Foto: Freepik (Yanalya, Jcomp, Lookstudio, Tirachardz, Senivpetro, Benzoix, Bearfotos), Dokumen Pribadi Layout: @aditjmw, Aulia Danasti (@asshtea)