Menolong dengan ikhlas adalah perbuatan yang mungkin tak pernah bisa diukur dengan angka, satuan, dan lainnya. Begitu pula dengan banyaknya kebahagiaan dan kebaikan yang telah diberikan para dokter untuk melahirkan senyum-senyum hangat banyak orang, termasuk Moms dan keluarga. Ada sejarah panjang di balik perjuangan para dokter hingga akhirnya sejak tahun 1950, Indonesia menetapkan tanggal 24 Oktober sebagai Hari Dokter Nasional. Dan untuk mengapresiasi perjuangan mereka, Mother&Baby menghadirkan para dokter hebat dari berbagai bidang spesialisasi untuk bercerita seputar kehidupan mereka.
Keinginan masa kecil untuk menjadi dokter seperti kedua orang tuanya berhasil dicapai oleh kakak beradik dr. Ardiansjah Dara Sjahruddin, SpOG, M.Kes. dan dr. Armansjah Dara Sjahruddin, Sp.KK, M.Kes. Selama menjalani profesi sebagai dokter, apresiasi berupa doa dari pasiennya yang sembuh menjadi suka cita tersendiri bagi mereka. Seperti halnya sang kakak yang mengaku rasa bahagia yang dirasakan pasien hamil yang ia dampingi bisa memberikan energi positif dan ikut enghadirkan rasa kesenangan untuknya, dr. Armansjah Dara pun berpendapat bahwa ia menemukan kebahagian yang sulit dijelaskan dengan kata-kata saat bisa melakukan hal baik dalam kehidupan pasiennya.
dr. Ardiansjah Dara: Rasanya dulu saya tidak memiliki gambaran dan melihat figur lain selain profesi dokter. Karena kebetulan di keluarga ayah saya, beliau kakak beradik semuanya berprofesi sebagai dokter. Pun dengan paman dan tante saya itu semuanya dokter. Saya memilih menjadi Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan karena kegiatannya tidak hanya praktik dan ketemu pasien, tapi saya juga bisa melakukan tindakan operatif entah itu melahirkan, operasi caesar, atau bahkan operasi penyakit-penyakit kandungan lainnya.
Sebagai dokter kandungan saya kan, juga bertemu dengan pasienpasien yang hamil, jadi artinya saya tidak hanya bertemu pasien dalam keadaan sakit saja, tetapi menangani dan menemani orang hamil yang sedang dalam kondisi bahagia akan punya keturunan. Jadi saya merasa mendapat energi positif dari suasana itu.
dr. Armansjah Dara: Alhamdulillah saya lahir dari pasangan dokter, almarhum ayah saya berprofesi sebagai Dokter Spesialis THT dan ibu saya Prof. Drg. Sejak kecil saya sering ikut dan melihat almarhum ayah saya praktik ke sana ke mari. Nah, saat saya SMP mulai ada keinginan, inshaaAllah suatu saat kelak saya ingin seperti almarhum ayah saya. Alhamdulillah tahun 2015 hingga saat ini saya sudah mulai praktek sebagai Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di beberapa rumah sakit dan klinik yang saya dan beberapa teman saya bangun bersama.
Saya memilih menjadi Dokter Kulit, karena saya rasa selain ini sudah menjadi takdir jalan hidup saya, dulu saat memilih bidang profesi, saya berpikir Dokter Kulit dan Kelamin adalah salah satu bagian yang agak “santai” karena kasus emergency-nya tidak seperti beberapa bidang mayor seperti dokter bedah, obgyn, dan lain-lain.
Sebagai dokter kandungan saya juga cukup senang dan terkesan, karena teman-teman atau pasien-pasien saya di Papua sana, sedikit banyak mereka memakai nama saya sebagai nama anak mereka.
dr. Ardiansjah Dara: Sukanya, sebagai profesional tentunya kami akan mendapat fee saat menolong pasien. Namun terlepas dari hal itu, terkadang fee itu tidak seberapa dibandingkan dengan kebahagiaan ketika pasien atau anggota keluarga pasien benar-benar berterima kasih pada kami karena sudah ditolong.
Sedangkan dukanya atau saya pribadi lebih suka menyebutnya halhal yang tidak semua profesi bisa merasakannya adalah sebagai dokter kandungan kami harus siap panggilan 24 jam, karena orang melahirkan itu kan, bisa kapan saja. Nah karena hal ini, beberapa kali saya harus mengorbankan waktu saya untuk bisa bersama dengan keluarga saat tiba-tiba ada panggilan ke rumah sakit. Tapi mudah-mudahan ini semua bisa saya jalankan secara ikhlas, supaya baik untuk saya dan juga pasien tentunya.
dr. Armansjah Dara: Sukanya saat ada pasien yang memberi apresiasi ketika mereka sembuh dengan doa, atau ada yang mengirimkan makanan untuk saya dan keluarga. Perasaan “bahagia” itu mungkin agak sulit sayanjelaskan dengan kata-kata, tapi saya rasa setiap manusia pasti merasakannhal serupa saat mendapatkan perasaan senang setelah melakukan halnyang baik dalam kehidupan mereka.
Dukanya ketika ada pasien yang komplain atau kadang tidak disiplin terhadap diri mereka sendiri yang akhirnya membuat terapi pengobatan atau perawatan kulit mereka menjadi kurang sempurna atau sembuh. Namun pada akhirnya ini menjadi bagian dari introspeksi diri saya agar dalam menyampaikan konsultasi yang pasien-pasien tanyakan bisa menjadi lebih baik di kemudian hari.
Saat pasien tidak disiplin, ini menjadi ajang introspeksi diri agar di kemudian hari saya bisa lebih baik dalam menyampaikan konsultasi pada pasien.
dr. Ardiansjah Dara: Pengalaman tak terlupakan selama menjalani profesi sebagai dokter adalah saat saya tugas di Wamena, Papua. Di sana saya merasakan cerita-cerita dokter yang istilahnya tidak hanya dibayar dengan uang, namun orang-orang di sana menghargai kami dengan cara mereka. Kalau mereka bertani, kami bisa diberi pisang sampai beberapa sisir, atau bisa juga diberi hasil ternaknya seperti ayam. Bahkan saya pernah diberi burung kakak tua.
Sebagai dokter kandungan saya juga cukup senang dan terkesan, karena teman-teman atau pasien-pasien saya di Papua sana, sedikit banyak mereka memakai nama saya sebagai nama anak mereka. Nah, yang saya tidak bisa lupa, bulan kelahiran saya yaitu Oktober, bahkan dijadikan nama untuk anak mereka.
dr. Armansjah Dara: Bagi saya pengalaman tak terlupakan selama menjalani profesi sebagai dokter adalah saya bisa memberi pengobatan dan perawatan kepada keluarga besar saya, terutama kepada almarhum bapak, ibu saya, istri dan keluarga istri saya
Bagi dr. Hafiza Fikri Fadel, SpKK atau lebih dikenal dengan dr. Fiza, menjadi dokter membuatnya memiliki karakter yang ikhlas, tangguh, dan mampu menerima segala situasi dengan baik. Karenanya, wanita berusia 33 tahun ini menjadikan profesinya, yaitu dokter spesialis, sebagai “guru” yang semakin menguatkannya dalam urusan pekerjaan maupun menjalani peran sebagai ibu 3 anak.
Cita-cita saya sejak kecil adalah menjadi dokter, yang selalu saya anggap sebagai profesi yang mulia. Dan saat akan berkuliah, saya merasa beruntung karena bisa lolos di Universitas Indonesia melalui jalur undangan dan masuk di Falkultas Kedokteran.
Dari masa perkuliahan sendiri tentu sudah terasa cukup berat. Tak hanya soal mengejar materi hingga berkesempatan untuk menjalani KOAS, tapi dalam hal berkumpul dengan teman lainnya pun sulit dilakukan. Kemudian, setelah sekarang sudah menjadi dokter sekaligus ibu dari tiga anak, tantangannya pun berbeda. Saya yang masih ingin mengaktualisasi diri ini pun harus pintar-pintar dalam manajemen waktu, sehingga tidak hanya karier yang maju tapi juga tetap mengutamakan keluarga di saat bersamaan.
Selain itu, saya pun memiliki pasangan yang bukan dari kalangan medis. Sehingga saya dan suami pun berusaha untuk saling dukung dalam karir. Hal ini pun dibantu oleh orang tua yang juga turut merawat dan mengasuh anak-anak saya.
Meski terasa berat, dukungan dari keluarga besar pun membuat kakak saya yang berbeda usia di atas satu tahun pun berhasil menjadi dokter
Saya yang masih ingin mengaktualisasi diri ini pun harus pintar-pintar dalam manajemen waktu, sehingga tidak hanya karier yang maju tapi juga tetap mengutamakan keluarga di saat bersamaan.
spesialis anak dan saya menjadi dokter spesiali kulit dan kelamin. Kami tentu bersyukur karena hingga sekarang, dukungan dari orang tua sangat besar untuk kami mencapai cita-cita ini.
Pengalaman ini sebenarnya memengaruhi peran saya sebagai ibu. Di tahun terakhir, saat saya tengah melanjutkan pendidikan menjadi dokter spesialis, anak pertama saya sempat didiagnosa alami ADHD/Autisme. Hal ini mematahkan hati saya hingga sempat ingin berhenti untuk meneruskan pendidikan. Namun, dukungan dari dosen pengajar, keluarga, serta pasangan membuat saya memilih untuk cuti kuliah selama 6 bulan untuk fokus pada tumbuh kembang anak. Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk kembali siap dalam melanjutkan laporan tesis hingga kemudian bisa lulus sesuai target saya dengan tetap bisa merawat anak semampu saya dan sebaik mungkin.
Profesi sebagai dokter kandungan selama 2 tahun nyatanya sudah menjadi pilihan hidup dari dr. Darrell Fernando, SpOG. Pria berusia 30 tahun ini pun telah memiliki banyak pengalaman, bahkan sempat viral karena kisah yang ia bagikan melalui Instagram pribadinya. Meski begitu, dokter Darrell tetap berpengang pada prinsipnya bahwa ‘dokter harus mengusahakan yang terbaik bagi keselamatan pasiennya’.
Saya besar di keluarga yang semuanya berprofesi sebagai dokter, dari kakek, nenek, ayah hingga ibu. Jadi, sejak kecil pun sudah terbiasa dengan dunia kedokteran. Sebenarnya saat SMA, saya sempat ingin berkuliah di jurusan Teknik, tapi nyatanya saya tidak suka pelajaran fisika. Akhirnya saya pun memutuskan untuk tetap menjadi dokter dan tentunya bersyukur karena sudah memilih profesi ini.
Sukanya tentu saat mengetahui bahwa pasien bisa sembuh. Karena saya juga adalah seorang obgyn atau dokter kandungan, kesukaan utama tentu ketika dapat memberikan kebahagiaan pada orang tua saat melihat bayinya lahir atau saat seorang wanita susah hamil namun pada akhirnya bisa hamil. Hal tersebut memberikan kepuasan bagi saya. Hal yang kurang menyenangkan tentu ada, seperti pasien yang tidak sembuh atau jika pasein memilki angka kesembuhan yang rendah. Hal ini memang kurang menyenangkan namun sudah menjadi bagian dari profesi yang dijalankan
Ada dua pengalaman yang paling sulit dilupakan. Yang pertama adalah saat bertugas di Pelabuhan Ratu, Sukabumi yang memang banyak pegunungan. Ketika itu saya sedang berjaga sendiri dengan seorang bidan. Tiba-tiba ada seorang ibu yang hendak melahirkan. Karena ibu ini tidak pernah memeriksakan kandungan, ia tidak tahu bahwa bayinya kembar.
Dokter harus mengusahakan yang terbaik bagi keselamatan pasiennya.
Jadi setelah proses kelahiran terjadi di puskesmas dengan satu bayi telah lahir dan satu lainnya masih di dalam rahim, maka kami semua bergegas ke rumah sakit yang berada di tengah kota.
Kedua adalah ketika saya sudah menjadi dokter spesialis dan menjalankan wajib kerja dokter spesialis di Lubuk Basung, Kab. Agam, Sumatera Selatan. Saat itu ada bayi yang dikatakan lahir dengan posisi sungsang atau kepalanya tersangkut karena ada sebuah kelainan. Sayangnya, bayi tersebut tidak terselamatkan. Pengalaman ini pun saya bagikan di akun Instagram pribadi dan sempat viral saat itu. Memang banyak pengalaman suka dan duka, namun ini menjadi kisah tersendiri untuk mewarnai hidup saya sebagai seorang dokter. Karena menurut saya, para dokter tentu akan berusaha untuk membantu pasien hingga sembuh, dan bukan hanya senang karena suatu kasus yang tidak biasa.
Sempat terbesit ingin menjadi seorang seniman, namun Dr. Louise Kartika, MGizi, SpGK tetap memilih masuk sekolah kedokteran. Demi meraih profesi sebagai dokter ini, banyak hal yang harus ia korbankan. Mulai dari tenaga, pikiran, materi, sampai masa mudanya. Meski demikian, tak pernah ada rasa sesal yang ia rasakan atas segala pengorbanannya tersebut dan berharap bisa selalu menunaikan tugas mulia untuk bisa menolong orang.
Awalnya karena pilihan dari orang tua dan kebetulan ibu saya juga berprofesi sebagai dokter. Namun setelah masuk Fakultas Kedokteran, saya baru sadar ternyata perjuangan untuk meraih profesi ini sebenarnya berat. Banyak pengorbanannya, mulai dari tenaga, pikiran, materi, sampai masa muda yang tidak bisa saya rasakan seperti orang lain. Tetapi saya tidak menyesal dengan segala pengorbanan yang saya lakukan. Saya bangga dan berharap bisa tetap menolong orang dengan tulus. Karena sebenarnya inti profesi dokter itu adalah tulus dan mulia untuk menolong orang, meski tidak semua orang melihat dari sisi tersebut.
Banyak, sih. Sukanya jadi dokter itu tentunya bisa menunaikan tugas mulia untuk bisa menolong orang, meringankan penderitaan dan rasa sakit orang, bahkan sampai menyelamatkan nyawa seseorang. Saya juga senang bisa memberikan edukasi pada masyarakat untuk menjelaskan
Inti profesi dokter itu adalah tulus dan mulia untuk menolong orang, meski tidak semua orang melihat dari sisi tersebut.
peran nutrisi untuk meningkatkan imunitas tubuh, khususnya di masa pandemi seperti saat ini, serta dapat membantu mengubah pola pikir dan perilaku pasien supaya mereka lebih optimal dan sehat.
Dukanya, terkadang orang berekspektasi lebih besar pada kami, sementara kami memiliki banyak keterbatasan, baik waktu, tenaga dan pendukung. Di masa pandemi, ternyata sebagai dokter, kami punya risiko terkena infeksi yang tinggi karena sering sekali terpapar kuman atau virus yang ada di rumah sakit. Jadi kami harus selalu waspada dan jaga kondisi fisik, meskipun terkadang situasi dan kondisinya tidak mendukung. Selain itu, terkadang dokter juga suka mendapat stigma materialistis atau egois dari masyarakat.
Pengalaman tak terlupakan sebagai Dokter Spesialis Gizi adalah saat saya berhasil menangani pasien dengan kasus Fistula Enterokutan. Saat itu saya berkolaborasi dengan Dokter Bedah untuk memperbaiki kondisi pasiennya. Awalnya pasien sudah lemas, bedridden, dan lukanya terus mengeluarkan cairan. Setelah kami tangani bersama, lukanya semakin mengecil kemudian kondisi pasien sudah bisa duduk, mulai belajar jalan, sampai akhirnya bisa pulang dan berobat jalan.
Hal berkesan lainnya, saya sempat berkontribusi di Asian Games 2018 lalu sebagai Nutrition and Food Safety Manager, untuk melakukan pengelolaan makanan di wisma atlet dan venue. Selain itu sampai saat ini, saya juga menjadi Nutrition Consultant di Pengurus Besar Persatuan Angkat Besi Seluruh Indonesia (PABSI) dan menjadi Member of Sport & Medical Commission di KOI (Komite Olimpiade Indonesia).
Pengalaman menjadi Dokter Kecil membuat dr. Caessar Pronocitro, Sp. A, M.Sc, menemukan panggilannya sebagai dokter spesialis anak. Pria berusia 34 tahun ini selalu menemukan kebahagiaannya saat menolong dan merawat orang lain, terutama saat melihat seorang anak dapat tumbuh sehat dan optimal.
Waktu kecil tidak terpikir menjadi dokter, karena kebetulan di keluarga juga sama sekali tidak ada yang punya profesi di bidang medis, jadi tidak ada sosok yang memberikan ide atau inspirasi. Tapi waktu kelas 5 atau kelas 6 SD, waktu itu kebetulan saya terpilih jadi perwakilan sekolah untuk ikut program dan pelatihan Dokter Kecil. Nah, dari situ dapat pelatihan dari puskesmas lalu kebetulan juga menjadi juara di lomba. Kemudian oleh sekolah diberi kepercayaan untuk memberikan pertolongan pertama kalau ada murid yang mengalami luka. Misalnya kalau saat upacara bendera ada yang pingsan, ada yang lagi main lalu terluka, saya yang diminta bertugas untuk memberikan pertolongan pertama. Dari situ baru merasa ada panggilan untuk merawat orang lain, meringankan deritanorang lain.
Nah, akhirnya keterusan sampai pada waktu melanjutkan pendidikan di kuliah, daftar ke fakultas kedokteran. Kemudian di fakultas kedokteran ada periode konsistensi, di mana dokter muda harus bertugas di semua bagian rumah sakit. Dari situ baru merasakan panggilan yang lebih dalam lagi untuk mendalami spesialisasi anak. Jadi, akhirnya setelah selesai pendidikan dokter umum, sempat praktik sekitar 3 tahun, lalu melanjutkan ke spesialisasi anak.
Karena saya dokter anak, paling senang kalau melihat anak bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dan optimal
Kalau sukanya mungkin banyak, karena saya punya passion di situ. Akhirnya setiap hal yang saya kerjakan dibawa happy saja. Cuma, karena saya dokter anak, paling senang kalau melihat anak bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dan optimal. Jadi saya membantu mendampingi orang tua agar anak memiliki tumbuh kembang yang optimal. Kadang kaget juga misalnya ada pasien yang datang lagi setelah berusia 2 atau 3 tahun untuk imunisasi.
Saya baru sadar, sudah lama juga ya, sudah 2 atau 3 tahun menjadi pasien saya. Karena ketika lahir, saat masih bayi, saya yang menjadi dokter anaknya kemudian tidak berasa sudah 2 tahun atau 3 tahun, dan anaknya dalam kondisi sehat. Nah, itu menjadi perasaan senang tersendiri, ya, karena bisa membantu anak-anak melalui tahun-tahun kehidupannya dengan kondisi yang sehat.
Kalau untuk dukanya, apa yaa… Haha. Karena happy jadi tidak ada yang sampai duka yang membekas. Hmm, ini mungkin bukan duka ya, tapi masa-masa paling berat, yakni saat menjalani pendidikan. Pendidikan kedokteran bisa dibilang cukup lama. Pendidikan dokter umum, kemudian spesialis. Selama masa itu sebagian besar waktu dihabiskan di rumah sakit, jadinya tidak bisa menghabiskan banyak waktu dengan orang tua dan keluarga. Rasanya ada masa-masa yang hilang. Tapi setelah selesai menjalani pendidikan, barulah bisa membayar waktu-waktu yang hilang dengan menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarga dan orang
tua.
Sebenarnya terjadinya baru-baru ini, sih. Jadi ada ibu hamil mau melahirkan tetapi ternyata ia positif COVID-19. Jadi, di rumah sakit kita harus menyiapkan semuanya. Dari proses melahirkan yang melalui operasi, ruang operasi diatur dengan tekanan negatif, kemudian seluruh tim yang mendampingi persalinan menggunakan APD lengkap. Jadi persiapannya memang cukup repot dan mungkin bikin semua orang deg-degan. Tapi syukurlah semua berjalan dengan lancar. Kemudian ibunya sendiri juga tidak ada gejala. Jadi, setelah beberapa hari sudah dipulangkan.
Bayinya kan, saya yang merawat, jadi memang ditempatkan terpisah dari bayi-bayi yang lain. Kemudian kita lakukan tes swab-PCR di usia 24 dan 48 jam. Syukurlah hasilnya negatif. Selanjutnya sembari menunggu hasil tes ibunya menjadi negatif, bayinya sementara dirawat oleh neneknya yang negatif. Itu sih, yang bikin agak deg-degan. Karena proses persalinannya bikin deg-degan, kemudian yang kedua selama menunggu hasil tes bayi. Tapi syukurlah aman, semuanya sehat.
Profesi dokter tentu profesi yang menantang, terlebih ketika spesialisasi yang ditekuni masih asing di telinga banyak orang. Itulah yang dirasakan dr. Sophia Hage, SpKO, seorang Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga. Saat baru lulus spesialis dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di tahun 2015, ia mengaku sempat merasa sendirian dan bingung identitas di bidang yang ia dalami. Bukan dokter umum, bukan juga dokter bedah. Terlebih, saat itu belum banyak role model di dunia kedokteran olahraga yang bisa ia dijadikan panutan. Bagaimana pengalaman dr. Sophia menjalankan profesi dengan spesialisasi yang terbilang ‘asing’ ini? Simak suka dukanya, yuk.
Ketika saya lulus kedokteran umum, saya menyadari bahwa ada satu hal yang kurang dari diri saya, karena setiap bulan saya mengalami migrain.Pengalaman dengan migrain ini bukan pengalaman yang menyenangkan. Akhirnya, saya coba untuk mengubah gaya hidup: Olahraga jadi teratur, juga mengonsumsi makanan bergizi dan seimbang. Itu sangat membantu. Sebenarnya saya dari kecil bukan orang yang suka olahraga, tapi karena saya mengubah pola hidup saya dengan sadar dan akhirnya malah jadi jatuh cinta dengan pola hidup sehat tersebut, maka tercetuslah keinginan untuk menjadi dokter spesialis kedokteran olahraga. Lalu saya pikir kalau memang harus melakukan sesuatu dan mendalaminya seumur hidup, lebih baik melakukan hal yang saya cintai. Sejak itu saya memilih untuk menjadi dokter spesialis kedokteran olahraga.
Saat saya ambil spesialisasi kedokteran olahraga tahun 2009, bidang itu belum dikenal. Jadi mungkin dukanya adalah harus berjuang sendiri atau dengan teman-teman yang jumlahnya enggak banyak, untuk mengedukasi masyarakat, teman profesi dokter lainnya, tenaga kesehatan, orang-orang di bidang olahraga, bahwa ada lho, dokter spesialis kedokteran olahraga. Dan sampai sekarang pun edukasi mengenai dokter spesialis kedokteran olahraga ini masih terus saya lakukan.
Jangan ragu untuk ke dokter spesialis kedokteran olahraga untuk konsultasi, baik itu karena cedera olahraga yang terjadi di rumah atau untuk meminta saran olahraga terbaik pascamelahirkan, menyusui, dan sebagainya. Olahraga itu penting dan menyenangkan, lho.
Sedangkan sukanya, kalau dokter lain harus kerja di klinik atau rumah sakit, saya sebagai dokter spesialis kedokteran olahraga bisa kerja di pinggir lapangan atau di alam terbuka. Lebih segar kan, daripada di klinik. Saya bisa bekerja dengan atlet dan tentunya dengan orang-orang yang passionate juga di bidang olahraga.
Saya kebetulan menjadi dokter tim Federasi Panjat Tebing Indonesia, yang menangani atlet-atlet panjat tebing nasional. Targetnya tentu target
prestasi atau performa, ya. Kemudian ada satu atlet yang sudah operasi tendon (yang menyambungkan otot ke tulang) karena tendon jarinya putus. Untuk seorang atlet panjat tebing, kekuatan jari penting banget, karena mereka akan “menggantungkan” berat badan ke jari-jari. Setahun setelah operasi, kekuatan tendonnya masih belum maksimal juga, padahal ia sudah menjalankan berbagai terapi dari berbagai dokter spesialis sejak 2019. Ini tentu sangat mengganggu performa dan kariernya. Keadaan semakin urgent karena kalau tendonnya belum kuat juga, maka ia terancam tidak bisa ikut tim nasional tahun depan.
Menemui kasus ini, saya sempat bingung mencari terapi yang paling tepat untuknya, karena atlet tersebut sudah mencoba banyak terapi dan belum berhasil. Lalu saya mencoba memberikan terapi yang umumnya diberikan untuk anak-anak, yaitu terapi menggunakan lilin mainan. Biasanya lilin mainan seperti Playdoh ini diberikan untuk melatih jari-jari anak, khususnya balita. Nah, setelah saya mencari di jurnal, ternyata ada beberapa jurnal yang menyebutkan kalau lilin, clay atau tanah liat, itu memang bisa dipakai untuk menguatkan tendon. Lalu saya beli berbagai lilin mainan, clay, bahkan squishy, dan benda lain yang biasa digunakan anak untuk sensory play. Setelah 2 bulan berlatih dengan lilin mainan dan lain sebagainya, akhirnya tendonnya kembali kuat. Dulu target atlet tersebut harus bisa memanjat tebing di bawah 5 detik, dan setelah terapi, target itu berhasil ia raih.
Bagi dr. Jimmy Tandradinata, SpPD atau lebih akrab disapa dr. Jimmy, menjadi dokter adalah salah satu caranya untuk dapat membahagiakan semua orang. Ia ingin semua orang sehat, karena sehat merupakan kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Profesinya sebagai Dokter Spesialis Penyakit Dalam pun membuatnya sangat tertarik dan tertantang untuk bisa mendiagnosis penyakit, tanpa harus membedah tubuh pasien.
Saya ingin menjadi dokter karena saya ingin membuat semua orang bahagia, salah satu caranya adalah dengan membuat orang sehat. Begitu saya memasuki kuliah kedokteran, saya semakin ‘terjerumus’ dan semakin tertarik dalam memelajari patofisiologi penyakit dan fisiologi tubuh manusia. Setelah lulus dan bertemu pasien, menjalankan profesi dokter semakin menarik lagi bagi saya, karena terkadang teori dan praktik tidak selalu cocok. Kedokteran itu menggabungkan science dengan art, bagaimana cara kita menangani pasien tetapi tidak melulu berdasarkan text book atau panduan buku. Sekarang ketika saya menjadi internist atau ahli penyakit dalam, profesi ini semakin menarik karena saya seperti menjadi detektif, saya harus bisa mendiagnosis penyakit pasien tanpa membedah tubuh pasien.
Apa saja suka duka menjadi dokter? Tentunya banyak ya, suka dukanya. Bagi saya duka terberat sebagai dokter adalah harus menghadapi kematian, karena itu tidak akan pernah mudah sampai kapanpun. Saya masih ingat pertama kali harus berhadapan dengan kematian pasien, yaitu ketika masih KOAS dulu. Saat itu saya harus menghadapi kematian seorang bayi yang usianya belum 1 tahun, akibat infeksi di selaput mata. Saya masih ingat jelas betapa beratnya untuk memberitahukan berita duka ini ke keluarga pasien, dan betapa haru tangis keluarganya ketika mengetahui kematian bayi mereka. Bagi saya yang kini juga seorang ayah, menghadapi kematian pasien tentu menjadi semakin sulit karena semakin teringat keluarga di rumah. Jadi saya kudos (salut) banget dengan para dokter anak.
Kalau sukanya menjadi dokter ada banyak, ya. Intinya, ketika dokter bisa menyembuhkan pasien, pasien bisa pulang dari rumah sakit dengan senyum dan rasa terima kasih pada dokter, itu tentunya sudah menjadi anugerah tersendiri bagi dokter.
Bagi saya yang kini juga seorang ayah, menghadapi kematian pasien tentu menjadi semakin sulit karena semakin teringat keluarga di rumah.
Pengalaman paling berkesan adalah ketika saya baru menjadi internist, saya masih muda waktu itu. Ada seorang bapak yang mengeluhkan sakit maag, dan setelah saya periksa dengan seksama, saya diagnosis bapak tersebut mengalami penyakit jantung. Karena saya masih muda, bapak itu tidak percaya dengan diagnosis saya. Akhirnya saya bujuk dan bilang kalau tidak percaya tidak apa-apa, tetapi mohon bapak sekarang juga ke dokter spesialis jantung yang bapak percayai.
Setahun kemudian, bapak itu kembali ke ruang praktik saya dan langsung memeluk saya sambil bilang, “Terima kasih, dok. Berkat dokter, saya masih ada sampai saat ini.” Ternyata setelah beliau ke dokter jantung, dokter langsung melakukan kateterisasi jantung karena ada 2 sumbatan total di pembuluh darah jantungnya. Dokter jantungnya bahkan bilang, “Kalau bapak tidak berobat, mungkin bapak sudah tidak ada.” Pengalaman tersebut sangat berkesan bagi saya.
Ada juga kisah berkesan lainnya. Ada pasien kakinya infeksi berat karena diabetes. Pasien itu sudah tua, diabetes sudah lama, dan sudah hemodialisis (cuci darah) rutin. Infeksi tersebut membuat kakinya kehitaman, timbul luka yang dalam, prognosis sudah buruk, dan satusatunya cara adalah diamputasi. Tetapi pasien itu kekeuh untuk tidak mau diamputasi, padahal saya semua dokter yang pernah ia temui merasa mustahil untuk tidak diamputasi karena bisa menyebabkan sepsis atau infeksi menyebar. “Sampai akhir hayat pun saya tidak mau kaki saya hilang,” begitu ujar pasien tersebut. Akhirnya dengan usaha ekstra maksimal dan memakan waktu lama (hampir setahun totalnya), keajaiban pun terjadi. Yang tadinya tidak mungkin menyelamatkan kaki infeksi tersebut, perlahan kakinya mulai membaik, walau tidak bisa seratus persen kembali seperti dulu. Nah, keajaiban seperti ini yang membuat saya sangat terkesan dan semakin semangat mengobati pasien.
Dr. Runi Deasiyanti, Sp. A, tidak bisa membayangkan dirinya selain menjadi seorang dokter. Walau prosesnya panjang dan penuh pengorbanan, ibu dari dua orang anak ini selalu bahagia menjadi seorang dokter karena bisa menolong orang. Ia percaya bahwa seorang dokter tak perlu takut melayani jika dilakukan dengan usaha terbaik dan niat tulus.
Sebenarnya bukan terpanggil, tapi lebih karena disuruh. Kedua orang tua menginginkan salah satu anaknya ada yang meneruskan menjadi dokter
karena ayah adalah seorang dokter. Kebetulan kami tiga bersaudara, kakak pertama dan kedua sudah menentukan pilihannya di bidang ekonomi dan tersisa saya, satu-satunya harapan. Jadi saya mencoba dan diterima.
Tapi kalaupun ditanya ingin menjadi apa, saya juga tidak tahu tahu ingin menjadi apa. Karena growing up di keluarga dokter, jadi itulah yang saya tahu. Selain itu, menurut saya memang profesi dokter selain mendapat penghasilan juga mendapatkan pahala. As cliché as it sounds, tapi memang menurut saya seperti itu, dokter adalah profesi yang mulia.
Sukanya banyak, ya. Bisa menolong orang rasanya benar-benar suatu hal yang tidak bisa tergantikan dengan uang. Bisa menolong orang, sebagai perpanjangan tangan Allah tentunya, benar-benar hal yang precious banget. Kalau dukanya, mungkin kehilangan banyak waktu untuk keluarga terutama, karena sekolahnya lama sekali. Saya kehilangan masa muda karena belajar terus. Jadi setiap acara dan liburan keluarga bersama, saya tidak bisa ikut. Selain itu saya juga kehilangan momen-momen berharga. Seperti saat anak saya masih kecil, perkembangannya sedang cepat banget. Dalam hitungan hari atau bulan sudah bisa ini, sudah bisa itu. Saya hanya bisa melihatnya sekilas, selirik saja, karena sudah harus kuliah lagi sampai sore. Kadang jaga malam juga, baru pulang besoknya.
Bisa menolong orang, sebagai perpanjangan tangan Allah tentunya, benar-benar hal yang precious banget.
Sebenarnya banyak. Ada yang menegangkan, senang, maupun sedih. Yang menegangkan mungkin saat terjadi tawuran antar geng preman. Saat itu anggota geng yang sudah terluka dibawa oleh mobil ambulans tetap dikejar oleh musuh sampai ke pintu IGD RSCM. Mereka menyerbu masuk ke dalam ambulans dan berusaha menganiaya korban dengan senjata tajam. Gedung IGD pun menjadi sasaran kerusuhan. Kaca-kaca berserakan dan banyak orang yang terluka.
Namun mungkin salah satu pengalaman yang paling membekas adalah saat stase di bagian perinatologi. Saat itu saya sedang merawat bayi baru lahir prematur yang ibunya meninggal pascapersalinan, sehingga selama merawatnya saya banyak berkomunikasi dengan ayahnya. Kondisi bayi saat itu tidak baik, mengalami infeksi berat dan dirawat dengan alat bantu napas. Ayah pasien (yang ternyata seorang eks narapidana), sangat stres dengan kondisi yang ia hadapi saat itu. Beliau mengancam akan membunuh saya bila anaknya meninggal. Ia memastikan saya paham betul bahwa ini tidak akan menjadi pengalaman pertamanya membunuh. Saya tahu ia bersungguh-sungguh, namun entah kenapa saya tidak takut.
Saya berpikir, jika bersungguh-sungguh dengan niat baik dan tulus, saya tidak perlu takut. Benar saja, seiring berjalannya waktu, walau tidak mudah, kepercayaan Sang Ayah mulai timbul. Bahkan ia menjadi baik dan benar-benar percaya dengan saya. Bayi tersebut dirawat sebulan lebih, tapi sayangnya tidak dapat diselamatkan. Namun ayah pasien ikhlas dan dapat menerima kenyataan harus kehilangan istri dan anaknya. Dari pengalaman ini saya semakin yakin, selama niat kita baik, tulus, berusaha sebaik mungkin dalam menangani pasien, kita tidak perlu takut. Saya juga benar-benar merasakan pentingnya komunikasi yang baik antara dokter dengan pasien atau keluarga pasien, dan betapa berharganya mendapat kepercayaan pasien dan keluarganya. Very priceless!
Efek magic seorang dokter! Pengalaman masa kecil Sandy Prasetyo saat sakit dan harus berobat membuatnya begitu terkesan dengan profesi dokter hingga kini ia pun menyandang gelar sebagai Sp.OG atau dokter spesialis obstetri dan ginekologi di RSIA Brawijaya Antasari & RSIA Binamedika Bintaro.
Dahulu kata orang tua saya, ketika saya sakit biasanya dibawa ke dokter anak. Tapi belum sampai ke tempat dokternya, kok sudah sembuh. Jadi saya berpikir, wah kayaknya seru, nih. Belum apa-apa, seorang dokter sudah memiliki efek terhadap pasien-pasiennya. Lalu saya juga membayangkan betapa menyenangkan ketika sang pasien bisa kembali tertawa setelah bertemu dokter. Sesederhana itu, alasan saya memilih karier sebagai dokter. Dan alhamdulillah jalannya dibukakan.
Kenapa dokter kandungan? Saya adalah tipe orang yang suka mengambil tindakan langsung. Bagi saya, sesuatu yang bersifat darurat layaknya adrenaline rush dan rasanya sangat menyenangkan jika membantu mengatasi masalah tersebut. Apalagi di obgyn, yang kita tolong
ada dua orang, yaitu ibu dan bayinya. Dan jika bisa menolong mereka, rasanya seperti kita bisa menghantarkan kebahagiaan. Hal itulah yang membuat saya senang.
Sukanya, tentu karena bisa bertemu banyak orang dan mendapatkan ucapan ‘terima kasih’ karena di balik ucapan terima kasih tersebut ada perjuangan yang panjang. Pernah ada kasus darurat ketika saya bertugas di daerah yang fasilitasnya kurang lengkap. Kala itu, seorang ibu memiliki tumor di kandungannya sehingga harus dioperasi. Jika saya merujuknya ke rumah sakit dengan fasilitas lengkap, maka ia harus menempuh perjalanan 12 jam. Namun pihak keluarga datang dan mengatakan telah ikhlas memercayakan penanganan kepada saya apa pun yang terjadi. Momen seperti inilah yang mungkin tidak akan saya dapatkan di pekerjaan lain.
Saat pihak keluarga datang dan ikhlas mempercayakan penanganan kepada saya. Momen seperti inilah yang mungkin tidak akan saya dapatkan di pekerjaan lain.
Dukanya tentu saja jadi jarang bertemu dengan keluarga, apalagi sekarang menjadi dokter kandungan. Melahirkan bisa kapan saja, padahal kita sudah punya rencana lain. Tapi kan, kita memiliki alturisme, jadi kepentingan pasien emergency yang diutamakan. Selain itu dukanya, saat operasi terkadang ada hal yang terjadi di luar ekspektasi kita. Kadang outcome operasi tidak sesuai yang diprediksi sehingga ketika kita pulang ke rumah masih memikirkannya. Kadang sampai tidak bisa tidur.
Pengalaman paling mengesankan adalah ketika saya berhasil mendapatkan kepercayaan dari pasien dan keluarganya. Nah yang pertama harus saya buat untuk percaya justru bukan pasiennya, melainkan pasangannya. Ketika suami sudah merasa nyaman dengan saya dan bisa berdiskusi, artinya saya sudah bisa mendapat kepercayaannya. Bahkan seringkali, yang menghubungi saya untuk berkonsultasi adalah sang suami. Hal itu tentu saja sangat berkesan bagi saya karena artinya sang suami telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk menangani istrinya.
Change of heart atau perubahan kata hati yang membuat Tengku Annisa Utami kini menyandang status sebagai dokter gigi dan berpraktik di D’elegance Clinic, Tebet. Sebelumnya, fakultas kedokteran bukanlah pilihan utama wanita berparas cantik tersebut.
Sebetulnya setelah lulus SMA, saya memilih jurusan bisnis manajemen. Setelah saya jalani selama 1 bulan, saya merasa ini bukan bidang yang saya inginkan. Lalu saya memutuskan untuk keluar dari jurusan tersebut, dan mendaftar di fakultas kedokteran gigi. Kebetulan saat itu masih ada tes gelombang terakhir dan alhamdulillah saya lulus. Dan setelah mengikuti kuliahnya dan mendapatkan materi, saya pun berpikir inilah yang saya cari. Menempuh pendidikan kedokteran memang sulit, tapi saya senang dengan materinya jadi saya tetap enjoy. Jadi mengapa memilih profesi dokter? Ya bisa dibilang panggilan jiwa. Lagipula, sejak kecil saya juga termasuk anak yang rutin ke dokter gigi. Kedua orang tua saya adalah tipe yang sangat peduli terhadap kesehatan gigi dan mulut anaknya.
Sukanya? Ehm, setiap hari kita benar-benar bertemu orang baru. Jadi kita bisa menambah relasi dan teman, karena saya tidak pernah memposisikan diri saya dengan pasien sebagai dokter yang kaku. Melainkan lebih ke saya mengedukasi mereka dengan cara mengobrol sehingga pasiennya akan sadar sendiri betapa pentingnya untuk melakukan perawatan gigi. Selain
Rasanya bahagia bisa membantu pasien meningkatkan kepercayaan diri dan kualitas hidupnya melalui perawatan yang diberikan.
itu, rasanya juga bahagia ketika berhasil membantu pasien agar lebih percaya diri dan mereka mengucapkan terima kasih setelah mendapat perawatan. Karena apabila pasien lebih percaya diri, maka kualitas hidup mereka pun akan lebih meningkat.
Kalau dukanya memang belum banyak. Tapi yang terasa sekali pada masa pandemi COVID-19 ini, dokter gigi merupakan salah satu profesi yang sangat rentan tertular virus Corona. Jadi ketika praktik, kita juga harus mengenakan hazmat atau alat pelindung diri yang lengkap jadi kita harus menahan keringat dan kepanasan meski AC di ruangan cukup dingin. Dan terkadang juga harus menahan keinginan ke toilet karena ketika alat pelindung dilepaskan maka kita harus menggunakan alat pelindung diri yang baru.
Karena saya masih tergolong dokter baru, jadi yang terasa berkesan banget tuh, saat masih berjuang untuk mencapai profesi ini. Saat coass, saya harus mencari pasien sendiri. Pernah juga sampai harus antarjemput pasien. Dan tentunya, saya juga punya pengalaman menangani pasien anak kecil yang harus dirayu sedemikian rupa agar mau melakukan perawatan.