Berolahraga. Melakukan diet ketat. Mengonsumsi hanya makanan dan minuman sehat. Segala hal dilakukan orang untuk bisa menjaga kesehatan fisiknya. Namun banyak orang lupa untuk menjaga kesehatan mental.
Rasa malu untuk mengakui bahwa “Saya tidak sedang baik-baik saja”, membuat sebagian orang mengabaikan suara hati kecilnya untuk meminta pertolongan. Alih-alih memulihkan diri, masalah mental health cenderung dibiarkan berlarut hingga terkadang berujung dengan depresi hingga bunuh diri.
Padahal mental health juga merupakan faktor penting dalam kehidupan. Untuk bisa berfungsi seutuhnya, seorang manusia bukan hanya perlu sehat secara fisik, tapi juga sehat secara psikis.
“Untuk meningkatkan kesadaran Moms dan Dads tentang betapa pentingnya menjaga kesehatan mental, M&B akan mengupas lebih dalam soal mental health dengan narasumber yang kredibel, yaitu Irma Gustiana A., S.Psi., M.Psi., Psikolog., CPC (Psikolog Klinis, Parenting Coach dan Founder Klinik Ruang Tumbuh), dr. Aimee Nugroho, Sp.KJ (Psikiater National Hospital Surabaya), Dr. dr. Fidiansjah, Sp.KJ, M.P.H, (Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa dan Direktur Utama RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor), serta wawancara khusus dengan Raden Prisya (Mindfulness Practitioner & Well-Being Coach).
Istilah mental health atau kesehatan mental kian marak digunakan dalam beberapa tahun terakhir. Merujuk pada situs World Health Organization (WHO), mental health merupakan kondisi kesehatan mental yang membuat seseorang mampu mengatasi tekanan/stres dalam kehidupan, menyadari kemampuan yang dimiliki, bisa belajar dan bekerja dengan baik, serta memberikan kontribusi bagi komunitasnya.
Kesehatan mental merupakan faktor penting bagi seseorang untuk bisa memiliki kemampuan mengelola emosi, mengambil keputusan yang baik, serta membangun hubungan dengan orang lain. Saat kondisi kesehatan mental seseorang terganggu, maka ia tidak akan menjalankan fungsinya sebagai manusia secara optimal.
“Gangguan kesehatan mental, juga dikenal sebagai gangguan jiwa atau gangguan mental, adalah kondisi yang memengaruhi pikiran, perasaan, perilaku, atau fungsi sosial seseorang sehari-hari. Gangguan kesehatan mental dapat bervariasi dalam tingkat keparahan dan jenisnya, dan mereka bisa memengaruhi seseorang dalam berbagai aspek hidupnya.” Irma Gustiana A., S.Psi., M.Psi., Psikolog., CPC (Psikolog Klinis, Parenting Coach dan Founder Klinik Ruang Tumbuh).
Sulit untuk menuding satu alasan mengapa mental seseorang bisa terganggu. Menurut Irma, gangguan kesehatan mental merupakan kondisi yang kompleks dan seringkali melibatkan interaksi antara berbagai faktor. Dengan kata lain, gangguan kesehatan mental tidak disebabkan oleh hanya satu faktor tunggal saja.
Beberapa faktor yang bisa memicu munculnya gangguan kesehatan mental pada seseorang, antara lain:
Risiko seseorang untuk bisa mengalami gangguan mental akan semakin besar apabila ada riwayat kondisi serupa dalam keluarganya.
Perubahan dalam keseimbangan kimia otak, terutama neurotransmitter seperti serotonin, dopamin, dan norepinefrin, dapat berkontribusi pada beberapa gangguan mental.
Pengalaman traumatis dalam berbagai bentuk, termasuk pelecehan seksual, kekerasan fisik, kehilangan yang mendalam, atau trauma lainnya dapat meningkatkan risiko perkembangan gangguan kesehatan mental, termasuk gangguan stres pasca-trauma (PTSD).
Stres yang berkepanjangan atau berulang, seperti masalah keuangan, pekerjaan yang berat, atau masalah hubungan, dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental atau memperburuk kondisi yang sudah ada.
Gangguan kesehatan mental bukan hanya terjadi pada orang dewasa. Faktanya, anak-anak pun bisa mengalami kondisi yang sama. Gangguan kesehatan mental dapat muncul selama masa perkembangan anak, dan faktor-faktor seperti gangguan neurodevelopmental, gangguan perkembangan, atau masalah dalam lingkungan keluarga dapat memainkan peran dalam meningkatkan risiko terjadinya masalah ini.
Penggunaan zat-zat, seperti alkohol, narkotika, dan obat-obatan tertentu bisa berkontribusi pada gangguan kesehatan mental atau memperburuk kondisi yang ada.
Beberapa masalah kesehatan fisik, seperti tiroid, penyakit otak, atau gangguan neurologis, juga dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang.
Anggapan bahwa gangguan mental hanya bisa dialami oleh orang berkepribadian lemah adalah mitos. Siapapun bisa mengalami gangguan kesehatan mental. Tidak ada satu orang pun yang kebal terhadap gangguan kesehatan mental. Namun yang berisiko mengalami kondisi ini adalah anak remaja dan perempuan.
Menurut data WHO, gangguan kesehatan mental memengaruhi satu dari empat orang dewasa di dunia. Dari kasus tersebut, sekitar setengahnya dimulai pada remaja di bawah usia 14 tahun. Ini merupakan usia rawan munculnya gangguan mental yang kerap terjadi.
Salah satu alasan mengapa banyak orang yang mengabaikan masalah kesehatan mental adalah karena anggapan bahwa jika seseorang memiliki masalah mental health, berarti ia sakit jiwa atau gila. Sebagai psikolog, Irma Gustiana A., S.Psi., M.Psi., Psikolog., CPC menganggap bahwa istilah “sakit jiwa” atau “gila” merupakan ungkapan yang kurang tepat dan bisa memperkuat stigma negatif terhadap gangguan kesehatan mental.
“Gangguan kesehatan mental tidak menyebabkan seseorang menjadi “sakit jiwa” dalam arti yang mungkin selama ini ada di masyarakat. Gangguan kesehatan mental adalah kondisi medis yang memengaruhi kesejahteraan mental dan emosional seseorang, dan mereka dapat dikelola dan diobati,” kata Irma.
Gangguan kesehatan mental dapat menyebabkan individu mengalami berbagai gejala dan ketidaknyamanan psikologis yang signifikan. Seseorang yang mengalami gangguan kesehatan mental mungkin mengalami perasaan sedih yang mendalam, kecemasan yang parah, halusinasi, delusi, atau gangguan fungsi sosial. Ini bisa memengaruhi kualitas hidup mereka dan kemampuan mereka untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan penanganan yang tepat, gejala-gejala tersebut bisa diredam. Seperti dilansir Halodoc, gangguan kesehatan mental yang tidak diatasi dengan baik sehingga kian memburuk bisa memicu gangguan jiwa.
Stres adalah hal yang umum dialami semua manusia. Jangankan orang dewasa, anak kecil juga bisa stres lho, Moms! Sebagai ibu (baik ibu rumah tangga atau ibu bekerja), merasa penat, tertekan, atau kewalahan dengan rutinitas sehari-hari pasti pernah Moms rasakan. Kalau sudah begitu, Moms pasti ingin cepat-cepat kabur sejenak untuk healing.
Healing! Moms sudah sering dengar istilah ini, dong? Ya, istilah healing memang sedang viral dan sering digunakan. Bahkan menurut laporan Google Indonesia: Year in Search 2022, kata “healing” masuk dalam 3 besar tren pencarian tertinggi di Google Indonesia.
Banyak yang bilang, healing adalah bentuk pemulihan diri dari halhal yang tidak menyenangkan agar kesehatan mental bisa optimal lagi. Healing seringkali dikaitkan dengan melakukan hal-hal seru dan menyenangkan diri, seperti travelling ke luar kota atau bahkan luar negeri.
Pertanyaannya: Healing seperti itu benar bisa menyembuhkan diri dari tekanan mental, atau sekadar alasan untuk bersenang-senang, sih? Lalu, apa makna sebenarnya dari healing dan seperti apa healing yang benar dan tepat? Untuk menjawabnya, M&B telah merangkum info dari banyak pakar. Yuk, simak penjelasan mereka soal healing!
Jika diartikan secara harfiah, healing dalam kamus Cambridge artinya “the process of becoming well again” atau proses untuk menjadi baik (atau sehat) lagi. Sayangnya, makna ini sering bergeser menjadi jalan-jalan, seperti yang dikatakan Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI, drg. R. Vensya Sitohang, M.Epid., pada Mediakom Kemkes edisi 149. “Selama ini healing diartikan sebagai jalan-jalan, padahal makna sebenarnya adalah penyembuhan,” ucap Vensya.
Arti kata healing juga dijelaskan oleh Dr. dr. Fidiansjah, Sp.KJ, M.P.H, Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa dan Direktur Utama RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor. Menurut psikiater yang akrab disapa dr. Fidi ini, healing dapat diartikan sebagai penyembuhan, namun dalam hal ini berbeda dengan treatment (pengobatan), karena healing tidak membutuhkan bantuan profesional, sedangkan treatment tentu perlu bantuan profesional yang sudah mendapatkan sertifikasi. “Ketika treatment dilakukan, maka otomatis proses healing juga dilakukan karena area treatment itu tidak pernah terlepaskan dari upaya mengajarkan setiap orang untuk bisa menyembuhkan diri secara mandiri,” jelas dr. Fidi.
Vensya menyebutkan sebenarnya healing juga dapat diartikan sebagai self care atau peduli diri, karena dengan cara itu orang bisa memelihara dan menjaga daya tahan kesehatan jiwanya. “Self care itu dapat dilakukan secara mandiri sebenarnya atau bisa juga berkelompok sesuai dengan karakter individu tersebut. Karena ada individu yang memiliki karakter suka curhat, tidak bisa menyelesaikan sendiri, ada seperti itu. Makanya yang ada lewat peer group,” jelas Vensya.
Dokter Fidi juga menyebutkan kalau seseorang suka sendiri, maka biarkan saja orang tersebut dengan kesendiriannya dulu, sampai kemudian ia tergerak untuk bersama dalam keramaian bersama dengan peer group.
Sebagaimana manusia, kita pasti memiliki keterbatasan dan rasa penat. Momen seperti inilah yang membutuhkan healing atau kegiatan yang membuat tenang, agar bisa menimbulkan rasa bahagia dan semangat untuk melanjutkan perjuangan. Dokter Fidi juga menjelaskan secara medis dampak baik healing pada kesehatan mental dan fisik. “Komponen neurotransmitter, komponen endokrin bekerja. Dia menggempur sel-sel yang membahayakan. Dia meningkatkan imunitas itu, yang secara fisiologis kimianya bekerja,” jelas dr. Fidi.
Beda orang, bisa jadi berbeda pula strategi healing yang tepat bagi dirinya. Menurut Irma Gustiana A., S.Psi., M.Psi., Psikolog., CPC (Psikolog Klinis, Parenting Coach dan Founder Klinik Ruang Tumbuh), strategi healing antara lain olahraga, positif community, merawat diri, jaga kualitas tidur dan asupan nutrisi, hindari obat-obatan/alkohol, terlibat aktivitas yang menyenangkan, dan pertimbangkan melakukan konseling atau terapi.
Jika healing yang ada di benak Moms adalah jalan-jalan atau travelling, ini tidak sepenuhnya salah, karena bisa jadi strategi tersebut yang paling cocok untuk Anda. Namun, jika dengan jalan-jalan justru menimbulkan masalah baru (seperti pekerjaan semakin terbengkalai, kekurangan finansial, atau masalah keluarga) yang membuat Anda semakin tertekan, maka sangat disarankan mencoba kegiatan healing yang lain ya, Moms.
Jawaban singkatnya: Ya, healing juga bisa gagal. Dokter Fidi menjelaskan kalau seseorang sudah healing dengan melakukan hal yang ia anggap membuatnya rileks (misalnya meditasi, yoga, jalan-jalan, me time) tetapi masih tetap apa yang dialami belum berakhir, maka itulah tanda self healing gagal. Jika ini terjadi, dr. Fidi menyarankan untuk mengonfirmasi ke ahlinya langsung.
Menurut Irma Gustiana, sangat penting untuk memerhatikan kebutuhan dasar (makan dan tidur yang cukup), ikut kegiatan yang positif dan aktif untuk meningkatkan mood misalnya olahraga, lakukan kegiatan yang rileks misalnya meditasi atau yoga, terhubung dengan support system, manajemen waktu, merawat diri (kebersihan dan kesehatan), dan rutin cek ke psikolog.
Ada juga nih, saran dr. Fidi yang bisa Moms terapkan, yaitu CERIA yang merupakan singkatan dari:
Di tengah kepungan dunia media sosial, Moms pasti mulai familiar dengan beberapa istilah terkait kesehatan mental. Ada istilah yang memang istilah medis dan digunakan oleh para pakar kesehatan (seperti anxiety, borderline personality disorder, fobia), banyak juga yang ternyata hanya istilah awam tapi viral digunakan masyarakat luas (seperti crab mentality, healing, dan overthinking).
Meningkatnya kesadaran tentang kesehatan mental melahirkan begitu banyak istilah yang sekarang sedang viral dan sering disebut. Agar tak salah kaprah dengan arti di balik istilah-istilah tersebut, M&B telah bertanya pada dr. Aimee Nugroho, Sp.KJ (Instagram: @psikiater), seorang Psikiater dari National Hospital Surabaya. Dokter spesialis kesehatan jiwa ini menjabarkan satu per satu arti dari beberapa istilah kesehatan mental yang sedang viral.
Menurutnya, istilah-istilah tersebut ada yang memang istilah kedokteran, ada yang istilah awam, dan aja juga yang termasuk pop psychology. “Pop psychology adalah istilah psikologi yang sedang populer, yang menggambarkan kondisi mental seseorang, tapi bukan istilah kedokteran jiwa dan tidak tercantum di DSMV atau ICD-X (panduan psikiater untuk mengklasifikasi penyakit)”.
Makin penasaran dong, apa saja sih definisi istilah kesehatan mental menurut psikiater? Biar enggak terbenam dalam definisi pribadi dan berujung salah kaprah, yuk simak penjelasan dr. Aimee Nugroho, Sp.KJ.
Istilah kedokteran ini adalah gangguan cemas. Anxiety biasanya ditandai dengan adanya keluhan di fisik, seperti dada berdebar cepat, sulit tidur, tangan gemetar, dan lain sebagainya. Ini juga disertai dengan perasaan khawatir tentang suatu hal yang belum tentu terjadi (overthinking).
Ini juga suatu istilah kedokteran yang artinya gangguan suasana perasaan. Yang termasuk di dalamnya adalah gangguan depresi dan bipolar, di mana pasiennya mudah sedih dan gembira berlebihan.
Istilah kedokteran ini adalah perasaan sedih pada ibu setelah melahirkan, biasanya baby blues memuncak di hari kedua sampai hari keempat, karena perubahan hormon. Biasanya ini terjadi tidak lebih dari 2 minggu. Namun, bila menetap lebih dari dua minggu maka diagnosis berubah menjadi Depresi Pasca Melahirkan atau Post Partum Depression (PPD).
Sudah pasti ini adalah istilah kedokteran. Borderline personality disorder juga disebut gangguan kepribadian ambang atau gangguan emosional tidak stabil. Ini adalah suatu kepribadian yang ditandai dengan emosi yang labil, mudah marah karena masalah sepele terutama bila dia merasa ditinggalkan atau diabaikan (fear of rejection and fear of abandonment). Pola pikirnya biasanya ada All or Nothing atau Black or White Thinking. Kalau baik dengan orang, bisa sangat baik, namun sekalinya dikecewakan maka bisa tidak mau berhubungan sama sekali, sehingga sulit membina hubungan jangka panjang. Ciri lainnya adalah suka menyakiti diri (self harm) seperti menyayat tangan, minum obat banyak, atau mengancam mau bunuh diri. BPD baru bisa terlihat pada anak di atas 17 tahun karena kepribadian seseorang baru terbentuk di atas usia 17 tahun.
Istilah kedokteran ini diambil dari perumpamaan lilin yang padam kalau sudah dibakar habis. Burnout adalah kondisi mental yang merasa kelelahan akibat suatu situasi yang membutuhkan usaha ekstra dan terjadi selama jangka panjang. Contoh penyebab burnout adalah dikejar target dari perusahaan sehingga seseorang harus bekerja lebih keras. Namun, akhirnya dia merasa kelelahan, hingga mengabaikan kebutuhan pribadinya sehingga akhirnya jatuh ke dalam depresi, dan malahan menghindari segala sesuatu yang berhubungan dengan hal tersebut.
Istilah yang sedang ramai dipakai ini termasuk dalam istilah pop psychology. Ini adalah suatu mentalitas di mana seseorang tidak menginginkan orang lain lebih baik dari dirinya, sehingga ia akan menjegal usaha orang lain supaya dirinya terlihat lebih baik.
Istilah pop psychology ini seperti hypochondria, hanya saja ada medium internet. Artinya ketika seseorang browsing di internet mengenai informasi kesehatan, tetapi berujung mengalami kecemasan dan kekhawatiran bahwa dirinya mengalami suatu penyakit yang serius.
Ini adalah gangguan suasana perasaan yang ditandai dengan perasaan sedih atau murung, tidak lagi menyukai hal-hal yang dulu disukai, dan kehilangan energi. Gejala ini dapat menetap selama lebih dari 2 minggu. Gejala tambahan lain dari depresi adalah sulit konsentrasi, merasa bersalah, pesimistis, perubahan nafsu makan, perubahan pola tidur, menurunnya libido, disertai ide ingin menghilang atau ingin mati.
Jika diartikan, istilah pop psychology artinya sindrom sarang kosong. Ini adalah perasaan sedih atau depresi yang dialami seseorang ketika anaknya pergi meninggalkan rumah (bisa untuk sekolah ke luar kota/negeri atau menikah) sehingga merasa kesepian.
Ini adalah istilah kedokteran, yang artinya suatu rasa takut berlebih pada satu hal yang tidak membahayakan, seperti takut keramaian atau takut naik pesawat.
Ini adalah istilah awam untuk suatu kegiatan yang ditujukan untuk meredakan stres.
Kata “hypo” sendiri artinya low atau kurang, sedangkan “timia” adalah suasana perasaan. Sehingga bisa diartikan hipotimia adalah perasaan sedih atau low.
Termasuk dalam istilah awam, humblebragging adalah berusaha untuk menonjolkan diri dengan cara berbicara seolah-olah dia merendahkan dirinya, agar ia semakin dipuji.
Istilah awam ini artinya perasaan tidak aman karena merasa inferior (rendah diri) dibanding orang lain.
Istilah awam untuk menunjukkan perasaan kondisi mental seseorang yang sedih akibat mengalami suatu bullying.
Ini adalah kondisi mental seseorang yang terganggu akibat suatu keadaan.
Istilah kedokteran ini diambil dari kata “Narsis” yang berasal dari nama Narcissus, dewa dalam mitologi Yunani yang jatuh cinta pada bayangannya sendiri di dalam kolam. Gangguan kepribadian NPD ini ditandai dengan perasaan ingin dipuji dan diperhatikan. Ia bisa marah bila mendapatkan kritik.
Istilah awam ini merupakan suatu karakter dari gangguan cemas (anxiety). Overthinking adalah memikirkan suatu hal secara berlebihan, sehingga dirinya merasa cemas atau khawatir.
Dalam bahasa Indonesia overwhelm artinya kewalahan. Kaitannya dengan kesehatan mental adalah overwhelm membuat seseorang merasa tidak kuat atau kelabakan dengan situasi yang dialaminya, sehingga ia dikuasai oleh perasaannya sendiri dan tidak bisa mengontrol perasaannya.
Sering disingkat PPD, ini adalah gejala depresi yang menetap lebih dari 2 minggu setelah melahirkan hingga 1 tahun setelah melahirkan. PPD bisa disertai perasaan bahwa dirinya bukan ibu yang baik, atau merasa kelabakan menjalani peran sebagai ibu. Kondisi ini memerlukan penanganan secara medis.
Ini adalah bahasa Inggris yang artinya suka menunda dalam menyelesaikan tugas, sehingga tugas tidak tuntas. Biasanya gejala ini merupakan ciri dari depresi, ansietas, atau ADHD.
Ini termasuk istilah kedokteran. Psikopat adalah gangguan kepribadian antisosial atau gangguan kepribadian yang ditandai dengan ciri suka melawan aturan atau norma sosial, suka mengendalikan orang lain, sering bersikap manipulatif, tidak ada rasa empati, dan tidak ada rasa bersalah setelah melakukan suatu hal yang menyakiti orang lain. Biasanya ada superficial charming atau penampilan yang seolah-olah dirinya baik, sehingga orang sekitar tidak menyangka bahwa dirinya melakukan suatu tindak kejahatan.
Istilah ini sebenarnya diambil dari film tahun 1944 berjudul Gaslight. Film ini bercerita tentang suami psikopat yang selalu menyalahkan istrinya, sehingga sang istri mengira dirinya yang gila atau bersalah. Padahal, sebenarnya yang salah adalah si suami. Jadi, istilah gaslighting ini menunjukkan suatu perbuatan yang memutarbalikkan fakta seolah-olah dirinya tidak bersalah dan menyalahkan orang lain.
Post traumatic stress disorder adalah istilah kedokteran. Menunjukkan kondisi di mana seseorang setelah mengalami suatu trauma yang hebat, dia menjadi ketakutan, waspada berlebih, dan terbayang-bayang tentang trauma tersebut. Kadang disertai dengan mimpi buruk tentang kejadian yang membuatnya trauma. Ia juga akan menghindari segala sesuatu yang berhubungan dengan trauma tersebut.
Ini kondisi di mana seseorang mendiagnosa dirinya sendiri mengalami suatu gangguan, hanya berdasarkan ciri yang ia baca melalui media, tanpa berkonsultasi kepada ahlinya.
Ini termasuk pop psychology yang artinya menghadiahi diri sendiri atas suatu pencapaian.
Mungkin ini istilah kesehatan mental yang paling dikenal. Stres artinya segala perubahan dalam hidup yang membutuhkan adaptasi. Tidak harus suatu peristiwa yang negatif, bisa juga peristiwa yang positif seperti punya anak, menikah, naik jabatan yang juga bisa menimbulkan stres karena membutuhkan adaptasi.
Setiap ibu pasti punya tantangan masing-masing dalam menjalankan perannya. Tak terkecuali Raden Prisya, Mindfulness Practitioner & Well-being Coach, sekaligus ibu 2 anak. Menurutnya, menjadi ibu membuatnya sering berhadapan dengan kepanikan dan kekhawatiran, yang jika dihadapi dengan mode panik maka ada kemungkinan masalah diselesaikan dengan masalah. Itulah salah satu hal yang membuatnya tergerak untuk mendalami mindfulness.
Bagi Prisya yang akrab disapa Mbak Pi ini, menghadapi perasaan diri sendiri itu bukan berarti kita menanamkan ke otak “enggak boleh nangis, marah, badmood. Harus kuat, jangan cengeng!” lho, Moms. Itu semua justru membuat kita tidak jujur ke diri sendiri, sedangkan kita perlu menyadari perasaan-perasaan tersebut, karena kita justru menderita jika menolak emosi yang dirasakan.
Lalu, bagaimana awalnya seorang Prisya yang lulusan Fakultas Seni Rupa ITB bisa banting setir menjadi mindfulness coach? Gimana sih, tips Prisya agar para Moms bisa lebih mindful? Yuk, simak obrolan seru M&B dengan Raden Prisya.
Hi, Moms! Seperti biasa kesibukanku memberi pelatihan untuk perusahaan, handle klien, coaching, dan sedang mengerjakan buku kedua, nih. Kali ini bukunya agak lebih struktural, pengerjaannya agak lebih lama, jadi mohon doanya biar lancar, ya. Selain itu semua, kesibukan utamaku tetap menjadi ibu untuk 2 anakku yang berusia 11 dan 9 tahun.
Baik, aku coba jelaskan semudah mungkin, ya. Kalau misalnya kita sedang sebal, apa sih, yang kita lakukan? Seringkali kita tidak fokus dengan perasaan kita sendiri, dan malah fokus dengan apa yang kita lakukan. Kita jadi berpikir bagaimana cara agar tidak sebal lagi: Apakah harus makan? Harus liburan? Atau kita justru berpikir panjang dan jauh ke depan tentang langkah-langkah yang harus kita lakukan. Padahal, pasti nggak sih, akan terjadi hal-hal yang kita takutkan itu? Kan, enggak juga, ya.
Nah, di sinilah pentingnya mindfulness. Jadi, kita harusnya sadar dulu dengan perasaan kita sendiri. Kalau sebal, cobalah untuk mengatur napas, pause kegiatan dulu sebentar, cerna dulu apa yang terjadi, dan hadir utuh di situ. Kalau tidak begitu, kita cenderung menyelesaikan masalah dengan masalah. Mode panik itu membuat kita lupa dengan resource kita, bikin kita jadi enggak kreatif. Memang semudah itu ya, kita menyadari perasaan kita sendiri? Enggak juga, makanya mindfulness itu perlu dilatih.
Mungkin karena dulu aku tidak benar-benar mengenal diri sendiri, dan tidak tahu maunya apa. Dulu pokoknya harus kuliah dan karena yang ada di depan mata itu, maka ya sudah dijalankan saja dulu. Tapi setelah menjadi ibu, aku menemukan banyak rintangan, adaptasinya menantang sekali, maka akhirnya aku belajar untuk lebih mindful. Sedikit cerita, ada lagi momen di hidupku yang lebih “banting setir” lagi, aku itu dulu pernah menjadi guru TK, training 3 bulan di sebuah sekolah, aku mengajar anak usia 1-3 tahun. Di situ aku belajar kalau guru atau caretaker itu harus ekstra sabar, apalagi dalam menghadapi anak tantrum. Di situ aku menyadari bahwa kalau ibunya belum bisa tenang dalam memilih respons, maka agak sulit ya, memilih ilmu parenting yang sudah dipelajari. Ini juga yang dikatakan oleh Susan Bogels (guru mindful parenting), pada saat orang tua stres, parenting skill itu suka collapse, tiba-tiba lupa saja begitu. Itu yang membuat aku mau belajar mindfulness.
Awalnya aku belajar sama Ibu Rani Anggraeni Dewi. Beliau adalah konselor pernikahan yang kebetulan waktu itu punya kelas mindfulness, dan saat itu aku belum tahu soal mindfulness. Dari situ aku mulai mencari tahu lebih banyak lagi, aku ikut kelas Mas Reza Gunawan, Tony Robbins, dan akhirnya ketemulah sama sertifikasi aku sekarang yaitu workplace mindfulness facilitator.
Mental wellbeing itu artinya dia mampu beradaptasi, bertumbuh, mengenal dirinya, memiliki self esteem untuk menjawab tantangan-tantangan dalam hidupnya. Kalau bicara mental sehat pasti awalnya berawal dari self concept dan self esteem dulu. Contoh konsep diri misalnya: Prisya itu siapa sih, apakah seorang coach atau anak dari ibu siapa? Nah, bagaimana kita mendefinisikan diri sendiri itu yang menjadi konsep diri, dan self esteem terbentuk dari bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Jadi kalau kita konsepnya tidak kuat, pasti kita melihat diri sendiri juga tidak ajek atau enggak solid. Tapi kalau sudah bisa terbentuk dengan sehat, mudah-mudahan kita jadi bisa beradaptasi, bertumbuh, dan memiliki self esteem.
Penting banget karena ketika kita mindful artinya kita sadar dengan apa yang ada di depan kita saat ini. Kalau dalam bahasa Indonesia, mindful itu “hadir utuh” artinya. Pikiran kita enggak meratapi masa lalu atau nungguin masa depan. Mindful itu contohnya gimana? Misalnya ada konflik, terus kita berpikir “Kalau ada masalah itu, aku harus begini. Kalau masalahnya begini, aku harus begitu,” dan masih banyak lagi pikiran yang membuat kita takut sebelum berjuang. Kalau kita fokus ke diri kita sekarang, instead of apa yang harus kita perbaiki, kita akan fokus ke diri kita dulu. Apakah kita sudah cukup sadar? Sudah siap belum untuk menyelesaikan konflik ini secara sehat, agar tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain? Ketika kita sudah mulai slow down, kita beri waktu diri untuk mencerna yang terjadi, nanti akhirnya lingkungan sekitar kita pun juga akan demikian. Dengan begini ibu baru bisa lebih tenang dan tepat dalam mengambil keputusan-keputusan.
Di saat kita jadi ibu itu kita harus beradaptasi, kita punya peran baru dan melakukan hal-hal baru. Itulah yang seringkali menantang dan harus kita sesuaikan lagi. Bagaimana seorang ibu beradaptasi? Salah satu yang paling menentukan adalah bagaimana dia merawat diri dan memiliki ekspektasi terhadap dirinya sendiri. Kalau bisa mindful, sadar kapasitas saat baru melahirkan, itu kan artinya dia juga berbaik hati terhadap dirinya sendiri, ya. Jika ada yang merasa beradaptasi itu sulit bagi ibu baru, mungkin penyebabnya karena tuntutannya begitu besar dan keinginan menjadi ibu sempurna juga besar, atau mungkin ada rasa takut yang berasal dari pola asuh yang dulu pernah terjadi, atau mungkin ekspektasi dari orang sekitar. Kalau ibu sudah bisa beradaptasi, paham bagaimana merawat dirinya dan bagaimana dia menimba ilmu untuk anaknya, maka akan lancar proses adaptasinya menjadi ibu baru.
"Wajar jika kita ada avoidance (menghindar) dalam menghadapi masalah. Jangan salah, avoidance itu adalah salah satu tahap kita heal dan bisa hadir, karena kita butuh kekuatan dulu untuk bisa menghadapi situasi yang sesungguhnya."
Kalau dukanya, harus bisa bagi peran antara jadi ibu dan coach, sedangkan kalau sedang ketemu klien itu kan, kita harus bisa jadi open space yang mendengarkan dan fasilitator agar klien bisa membuka dan mendengar diri. Ada kalanya kalau aku sedang lelah, itu semua terasa enggak mudah. Dulu mendiang Mas Reza Gunawan pernah mengajarkan “ganti topi” namanya, jadi kita harus punya topi ibu, topi praktisi, topi entrepreneur. Jangan sampai kecampur, tuh. Haha.
Kalau bagian sukanya, tentunya aku jadi banyak belajar, bersyukur, menyadari hidup itu pasti banyak naik-turunnya, dan akhirnya apa yang aku dapat bisa dijadikan ilmu, kemudian diterapkan lagi agar bisa bertumbuh lagi dan berkontribusi. Makanya aku senang dan bersyukur banget dikasih kesempatan untuk bekerja seperti ini, karena walau banyak tantangan tapi fulfillment-nya juga ada banget.