Bagi Whulandary Herman, 35, menjadi ibu adalah sebuah pilihan. Peran yang dijalaninya saat ini juga tak lantas menghentikan karirnya apalagi mimpi-mimpinya sebagai perempuan. Masih aktif berkarir di Indonesia dan Malaysia, diakuinya menjadi salah satu sumber kebahagiaan istri dari Nik Ibrahim, 40, ini. Pun dengan pilihannya untuk meng-upgrade diri dengan melanjutkan pendidikan hukum, demi menjadi contoh baik bagi kedua buah hatinya, Nik Zayn, 4, dan Nik Siti Amilie, 2 tahun 8 bulan.
Dengan segala kesibukannya, mulai dari mengasuh anak, berkarir dan menuntut ilmu, bagaimana wanita berdarah Minang ini menjalani kesehariannya? Sebagai Miss Universe Indonesia 2013, bagaimana ia menanamkan konsep cantik seorang perempuan pada putrinya? Serta langkah apa yang ia lakukan untuk mendukung sesama perempuan Indonesia untuk mengembangkan potensi diri terbesar mereka? Bagaimana pula cara Whulandary memaknai pertambahan usia dalam hidupnya?
Simak wawancara eksklusif M&B bersama Whulandary Herman, yang menjadi wajah Digital Cover spesial ulang tahun kali ini!
Kesibukan saya saat ini masih di lintas negara. Selain sibuk dengan berbagai event di Indonesia maupun Malaysia, tahun ini kebetulan saya sedang kuliah lagi, mengambil magister hukum, untuk melanjutkan notaris di Universitas Andalas, Padang.
Selain karena saya bukan tipikal orang yang bisa diam, salah satu alasan saya kembali berkuliah karena saya harus memberikan contoh yang baik untuk anak-anak saya. Semakin mereka besar, saya selalu bilang dan mendorong mereka untuk punya cita-cita dan sekolah yang tinggi. Ketika saya mengingatkan hal tersebut, saya jadi melihat ke diri saya sendiri. Kalau saya tidak berjuang, ya gimana? Karena itu saya melanjutkan untuk menuntut ilmu lagi.
Menurut saya menuntut ilmu itu sampai mati. Jadi tidak ada kata terlambat untuk mulai lagi kuliah. So, I think I should give good example to my kids. Apalagi ayah mereka juga lulusan Phd. Jadi rasanya saya harus coba menyeimbangkan. Kesannya jadi saya tidak cuma ngomong aja, dan menjadi contoh nyata untuk anak-anak saya.
Saya sangat menikmati peran sebagai ibu, karena saya merasa menikah di usia yang memang fasenya “i’m ready to settle down”. Jadi saya benar-benar enjoy and nothing to regret. Hal yang paling saya nikmati ketika menjalani peran sebagai ibu adalah ketika menemani anak-anak beraktivitas, misalnya menemani Zayn latihan bola atau menjemput mereka di sekolah.
Jadi sesibuk apapun, saya selalu menyempatkan waktu untuk mengantar dan menjemput mereka sekolah. Karena melihat kebahagiaan anak-anak ketika diantar helper dengan ibunya itu berbeda. Jadi meskipun saya sudah on makeup dan high heels, saya bisa tuh, ke lapangan untuk menemani Zayn latihan bola. I will do my best, lah.
Menjadi ibu adalah pilihan, dan tidak semestinya ini menghentikan mimpi-mimpi kita sebagai perempuan. Menurut saya, ibu yang bahagia akan jauh lebih bahagia ketika mendidik atau mengasuh anak-anaknya. Nah, kebahagiaan inilah yang suka dilupakan para ibu. Kebahagiaan itu kan, tidak hanya dari materi, melainkan dari segala aspek kehidupan. Bisa dari edukasinya mungkin, di mana ibu memilih sekolah lagi, kebahagiaan mentalnya, atau mungkin memilih tetap berkarir seperti yang saya lakukan.
Untungnya saya mendapatkan suami yang begitu pengertian, yang mengijinkan saya untuk tetap berkarir. Bila ada kerjaan di Indonesia, suami mendukung. Karena dia juga tahu kalau saya di Malaysia, saya memberikan 100% hidup saya untuk anak-anak. Jadi dia sangat mendukung saya untuk tetap berkarir.
Tantangannya mungkin sulit untuk menitipkan anak-anak. Meski saya dibantu nanny, tapi mayoritas saya yang mengasuh dan menjaga mereka. Kebetulan budaya maid di Malaysia kan, tidak seperti di Indonesia.
Tantangan lainnya membagi waktu. Jadi semua schedule di Malaysia saya sesuaikan dengan rutinitas Zayn dan Amilie. Mereka kan, sekolah dari jam 8 pagi sampai jam 3 sore. Jadi kalau saya ada event di jam 3 misalnya, tim PR atau klien di Malaysia pasti sudah tahu bahwa di jam tersebut saya harus jemput anak di sekolah. Untungnya mereka sangat memaklumi dan pengertian.
Meski menjalani semuanya sendiri, ini justru terasa lebih mudah. Mungkin kalau ada nanny, saya malah jadi bingung, kebanyakan orang gitu. Sedangkan sekarang, saya masih bisa main tenis, pilates, datang ke event, and I do my me time. Jadi semuanya ter-organize dengan baik.
Zayn dan Amilie hanya beda usia 15 bulan. Sejauh ini mereka belum mengalami sibling rivalry. Tapi kalau dilihat, Amilie itu memang lebih ambisius dibanding kakaknya. Misalnya kalau Zayn bisa sesuatu, Amilie juga harus bisa. Untungnya Zayn sebagai kakak malah mencontohkan dan mengajarkan adiknya, jadi dia lebih mengayomi Amilie.
“Menjadi ibu adalah pilihan, dan tidak semestinya ini menghentikan mimpi-mimpi kita sebagai perempuan.”
Sebenarnya saya bisa belajar dari siapapun. Tapi role model utama tentu ibu dan nenek saya. Mereka selalu mengajarkan bahwa “tak ada yang tidak bisa, selagi kamu mampu”. Hal ini yang menjadi kunci ketika saya pindah dari kampung ke kota. Waktu itu, tidak terbayang oleh saya bisa hidup di Jakarta dan meraih sebagian cita-cita di sini.
Saya pernah tidak yakin pada diri saya sendiri. Banyak kekhawatiran, apakah nanti saya bisa sukses di Jakarta, karena saya kan bukan siapa-siapa, bukan anak Gubernur atau Menteri, kasarnya “siapa lo?”, lah. Tapi nenek saya selalu bilang, kesuksesan itu milik semua orang, bukan hanya untuk anak orang kaya atau ternama. Selagi kita mau, kita punya kesempatan. Jadi hal ini juga yang saya tanamkan pada Zayn dan Amilie.
Intinya semuanya itu harus dicoba dulu. Karena gagal itu bagian dari perjalanan fase kehidupan. Misalnya, saat Amilie gagal tes piano, karena tangannya belum kuat, dia frustasi sekali karena kakaknya kan, sudah bisa. Tapi saya bilang sama dia, “It’s okay, it’s good you’ve been trying”, kalau tidak dicoba, kita enggak tahu, kan.
Saya termasuk orang tua yang sangat was-was melihat how our kids will grow in 20 years from now. Karena melihat apa yang ada di media sosial saat ini. Tapi apa yang saya ajarkan pada Amilie tentang konsep cantik dan percaya diri, akan sama dengan yang saya pelajari.
Kalau melihat akun Instagram saya, saya tidak pernah pencitraan. Like, you can be your own beautiful, kamu tidak harus jadi orang lain. Ada kalanya saya memakai daster. Sementara saat datang ke event, tentu saya juga harus all out berpenampilan. Intinya menyesuaikan saja. Kalau sedang di rumah mengurus anak, ya saya akan menjadi Whulandary Si Ibu rumah tangga. Jadi kita harus percaya diri saja dengan apa yang kita miliki.
Hal tersebut pun saya ajarkan pada Amilie. Dalam berpakaian misalnya. Amilie lebih suka pakai celana. Nah, sebagai ibu, saya tidak akan memaksa dia untuk harus pakai dress. Dia bisa pilih apa yang mau dia pakai. Kalau dia nyaman dengan apa yang dia pilih, ya sudah. Jadi janganlah kita mau kelihatan cantik atau sempurna karena orang lain. Pakailah sesuatu yang membuat kamu nyaman dan merasa cantik.
“Kehadiran Zayn dan Amilie mengubah hidup saya. Mereka adalah kebahagiaan saya yang sesungguhnya. Hadirnya mereka membuat saya tidak pernah lagi membandingkan hidup saya dengan orang lain.”
Tujuan awal saya dan Artika Sari Devi membentuk beauty camp ini adalah untuk menyambung rantai kebaikan yang orang lain pernah berikan pada kami. Dulu, saat ikut Miss Universe, kami sulit mencari akses untuk belajar terkait persiapan mengikuti ajang ini. Akhirnya kami pun hanya bermodal tanya sana-sini, semuanya serba sendiri, termasuk soal biaya.
Nah saya berpikir, how about the next one. Surprisingly juga, saat ini banyak wanita dari berbagai profesi, seperti polisi wanita, dokter, pengacara, yang they look so confident outside, actually inside itu mereka tidak percaya diri. Jadi kami putuskan untuk mendirikan ArtikaWhulandary Beauty Camp ini.
Sejak dua tahun ini, tagline kami adalah “sekolah perempuan untuk perempuan”. Jadi beauty camp ini tidak hanya didirikan untuk perempuan yang ingin mengikuti ajang kontes kecantikan saja, namun untuk semua perempuan. Karena semua perempuan itu cantik dan unik, serta memiliki kesempatan yang sama.
Kehadiran mereka mengubah saya secara pribadi, 180 derajat berubahnya. Dulu saya berpikir bagaimana caranya agar selalu jadi nomor satu, pun secara akademik. Saya selalu berpikir harus jadi yang terbaik, karena mungkin itu kebahagiaan saya. Tapi setelah Zayn dan Amilie hadir, sesungguhnya mereka lah, kebahagiaan saya. Jadi saya tidak pernah membandingkan hidup saya dengan orang lain lagi.
Sekarang saya fokus bagaimana supaya bisa menjadi orang baik dan berbuat baik. Harapannya pahala atau karma baik dari perbuatan saya mengalir juga pada anak-anak. Siapa tahu, dari situ pula mereka bisa sekolah tinggi, masuk Yale University atau Harvard University, dan diberi kelulusan sama Allah karena ibunya pernah berbuat baik.
"Pertambahan usia artinya hidup harus tetap berjalan, nothing to regret."
Sejak kecil, sebenarnya saya tidak terlalu suka merayakan ulang tahun. Karena di hari yang sama, di ulang tahun pertama saya, ayah saya meninggal. Jadi bagi saya, celebration itu tentang sebuah perjuangan. Karena sejak detik itu, saya bersama ibu dan kakak saya berjuang untuk melanjutkan hidup.
Jadi pertambahan usia artinya hidup harus tetap berjalan, nothing to regret. Perjalanan hidup masih begitu panjang, dan harus dinikmati serta disyukuri. Saya bersyukur masih dikasih kesempatan untuk bisa bersama dengan orang-orang yang tercinta dan mencintai saya. M&B