Menikah dengan seorang “oppa” memang tak seromantis kisah dalam drama Korea. Namun, dalam diri sang suami yang terpaut usia 11 tahun, Rini menemukan kenyamanan. Bersama Michael Andrew Ha, aktris sekaligus model kelahiran Banjarmasin ini berhasil menemukan versi terbaik dirinya.
Letupan-letupan emosi Rini berhasil diredam. Ia lebih care terhadap orang lain dan diri sendiri.
Lantas apa sih, sifat Michael Andrew Ha yang bisa membuat Rini merasa senyaman itu? Yuk, simak obrolan seru Mother & Beyond bersama Rini Yulianti seputar pernikahan dengan oppa Korea, serta statusnya sebagai ibu rumah tangga, dan ibu dari Xavier Young Min Ha (5).
Lagi sibuk mengurus Xavier pastinya. Selain itu, aku juga masih memiliki satu brand pakaian. Pokoknya apa aja dilakukan agar sibuk, mulai dari lari hingga membuat salad. Ya, biar enggak bosan aja.
Benturan budaya pasti ada, terutama soal bahasa. Aku lumayan kesulitan mempelajari bahasa Korea. Mau belajar, tapi kayak aduh, ini bagaimana, sih?
Namun, untungnya suami sejak kecil tinggal di Australia. Jadi dia cukup memahami aku. Dia tahu betapa sulitnya buat aku untuk belajar bahasa Korea.
Hahaha … masih dalam taraf kata-kata yang biasa ditonton di drama Korea seperti “gwenchana”. Akan tetapi sesungguhnya aku agak paham jika mendengarkan orang mengobrol menggunakan bahasa Korea. Hanya saja saat harus mengucapkan, terasa sangat susah. Kalau menurut suami, yang terpenting aku ngerti dia berbicara apa.
Karena suami besar di Australia, jadi enggak ada kebiasaan yang benar-benar mengganggu. Soal makanan juga enggak banyak masalah karena suami juga sudah cukup lama tinggal di Indonesia dan sudah mulai menyesuaikan diri.
Aku juga pernah lho, membuatkan makanan khas Korea, kimchi. Tapi hasilnya memang enggak memuaskan sampai suami pun berkata, “Sudahlah, enggak usah dipaksakan untuk buat sendiri. Kita beli aja”.
Jadi sampai kini, kalau memang kita lagi ingin makan makanan Korea maka kita akan beli aja ke restoran. Untungnya, di Indonesia sudah ada banyak restoran Korea dan enak-enak. Kebetulan, anakku penyuka makanan Korea.
Benar, kami terpaut 11 tahun. Namun di mataku, suami itu sosok yang terbilang awet muda. Bahkan saat kami pertama kali bertemu, aku mengira perbedaan usia kami hanya 3 atau paling jauh 5 tahun. Pas sudah kenal, wow, ternyata selisih usianya cukup jauh.
Selain itu, pembawaannya juga bukan yang sok tua. Dia masih bisa asyik dan pastinya mengimbangi aku. Dan setelah aku jalani, ternyata aku memang tipe wanita yang suka berada di dekat pria yang lebih dewasa. Mungkin pria yang lebih dewasa cenderung bisa lebih ngemong, bisa lebih mengerti. Apalagi aku tipe orang yang meledak-ledak seperti petasan, dalam marahnya atau bertindak. Jadi aku senang kalau ada yang bisa mengimbangi. Pastinya, aku merasa nyaman bersama suami.
Kebetulan suami yang lebih sering mengalah. Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai banyak mengalah, dalam arti aku menyadari bahwa ternyata pendapat dia memang benar. Pola pikir aku pun jadi lebih terbuka dibandingkan sebelumnya. Aku lebih banyak belajar dan melalui perubahan sikap ke arah positif. Hal ini mungkin enggak bisa terjadi kalau aku enggak bersama dia.
Jadi bisa dibilang aku sudah bisa menemukan pasangan yang tepat untukku. Pasangan yang bisa membuatku jadi lebih baik dan lebih hidup. Better me. Pokoknya banyak perubahan positif dalam diriku berkat suami.
Pastinya ada, apalagi dulu hampir setiap hari kehidupanku dihabiskan di lokasi syuting. Nah, sebelum pandemi, aku mendapat izin dari suami untuk kembali syuting. Tapi, saat kembali syuting, ternyata pikiranku belum siap 100 persen karena masih memikirkan Xavier. Selain itu, aku juga enggak bisa olahraga pagi karena enggak cukup tidur.
So, bisa dibilang untuk saat ini aku masih 100 persen nyaman menjadi ibu rumah tangga. Aku memang masih ada pekerjaan lain di luar kegiatan sebagai ibu, tapi tidak di lokasi syuting. Pastinya, suami lebih happy dengan kegiatanku saat ini.
“Ngobrol dengan suami dan bersama teman-teman pastinya ada rasa yang berbeda. Kalau bareng teman, rasanya semuanya jadi lucu. Dengan adanya woman support woman tuh, efeknya bagus buat kesehatan mental.”
Alhamdulillah, suami masih menyempatkan diri mengurus Xavier. Waktu Xavier masih bayi, dia ikut mengganti popoknya. Benar-benar menolong, deh. Kami berdua beranggapan bahwa anak itu bukan hanya membutuhkan sosok ibu, melainkan juga ayahnya.
Aku pribadi mengalami orang tua berpisah sejak kecil. Jadi aku ngomong ke suami bahwa aku ingin dia ikut berperan dalam mengurus Xavier, dalam kehidupan Xavier. Bagaimanapun sosok ayah sangat dibutuhkan oleh anak. Untungnya, aku dan suami sepaham.
Bukan hanya membantu mengurus anak, tapi setiap minggu pasti ada waktu Xavier dengan ayahnya, seperti main bola. Pokoknya daddy’s day!
Hmm, sedekat apa, ya? Pokoknya, kalau enggak ada dia pasti rasanya ada yang kurang. Cuma karena sudah sama-sama berkeluarga, jadi enggak bisa seperti dulu lagi yang hampir setiap hari bareng. Tapi kami selalu usahakan dalam seminggu ada beberapa hari kami bersama, pergi bareng, quality time bareng, karena teman-teman Ririn juga teman-teman aku.
Kami curhat tentang semuanya, dari yang penting sampai yang enggak penting. Semuanya diceritakan karena memang senyaman itu ngobrol dengan kakak sendiri.
Kak Ririn tuh orangnya baik banget. Dia care banget. Tapi karena saking perhatiannya, dia jadi kadang terlalu banyak ngurusin urusan orang. Semua mau diatur sama dia. Jadi terkadang aku merasa, “Sudah, aku bisa kok ngurusin,” hahaha.
“Saat kembali syuting, ternyata pikiranku belum siap 100 persen karena masih memikirkan Xavier. So, bisa dibilang untuk saat ini aku masih 100 persen nyaman menjadi ibu rumah tangga.”
Seratus persen perlu! Saat aku masih menyusui, aku enggak termasuk ibu dengan ASI berlimpah. Makanya saat diberi pelukan oleh suami aja, rasanya sudah, wow, booster banget!
Sampai sekarang, suami selalu bisa membaca wajah aku ketika sedang senang, sedih, atau lelah. Sudah terbaca sama dia. Saat mood aku enggak enak, dia akan langsung nanya, “Kenapa?” dan langsung peluk.
Di sisi lain, aku juga tipe istri yang suka ngobrol. Jadi tiap ada masalah yang mengganjal, aku akan bilang ke suami.
Suami, pastinya, karena dia 24 jam bersama aku. Dan tentu saja saudara perempuanku, karena Mama sudah enggak ada.
Aku sangat tidak setuju apabila hanya ibu yang disalahkan ketika ada musibah pada anak. Si anak itu kan, juga punya ayah, dan mungkin punya nenek dan kakek. Jadi kenapa hanya ibu yang disalahkan? Kenapa enggak saling membantu antara ibu, ayah, dan support system?
Jadi “enggak banget” kalau hanya menyalahkan ibu. Aku rasa, semua ibu sudah 100 persen memperjuangkan kebahagiaan dan keselamatan anaknya. Kenapa hanya ibu yang disalahkan? Rasanya enggak fair.
Kehadiran saudara, teman, atau bestie itu sangat memengaruhi kehidupan seorang wanita, khususnya seorang ibu. Kehadiran mereka semacam terapi. Sekarang aja aku merasakan kalau olahraga bertemu teman-teman, kayak terapi aja. Ngobrol dengan suami dan bersama teman-teman pastinya ada rasa yang berbeda. Kalau bareng teman, rasanya semuanya jadi lucu. Dengan adanya woman support woman tuh, efeknya bagus buat kesehatan mental.