I nspiratif dan kreatif. Bijak, hangat, dan humoris. Moms tentu sudah tak asing lagi ya, dengan nama Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat. Lahir di kota kembang Bandung 51 tahun silam, sosok kang Emil, panggilan akrab beliau, terasa begitu dekat di hati masyarakat. Di luar kariernya pun, pria humoris ini terkenal sebagai “family man” yang begitu lekat dengan keluarga serta terlibat penuh dalam pengasuhan anak-anaknya.
Tak salah jika tahun ini, dalam rangka menyambut Hari Ayah Nasional yang jatuh setiap tanggal 12 November, Mother & Beyond menobatkannya sebagai Father of The Year! Penasaran seperti apa kang Emil sebagai seorang suami sekaligus ayah? Yuk, simak wawancara eksklusif M&B berikut ini, Moms!
Alhamdulillah sehat. Kalau ditanya soal kesibukan, kesibukan saya itu, ya mendukung istri. Karena di balik lelaki sukses ada wanita hebat di belakangnya. Dan di balik wanita hebat, kartu kreditnya empat! Bercanda, ya.. Haha.
Sebenarnya saya nggak pernah mengkotak-kotakkan, ya. Tugas ayah itu multidimensi, kan. Tapi yang penting itu ayah harus jadi contoh. Ya dari ucapannya, gesture wajahnya, dari kehangatannya, dari spending waktunya. Jadi sebenarnya bingung juga ya dikasih award, karena bagi saya itu kewajiban seorang ayah, ya harus begitu. Anaknya lagi kepengen, kitanya ada. Kenapa? Karena waktu tidak bisa tergantikan. Itu pelajaran terpenting buat para orang tua. Waktu enggak bisa dibalikkan.
Oleh karena itu, mumpung anaknya masih bisa dicubit-cubit, lucu, bisa dicium-cium, nikmati setiap waktu. Jangan atas nama kerjaan atau karier, jadi melupakan momentum itu. Karena anak itu kan, klien juga. Kalau kita bilang, “Saya sibuk ngurus proyek untuk klien”, oh.. klien terbesar itu justru adalah anak kita. Makanya, quality time itu penting. Jadi kalo dikasih penghargaan, saya anggap bonus aja, alhamdulillah. Jadi bukan tujuannya, ya. Anak itu klien yang enggak boleh ditolak.
Oh, saat saya dilatih ayah nyetir mobil! Karena saya enggak pakai les, sekolah menyetir gitu.. jadinya dilatih ayah, dan 90% marah-marah hahaha. Karena saya kan salah terus, jadinya ayah stres. Tapi lucu itu, haha. Enggak pernah dilupakan, pernah mogok di tanjakan, haha.. Memorinya masih nempel banget itu.
Nasihatnya memakai syariat Islam, ya. Jadi intinya, manusia terbaik itu adalah manusia yang bermanfaat. Maka, kalau saya lagi jadi dosen, ya bermanfaatlah dengan ilmunya. Jadi walikota, bermanfaat dengan kekuasannya. Jadi arsitek bermanfaat dengan imajinasinya. Jadi ayah memberi manfaat bagi keluarga, jadi teladan. Jadi hidup itu ada tujuannya. Bukan sekedar buat diri sendiri, tapi ukuran termulia dan terpenting itu hidupnya harus bermanfaat. Makanya saya kalo ditanya lebih pilih jadi arsitek atau gubernur, saya pilih jadi gubernur karena kebermanfaatannya itu banyak, macam-macam banget.
Dulu, kami selalu berdiskusi di meja makan, diberi orang tua nasihat meskipun sederhana. Misalnya, saat makan telur dadar selalu kami bagi 7, kayak pizza ya, kecil-kecil. Tapi di momen itu, curhatan sama ibu itu paling banyak, kita saling cerita hal apapun. Jadi, saya kira itu penting, ya. Walaupun dulu kami juga susah ya, tapi setiap kita makan, tiba-tiba lengkap itu senang, ya. Hal-hal seperti ini harus kita budayakan terus.
Agak beda sedikit, sih. Dengan kesibukan kami yang seperti ini, makanya saya sekarang punya asisten rumah tangga, yang ngurusin Arka, pada saat saya dan istri tidak ada. Tapi pada saat kami ada, pola asuhnya ya sama. Saya ingin Arka melihat saya sebagai teman juga. Makanya kalau dia nanya-nanya, main-main, teriak-teriak, saya selalu ladenin. Karena sebenarnya saya senang, rasanya seperti jadi Arka juga.
Kita sering bilang kalau kita sibuk ngurus proyek untuk klien, padahal klien terbesar itu justru adalah anak kita.
Saya selalu bilang ke anak-anak, “Hey anak-anakku, musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri. Kalahkan musuh terbesarmu itu”. Apa itu? Ya, dirimu yang malas, dirimu yang sombong, dirimu yang pelit. Maka itu Eril almarhum.. Aduh, saya jadi terharu ini, maaf ya.. Dia menuliskan kalimat itu besar-besar di kamarnya. Saya sebelumnya tidak tahu, teteh Zara yang cerita, “Pap, nasihat papap itu, nempel banget di Eril. Sampai suatu waktu, dia tulis besar-besar, dan dia ceritakan ini di berbagai wawancara, bahwa ‘your biggest enemy is yourself’”.
Sudah dari kecil saya kalo marah itu nggak ekspresif, enggak seperti ibu (Atalia). Saya kalo marah itu dipendam. Makanya kayak kemarin kita kehilangan, yang paling terlihat ekspresinya itu ibu. Saya nangisnya di dalam, tapi kalau dibunyikan suaranya keras banget.
Kalau kita leveling ya, ujian terbesar pada kami sebagai manusia ya itu, kehilangan anak. Levelnya nomor satu itu. Lain-lain ujian pernah dilalui, tapi ini yang terberat. Jadi, tidak semudah yang orang persepsikan. Hanya bedanya karena kami pejabat publik, wakil publik, kami tidak bisa menampilkan aslinya kami dalam grieving itu, kan. Orang lihatnya kami tegar, padahal saat orang-orang pulang, ya kami juga menangis.
Satu hal ya, kalo kita ngomong filosofi, memang semua itu titipan Tuhan. Ada yang titipan Tuhan lewat rahim istri langsung, ada titipan Tuhan dari rahim ibu yang lain, tapi Allah menakdirkan kita yang ngurusin Arka kan, ya. Jadi pada akhirnya saya enggak membeda-bedakan. Arka sudah seperti anak yang datang dari rahim istri saya sendiri. Karena pada dasarnya dia kan innocent, ya. Makanya mungkin memang sudah skenario Allah juga, saat dia datang kami kehilangan. Dan pada saat kami lagi grieving, sedih, liat Arka, jadi terhibur.
Kalo enggak ada Arka saya juga bingung mencari penghiburan, di mana mencari sesuatu yang bisa meringankan beban emosi. Kebetulan Arka anaknya juga baik, kreatif, dan lucu. Bahkan sekarang ke mana-mana yang ditanya warga, ya Arka dulu. Biasanya nih kalo saya jalan, ada aja yang menyapa, “Pak Ridwan, dadah.. Arka, dadah..”, baru ke ibu Cinta, haha.
Kita yang harus mengatur waktu, bukan waktu yang mengatur kita. Kita yang mengatur kerja, bukan kerja yang mendikte kita.
Ya, sebenarnya tinggal switching aja, sih. Jadi kayak kita ganti peran. Kalau dengan teteh Zara, saya tuh ngomong kayak udah orang dewasa banget. Saya enggak memperlakukan dia kayak ke anak yang tidak tahu apa-apa. Kalau saya ngobrol tuh, saya anggap setara, dan dia memang senang begitu. Ngomongin arsitektur, politik, apa saja, saya anggap dia itu seumuran saya. Tapi tentu kadang-kadang saya juga nasihatin, tapi dengan bahasa yang lebih “muter2” dulu lah, kalo main “langsung-langsung” biasanya dia suka defensif, haha.
Kalau Arka ini saya bawaannya senang terus. Kenapa? Karena sebenarnya saya juga ingin main kan, haha. Kayak lompat-lompat, saya bilang, “Arka, ayo kita main trampolin”, padahal saya yang mau, hahaha. Arkanya main, saya juga ikut main trampolin, perosotan. Jadi kadang-kadang, asyiknya saya dapat penghiburan, sambil ngasuh, saya juga terasuh sama Arka. Paling sering Arka tuh, saya ajak naik motor atau naik sepeda.
Ya, waktu kan hanya 24 jam. Saya sudah terbiasa mengatur, me-manage waktu. Jadi kita yang harus mengatur waktu, bukan waktu yang mengatur kita. Kita yang mengatur kerja, bukan kerja yang mendikte kita. Oleh karena itu, pasti ada momen di mana saya kalo sampai di rumah, yang dicari Arka dulu, 5-10 menit aja bercengkerama, itu juga sudah merutinkan quality time. Kemudian biasanya weekend, saya jalan-jalan, ngajak motoran berdua, kadang bertiga juga.
Nah itu, makanya bagi saya, makin banyak tanggung jawab melatih saya untuk lebih bijaksana membagi waktu. Tapi, selalu cukup waktunya. Jadi tergantung kita sebenarnya. Dibilang sibuk pasti sibuk, dibilang bisa berbagi, ya bisa. Jadi itu gimana kita aja.
Jadi selalu ada 3 tipe quality time. Yang pertama, kegiatan khusus dengan Arka, kegiatan kedua dengan si teteh (Zara), kegiatan ketiga, sesekali bersama-sama. Nah, kalau bersama-sama, semuanya mengalah pada maunya Arka. Contohnya kemarin, “Arka mau apa?”, “Bombom car”, si tetehnya ngalah, ikut main bombom car. “Arka mau apa?”, “Perosotan..”, Papapnya ngawasin Arka main perosotan. Jadi kita nikmati aja momen yang menggunakan logikanya dia. Kan, tetehnya juga mengerti, dia juga senang. Sampai dia punya istilah sendiri. Namanya kan, teteh Zara, tapi khusus ke bayi satu itu dia pengen disebutnya teteh pompom. Saya bilang, “Kok berubah nama?”, dia jawab, “Ya pokoknya biar beda aja, buat lucu-lucuan”. Ya terserah aja deh, haha.
Saya kalo marah itu dipendam. Makanya kayak kemarin kita kehilangan, saya nangisnya di dalam, tapi kalau dibunyikan suaranya keras banget.
Ya ada, lah.. Ada momen-momen kita hanya berdua aja, walaupun enggak terlalu banyak, ya. Karena istri saya itu kan, ketua 14 organisasi. Ya cenderung lebih sibuk dari suaminya, haha. Tapi selama itu positif dan waktu untuk keluarga masih ada, ya silakan aja. Termasuk mau S3 juga kan, dia. Ya kalo lagi sibuk dinas biasanya saya nyuri-nyuri waktu makan siang bareng. Terus kita suka puasa Senin Kamis, jadi buka puasanya bareng. Setelah buka puasa, pisah lagi, sesuai agenda masing-masing. Jadi masih bisa lah, kan itu tadi kuncinya, kita yang ngatur waktu, bukan waktu yang ngatur kita.
Ya, gini.. Semua yang pertama selalu bikin kaget. Nikah pertama, eh maksudnya pertama kali menikah ya, hahaha.., waktu wisuda, kemudian punya anak pertama, semua yang pertama itu bikin nervous. Nah, di anak pertama Eril itu, istri saya sempat baby blues. Tapi kita selalu belajar melakukannya bersama. Saya mandiin Eril di wastafel, karena waktu itu tinggal di New York ya jaman Eril lahir itu, dan kamar mandinya kecil banget. Apapun yang bikin istri saya stres, saya tentu ikut menghibur. Apalagi baru melahirkan, kan. Yang ibunya nangis, emosi.. anaknya nangis juga. Tapi itu semua saya lakukan secara natural aja, sambil menghibur ibunya, ya anaknya juga diurusin.
Pesan saya untuk para ayah, menjadi ayah yang terbaik adalah melalui keteladanan. Jadilah ayah yang teladan, dari spending waktunya, dari sikapnya, penampilannya, nasihatnya. Dan jadi ayah, kadang kala kita harus berbagi peran, berubah peran. Coba sesekali jadi teman, bukan sebagai ayah. Itu juga penting, sehingga anak merasa frekuensinya lebih nyambung. Mudah-mudahan dengan semangat keteladanan, semua apa yang kita perlihatkan akan menjadi contoh oleh anak kita. Mari menjadi ayah-ayah yang teladan, dengan segala dimensinya, insyaAllah kita akan membawa keluarga kita bahagia lahir batin. M&B