Beberapa waktu belakangan, wajah cantik Revalina S. Temat (35) memang jarang tampak di layar kaca. Wanita yang melejit lewat perannya di sinetron Bawang Merah Bawang Putih ini diketahui sedang seru-serunya mengasuh kedua jagoannya, yaitu Rihga Sadiwasakti Rabbani (5) dan Rajendra Satya Razzani (2).
Dalam membesarkan kedua buah hatinya, istri dari Rendy Aditya Gunawan ini ingin agar anak-anaknya selalu berpegang teguh pada agama. Pasalnya, tak dimungkiri, seiring perkembangan zaman, pergaulan pun kini semakin bebas. Tak heran bila pemilik nama asli Revalina Trinovianti ini pun membekali anak-anaknya dengan dasar ilmu agama sedini mungkin.
Dalam wawancara eksklusif bersama Mother&Baby, Reva pun membagikan pengalamannya dalam menanamkan ilmu agama pada Si Kecil. Tak hanya itu, ia juga membagikan cerita keseruan mengasuh kedua anaknya yang diketahui memiliki perbedaan karakter yang cukup signifikan. Yuk, simak selengkapnya kabar dan cerita terbaru Revalina S. Temat berikut ini, Moms!
Iya, mungkin tepatnya sejak 2019, saat Rajendra lahir. Saat itu karena baru saja melahirkan saya memang belum ambil sinetron. Untuk tawaran film juga kebetulan belum ada yang pas, makanya mungkin jadi jarang terlihat di layar kaca. Kemudian, 2020 ini pandemi. Sebenarnya sempat ada tawaran syuting film di akhir tahun lalu, tapi karena masih pandemi jadi saya masih belum berani. Apalagi saya masih punya anak kecil dan tinggal dengan orang tua, jadi risikonya besar, ya. Tapi kalau untuk syuting iklan atau yang kerjanya tidak menghabiskan waktu lama, saya masih bisa ambil dan tentunya tetap menerapkan protokol kesehatan.
Sebenarnya bisnis pakaian anak yang saya jalani saat ini sudah berjalan sejak 2018. Awalnya karena saya dan partner saya sama-sama memiliki anak laki-laki dan iseng ingin membuat baju. Akhirnya kami buat brand Tifle’s yang juga berarti anak laki-laki, dan menjual kemeja, kaus, dan celana khusus anak laki-laki. Nah, karena sekarang masa pandemi, kami pun memutuskan untuk membuat piyama atau homewear sekaligus seri family set-nya supaya orang tua bisa kembaran dengan anak-anaknya. Alhamdulillah, peminatnya banyak. Saya sih berharapnya Tifle’s semakin matang ke depannya dengan didukung tim yang juga sudah semakin berkembang dan solid.
Haduh, seru banget! Kebetulan mereka ini bedanya tiga tahun, dan keduanya sudah mulai mengerti maunya masing-masing. Makanya kehebohan terjadi setiap hari, entah itu berantem, rebutan mainan, layaknya anak laki-lakilah, ya. Mereka ini juga karakternya berbeda sekali. Nah, kebetulan si adik, Rajendra, karakternya lebih keras dibandingkan si akang, Rihga. Jadi kalau mau sesuatu harus dapat dan bisa pake marah dulu. Sebenarnya saya suka kasihan dengan Rihga. Tapi saya selalu beri pengertian pada Rihga bahwa adiknya ini masih kecil, jadi kalau suatu saat misalnya si adik pukul atau ngapain, Rihga enggak boleh membalas. Untungnya Rihga tidak pernah membalas pukulan sang adik dan terima-terima saja.
" Saya hanya ingin anak-anak tidak seperti saya, mereka harus lebih baik lagi, terutama soal ibadah. "
Sebisa mungkin saya berusaha netral dan tidak membela salah satu dari mereka. Tapi terkadang tricky juga nih, karena Rajendra sekarang sudah tahu kalau dia lebih kecil dibanding akangnya, jadi tidak akan disalahin atau dimarahin saat dia berulah. Karena Rihga lebih besar, tentu saya juga berharap ia lebih bisa mengalah dan mengerti adiknya. Makanya kalau adiknya nangis atau apa, saya pasti menyalahkan akangnya kan, padahal mungkin adiknya yang salah.
Terkadang saya suka menyesal saat selalu menyalahkan Rihga. Sebagai orang tua, tentu saya ingin bersikap adil pada anak-anak, tapi terkadang kita kurang memahami situasi saja. Makanya kita juga harus buka mata dengan melihat situasinya terlebih dahulu saat anak berantem, jangan langsung memarahi anak yang lebih besar. Tak kalah pentingnya, kita juga harus lebih sabar ketika menghadapi anak-anak saat berantem.
Pembagian tugas secara omongan sih tidak ada. Tapi memang kami saling mengerti dan bantu saja dalam mengasuh anak. Misalnya saat saya sedang lelah karena bekerja seharian dan keesokannya tidak bisa ikut pergi ke rumah mertua, suami saya membolehkan saya untuk tetap di rumah dan menikmati me time, sementara ia membawa anak-anak. Jadi saya bisa istirahat dan santai di rumah, plus tidak ada yang mengganggu.
Kadang saya bisa sangat tega maupun tidak tegaan dengan anak-anak. Selain itu mungkin saya juga bisa galak, ya. Tapi sebenarnya saya tidak akan galak bila anak-anak menuruti apa yang saya bilang. Kalau saya mintanya A, tapi mereka ngelakuinnya B, saya agak monster memang, hahaha...
Mungkin saya juga ibu yang tegas, karena kalau kita tidak tegas pada anak sejak dini takutnya saat besar nanti mereka merasa terlalu bebas. Contoh paling mudahnya mungkin soal salat. Saya merasa waktu kecil kurang didisiplinkan soal salat oleh orang tua saya, jadi sampai besar malas saja bawaannya untuk salat. Karena saya merasa seperti itu, jadi dari sekarang saya merasa agak rewel soal salat ke anak-anak. Misalnya saat anak tidak mau salat, saya suka paksa atau kadang sampai harus marah dulu.
Hal ini kembali lagi karena pengalaman saya kalau tidak dimarahi dulu tidak akan salat. Jadi sedini mungkin anak memang harus dibiasakan untuk salat. Sehingga saat besar nanti mereka memiliki kesadaran untuk salat. Intinya, saya hanya ingin anak-anak tidak seperti saya, mereka harus lebih baik lagi, terutama soal ibadah.
Kebetulan kalau Rihga sudah mulai belajar salat sejak pre-kindergarten. Jadi saat ini tinggal kami ingatkan saja tentang gerakan, rakaat, dan bacaannya. Karena ia masih kecil, jadi wajar ya, bila kadang semangat dan kadang malas untuk ibadah. Lalu saya coba siasati dengan membuat perjanjian, bahwa kalau ia mau main games hanya boleh saat weekend dan setelah salat. Saya bebaskan setelah salat apa pun. Mungkin awalnya ia salat hanya untuk bisa main games, tapi harapannya nanti ia bisa terbiasa dan sudah punya kesadaran sendiri untuk salat. Belakangan ini kebetulan suami saya juga melatih Rihga untuk jadi imam saat salat. Walaupun bacaannya hanya surat al-Fatihah dan surat pendek yang ia hafal, tetap saja saya senang melihatnya.
Untuk puasa sendiri, kebetulan ini adalah tahun pertama Rihga belajar puasa. Sebelum masuk bulan Ramadan, saya sudah memberi tahu bahwa sebentar lagi kita akan puasa. Saya kasih tahu apa itu puasa dan ajak Rihga belajar puasa. Hari pertama Rihga berhasil bangun sahur. Lalu saat azan Zuhur ia sempat batal puasa karena minum air. Meski ia mengeluhkan lapar, tapi akhirnya si akang ini berhasil puasa sampai Magrib, meski harus diiming-imingi membeli mainan terlebih dahulu bila bisa puasa sampai Magrib sebulan penuh. Bagi saya, Rihga sudah hebat sekali bisa puasa sampai Magrib di kali pertamanya belajar puasa, alhamdulillah.
" Anak-anak harus tahu mana yang baik dan tidak berdasarkan agama. Kalau agamanya tidak kuat, bagaimana mereka bisa memilih teman atau lingkungan yang baik. "
Kalau Rajendra sekarang sudah mulai belajar hafalan surat pendek. Kebetulan saat Rihga sedang menghafal hafalan surat dari sekolahnya, Rajendra mendengarkan bacaan akangnya. Karena bacaannya diulang-ulang, jadi si adik ikutan hafal.
Saya tidak ingin terlalu membebaskan anak dan ingin mereka memegang teguh agamanya. Meski saya ingin mereka memiliki lingkungan pergaulan yang luas dan baik, tapi tetap agamanya juga harus kuat, agar mereka tahu mana yang baik dan tidak berdasarkan agama, bukan berdasarkan logika.
Zaman sekarang sudah semakin seram ya, semakin bebas. Jadi kalau agamanya tidak kuat bagaimana anak bisa memilih teman atau lingkungan yang baik.
Biasanya saya menyapih saat anak saya tepat berusia dua tahun, prinsipnya weaning with love saja. Saya ingin mereka mengerti bahwa mereka bukan bayi lagi dan sudah besar, jadi sudah saatnya berhenti menyusu. Jadi sebelum menyapih, mungkin dua bulan sebelumnya, saya sudah sounding ke mereka kalau sebentar lagi mereka tidak lagi menyusu. Selain itu saya juga coba mengurangi frekuensi menyusu, sampai akhirnya mereka lepas sendiri, tidak menyusu lagi.
Perlu diingat, keberhasilan menyapih itu ada pada si ibu. Ibu harus siap dan percaya diri. Kalau banyak ibu mengeluh belum berhasil menyapih itu karena mereka sendiri belum tega melepas anaknya. Tapi kalau ibunya tega, nanti anaknya juga akan mengikuti. Selain itu, dukungan suami juga tidak kalah pentingnya. Pastikan si ibu dan suami commit dulu berdua untuk menyapih anak.
" Keberhasilan menyapih itu ada pada si ibu. Ibu harus siap dan percaya diri. Selain itu dukungan suami juga tidak kalah pentingnya. "
Tentu saya berharap mereka bisa tumbuh sehat dan bahagia. Selain itu, saya ingin mereka tetap berpegang pada agama agar ketika mereka besar nanti jadi anak yang takut dengan Tuhan. Meski saya ingin mereka bisa tumbuh sesuai perkembangan zaman, tetapi mereka juga harus tahu batasan-batasannya. Saya juga ingin anak-anak bisa bertanggung jawab dengan pilihannya tapi tetap dengan prinsip agama. Soal ke depannya anak mau jadi apa, saya dan suami insyaallah akan mendukung selama apa yang mereka suka itu baik dan positif, tetapi sambil kami pantau juga tentunya.