Setelah 12 tahun menikah, usaha Dhea dan Ariel untuk bisa mendapatkan keturunan akhirnya membuahkan hasil. Bukan perjalanan yang mudah bagi pasangan musisi ini.
Baik Dhea maupun Ariel pernah mengalami titik jenuh. Titik di mana mereka memutuskan untuk berhenti, tapi bukan untuk menyerah. Mereka memutuskan beristirahat sejenak untuk memulihkan tubuh dan pikiran, lalu kembali mencoba.
Dan kali ini, usaha Dhea dan Ariel berhasil. Lantas bagaimana perasaan Dhea saat dinyatakan hamil? Apa saja dirasakan selama kehamilan? Moms, yuk simak wawancara Mother & Beyond bersama Dhea Ananda berikut ini.
Kami tuh kayak berpikir, “Masa, sih?”. Saya kan hamil menggunakan metode embrio transfer dan ada masa menunggu selama dua minggu. Jadi kami tahu, kapan harus melakukan tes menggunakan test pack.
Saat dokternya bilang, “Kamu sudah bisa tes”, saya memilih untuk memundurkan satu hari lagi. Kenapa? Iya, kayak tidak mau panik dan ingin mempersiapkan hati saja, jadi tesnya mundur satu hari. Saya dua kali melakukan tes, dan ketika melihat hasil test pack kami justru seperti berpikir ‘eh, masa sih ini hasilnya?’, bukannya nangis atau teriak. Seperti tidak percaya saja. Walau sesungguhnya saya sudah merasakan adanya pertanda hamil, seperti mual, mabuk, dan badan mulai berasa tidak enak. Tapi kami seperti denial saja.
Kami sempat mengirimkan pesan Whatsapp ke dokter yang menangani kehamilan dan dokter akupuntur. Mereka mengucapkan selamat dan mengatakan bahwa garisnya jelas banget menunjukkan hamil. Tapi lagilagi kami hanya berpikir ‘masa, sih?’. Kami hanya tidak mau ke-ge er-an.
Keesokan harinya kami benar-benar datang ke rumah sakit untuk cek darah dan lain sebagainya. Dokter juga memastikan saya hamil. Tapi kami tidak mau heboh dulu. Pokoknya tahan dulu, lah.
Sampai akhirnya ada momen kami bisa mendengar detak jantung bayinya. Saat itulah, saya baru percaya bahwa saya benar-benar hamil. Jadi kehamilan ini sungguh sesuatu yang sulit untuk diproses.
Untuk program hamil, sesungguhnya baru mencoba dua kali saja. Tapi kami memang pernah ke tiga dokter. Pertama, kami mulai berkonsultasi ke dokter pada 2018. Hanya saja dokternya membuat saya ‘baper’. Saya bahkan lupa dia ngomong apa, tapi saya ingat saya langsung menangis.
Lalu saya mulai mencari dokter lain dan bertanya sana-sini. Saya hanya ingin dokter yang fun, serta tentunya membuat saya nyaman. Lalu pada 2019, akhirnya bertemu dokter yang memang fun, seru, dan banyak ngobrol. Kala itu, programnya sampai suntik ovidrel tapi tidak berhasil. Lalu beliau menawarkan apakah saya mau mengikuti program inseminasi atau tidak?
Namun saat itu saya merasa sudah cukup intense menjalankan program kehamilan. Karena terlalu memikirkan harus begini harus begitu, saya merasa sudah mulai stres dan tidak merasa fun lagi dalam menjalankan promil. Akhirnya saya memilih untuk tidak melanjutkan ke inseminasi dan memutuskan untuk break dulu. Karena bagaimanapun juga, kami butuh beristirahat dulu tanpa harus memikirkan apa pun yang berhubungan dengan promil.
Saya dan Ariel juga memutuskan untuk memperbaiki gaya hidup kami. Saya juga mulai rutin berolahraga. Selain itu, sejak 2018 saya memang sudah memutuskan untuk total berhenti bekerja karena ingin fokus pada promil. Jadi sejak istirahat promil pada 2019, saya benar-benar menjalani pola hidup sehat, seperti berolahraga, makan makanan yang sehat, beristirahat dengan benar.
Saya mulai berpikir, tubuh saya juga mungkin juga harus dibuat sehat dulu agar program hamil nanti bisa berhasil. Saya ingin tubuh saya juga kuat dan siap dulu. Dan selama setahun, saya tidak memikirkan tentang promil.
Hingga pada 2020, saat mulai pandemi COVID-19, kami berjodoh dengan Pusat Fertilitas Bocah Indonesia. Jadi kami mulai menjalankan promil yang ketiga. Di sinilah kami bertemu dengan dokter Cynthia dan dari beliau kami mengetahui masalahnya secara detail. Saya jadi mengetahui kalau saya mengidap PCOS, lalu harus menjalani laparoskopi karena ada penyumbatan tuba, dan diketahui ada endometriosis yang harus diangkat.
Nah, pada program hamil kali ini, suami juga menjalani pemeriksaan. Bahkan sampai melalui tiga kali pemeriksaan sperma. Pemeriksaannya benar-benar detail. Di sinilah diketahui kalau suami juga mengalami obesitas sehingga diminta untuk diet, lebih rajin berolahraga, diberi vitamin dan obat-obatan. Setelah itu, saya mulai menjalani program bayi tabung. Kami menunggu selama hampir setahun untuk melakukan transfer embrio pada Oktober 2021.
Mengapa lama? Karena dokter yang menangani saya, ingin agar ‘rumahnya’ atau rahimnya sehat dulu sebelum melakukan transfer embrio. Perlu diketahui, saya sempat empat kali gagal pemeriksaan untuk transfer embrio. Lalu dokter menyarankan saya untuk melakukan akupuntur. Setelah dua bulan, ada peningkatan kondisi. Barulah saya menjalani transfer embrio.
Menyerah atau benar-benar berhenti sih tidak. Tapi kami hanya ingin beristirahat saja dulu dan sama sekali tidak memikirkan soal promil karena sudah overwhelmed saja. Karena merasa harus dan harus punya anak, jadi kami merasa sudah tidak sehat saja. So, kami memutuskan untuk mencari zen-nya dulu (keharmonisan antara tubuh dan pikiran).
Saat mulai melakukan program bayi tabung lagi, mood-nya jadi lebih santai. Kami juga tidak mau terlalu berharap karena kami tahu bahwa program bayi tabung tak selalu berhasil. Kami hanya menjalani sebaik mungkin seperti anjuran dokter saja, tanpa tekanan.
Pastinya iya, tapi dari luar keluarga. Saya sangat bersyukur hidup di antara orang tua, saudara, sepupu, dan keluarga suami yang tidak akan membahas sesuatu kalau tidak ditanya.
Kalau pengalaman tidak enaknya, biasanya berasal dari luar. Paling malas tuh kalau kita bertemu seseorang untuk membicarakan sesuatu hal, orang itu malah menyarankan untuk coba ini coba itu untuk bisa hamil. Mungkin maksudnya memberi perhatian, tapi jadi terkesan memaksa. Namun dari sinilah saya banyak belajar. Walau dengan teman, misalnya dia tidak bertanya, ya mungkin jangan kasih masukan. Tunggu dia bertanya saja karena memang rasanya tidak menyenangkan diberi nasihat tanpa kita bertanya terlebih dahulu.
Ngidam yang aneh pengen, deh. Seperti apa yah rasanya? Hahahaha.. Saya tuh awal-awal hamil pernah ingin makan spaghetti Oma, tapi malah ditertawakan karena itu sih mudah mendapatkannya. Paling akhir-akhir ini lagi nagih suami ke Taman Safari karena suami sering ngobrol dengan bayi misalnya, sayang ini, sayang itu, sayang binatang. Saya jadi pengen banget ke Taman Safari.
Kalau soal keluhan, paling semester pertama super mabuk. Sejak awal dokter memang menyarankan untuk bedrest. Tapi karena saya memang mabuk dan mual walau tidak sampai muntah, jadi otomatis tidak bisa melakukan apa-apa. Sudah bedrest saja tanpa disuruh.
Memasuki semester kedua, sudah tidak mabuk. Hanya saja sekarang kalau bayinya banyak bergerak, berasa eneg saja. Nah waktu kehamilan semester 1, saya tuh suka menangis sampai sesegukan kalau nonton film yang sebenarnya biasa saja. Sedangkan akhir-akhir ini saya jadi moodswing, tiba-tiba sedih, ingin marah, dan lain-lain. Biasanya suami yang jadi pelampiasan, tapi dia sih terima saja. Pokoknya saya jadi lebih kritis, lebih bawel. Tapi setelah saya marah atau nangis, jadi berpikir ‘Ngapain ya tadi marah atau nangis?’.
Semester satu sempat rajin berolahraga, jogging, atau yoga. Tapi habis itu mager. Males berolahraga sama sekali. Sebagai gantinya hanya jalan setiap pagi.
Menjadi seorang ibu, mungkin inilah yang disebut pengorbanan dan unconditional love.
I don’t know. Sekarang saya mulai banyak membaca soal metode-metode parenting. Wow… ternyata macam-macam ya gaya membesarkan anak. Tapi nanti mungkin saya akan lebih mempercayai naluri saya untuk menjadi ibu seperti apa karena saat ini saya masih no clue.
Sehat, tidak kurang sesuatu apa pun. Tapi kita tahu bahwa anak itu bukan diri kita, melainkan individu yang berbeda. Jadi sejauh ini, kami hanya ingin anak menjalankan kehidupannya sesuai purpose-nya.