Nama Fauziah Shahab, alias Zee Zee Shahab, tentu sudah tak asing lagi di dunia hiburan tanah air. Selain masih menjadi host, istri Prabu Revolusi ini juga baru saja comeback ke dunia layar lebar dengan membintangi sebuah film horor di awal tahun 2025 ini.
Genre film baru boleh dicoba, namun soal olahraga, ibu dari Fauzi Khaleev Putra Revolusi dan Lucky Keriym Putra Revolusi ini tidak pindah ke lain hati. Zee Zee berusaha konsisten melakukan hobi larinya, hingga tak jarang menjadi panutan bagi para sesama wanita berhijab.
Sebagai seorang ibu, mengasuh kedua anak laki-lakinya tentu sudah menjadi tanggung jawab utama. Namun sebagai wanita, Zee Zee juga terus berusaha meng-upgrade diri dengan kembali menuntut ilmu, dan segera meraih gelar Doktor.
Keseruannya mengasuh anak, cerita jatuh bangun melanjutkan S-3, serta awal mula jatuh cinta pada lari, Zee Zee bagikan secara eksklusif untuk Mother & Beyond. Simak selengkapnya.
Selain mengasuh anak, menjadi host dan berlari, saat ini aku sedang melanjutkan kuliah, program S-3, di Institut Seni Indonesia (ISI), Denpasar-Bali. Aku senang bisa melanjutkan kuliah yang sesuai passionku, yaitu seni. Aku memilih program studi tradisi lisan Betawi. Bukan semata karena kecintaaanku pada budaya Betawi saja, namun keputusan ini berawal dari obrolanku dengan para budayawan Betawi, bahwa
akademisi Betawi itu lumayan jarang ditemukan. Jadi mungkin nanti, saat aku sudah lulus dan siap mental untuk mengajar, aku bisa menjadi penerus akademisi Betawi.
Kenapa aku memutuskan untuk kuliah lagi, karena kesempatannya ada dan didukung keluarga serta suami, jadi harus disyukuri. Aku rasa ketika kita memutuskan kuliah lagi dalam kondisi sudah berumah tangga, tentunya dibutuhkan keikhlasan dari suami. Karena mungkin saja ada suami yang merasa insecure bila istrinya mau menyamai levelnya. Tapi uniknya, Mas Prabu tidak seperti itu. Dari zaman suamiku menempuh S-2, dia juga yang selalu encourage aku untuk melakukan hal yang sama, sampai akhirnya kini aku mengambil S-3.
Karena sudah tidak muda lagi, jadi memang belajar itu sangat sulit ya. Sempat terpikir sih, kenapa aku nekat kembali kuliah. Tapi ini justru menjadi momen di mana aku mengapresiasi dan mencintai diriku. Bahwa ternyata aku bisa menaklukan perasaan tidak mampu ini, sampai akhirnya aku mampu.
Perjalanannya memang tidak mudah. Saat sedang kuliah pasti ada saja mengeluhnya. Apalagi setelah bimbingan, di mana proposal tidak di approved, harus revisi lagi. Begitupun saat risetnya kurang, bahan-bahan penelitian tidak ada, narasumber tidak ketemu, itu yang kadang membuat aku tantrum, hehe. Suamiku lah yang menjadi saksi hidup betapa seringnya aku menangis selama aku menempuh S-3 ini.
Happy sekali! Sebelumnya kan aku lebih sering mendapat tawaran untuk main film religi, ya. Nah, ketika ditawari untuk main film horor, meski aku berperan sebagai ustazah, aku excited sekali karena genre-nya berbeda.
Tidak seperti zaman dulu, di mana aku santai saja kalau syuting di atas jam 10 malam, saat ini tentunya kondisi sudah berbeda. Sekarang, jam 8 malam itu aku sudah masuk ke kamar untuk persiapan tidur. Jadi kalau lewat jam tersebut, aku sudah mulai cranky ke asisten sutradara.
Jadi memang sekarang aku punya perjanjian khusus soal waktu syuting, maksimal jam 12 malam sudah harus selesai. Selesai tidak selesai, aku pulang. Bagaimanapun aku sadar diri ya, aku sudah menua, jadi baterai tubuh sudah low jam segitu, hehe.
Saat ini aku sudah bisa mengontrol diriku dengan baik. Bisa dibilang aku sudah hidup berdampingan dengan hal-hal tersebut. Pastinya butuh waktu untuk bisa berdamai dengan kondisi ini, tapi memang indigo itu kan “gift” dari Allah SWT, yang harus kita terima.
Aku juga bersyukur sekali berjodoh dengan Mas Prabu. Di mana awalnya dia tidak percaya tentang indigo, namun setelah banyak riset dan membaca jurnal, dia mencoba mengimplementasikan ke aku dengan logika. Bahwa semua ini tergantung pikiran dan mental kita.
Aku belajar untuk menerima bahwa kita tidak hidup sendiri di dunia ini, Tuhan menciptakan makhluk lain. Jadi coba untuk saling menghargai, meyakini bahwa kita itu berdampingan, dan jangan dilawan. Dibiarkan saja, justru lebih tenang.
Anakku Khaleev kebetulan juga indigo. Dulu Khaleev bilang, ia pernah melihat sosok perempuan bisa terbang layaknya kupu-kupu, dan pernah berpapasan dengan sosok nenek-nenek di basement. Awalnya aku sempat panik. Tapi untungnya Khaleev ini lebih dewasa dibanding aku. Kalau dulu, ketika aku tahu bahwa aku indigo, aku sempat denial. Tapi sekarang karena aku sudah “berpengalaman” dan tahu harus bagaimana, jadi Khaleev jauh lebih siap, mentalnya baik-baik saja, dan tidak cranky dengan apa yang dia lihat.
“Kembali kuliah dan belajar menjadi momen di mana aku mengapresiasi dan mencintai diriku. Bahwa ternyata aku bisa menaklukan perasaan tidak mampu ini, sampai akhirnya aku mampu.”
Pada dasarnya orang-orang indigo ini memang harus diyakini bahwa mereka itu tidak sendiri. Terkadang yang membuat seorang indigo tidak nyaman dan stres adalah ketika orang mempertanyakan kebenarannya. Misalnya “Ah, ngada-ngada aja kamu,” atau “Ah, caper! Itu kan teman imajinasi kamu aja,” pernyataan seperti ini yang membuat kita jadi lebih tertutup, tidak suka bergaul, sampai pada akhirnya mungkin lebih suka bergaul dengan yang tidak terlihat dari pada yang nyata.
Dalam pengasuhan anak, aku dan Mas Prabu menentukan siapa yang akan jadi bad cop dan good cop di rumah. Jadi misalnya, saat aku lagi kesal dengan Keriym, suamiku harus bersikap nice, jadi jangan sampai dua-duanya dalam keadaan marah. Lalu kalau marah, tidak boleh terlalu pakai hati, karena menurut suamiku, nanti akan terasa di emosinya.
Di sisi lain, mungkin aku dan suamiku juga ada bedanya dalam pengasuhan anak. Di mana parenting Mas Prabu lebih logic, sedangkan aku typical yang “ibu-ibu banget” kalau melarang sesuatu, tanpa ada alasan. Sedangkan suamiku konsepnya tidak bisa melarang anak tanpa kasih alasan. Jadi sebaiknya kasih tahu dulu alasannya, lalu biarkan mereka yang memilih yes or no-nya. Sementara menurutku, kalau anak terlalu dikasih ruang untuk diskusi, mereka akan membangkang. Tapi kembali lagi, semua tergantung kondisi. Kalau sudah berlebihan, suamiku biasanya juga akan strict dan bisa galak.
Sedari kecil, kami juga melatih Khaleev dan Keriym untuk tidak cengeng. Bukan melarang anak laki-laki untuk menangis ya, tapi agar mereka tidak tantrum di ruang publik dan memanfaatkan situasi. Misalnya saat kita melarang mereka membeli mainan, biasanya anak anak kan akan merajuk dan merengek, itu aku paling sebal melihat anak seperti itu. Jadi sejak mereka di bawah usia 5 tahun, kami melarang mereka untuk menangis di depan umum dan tidak boleh menangis tanpa alasan. Menangis itu harus karena sakit, jatuh, atau memang benar-benar merasa sedih, jadi harus ada alasannya. Jadi kalau mau nangis ya harus ditahan, cari ruangan, dan ngumpet.
Selain itu, aku dan suami juga menerapkan sistem pemberian rewards pada anak-anak. Jadi ketika mereka ingin sesuatu, mereka harus melakukan hal-hal yang baik dulu. Terdengarnya memang transaksional, tapi konsep ini lumayan berhasil diterapkan pada anak-anakku. Setidaknya ini akan membentuk karakter mereka menjadi lebih matang dan tahu kalau ingin sesuatu harus usaha dulu, tidak bisa langsung dapat dengan mudah.
Kami tidak selalu harmonis sih, tapi melakukan hal-hal atau hobi yang sama bersama mungkin jadi salah satu kunci keharmonisan rumah tangga kami. Bisa dengan lari bareng, nyobain coffee shop baru, atau menyempatkan nonton film di bioskop berdua. Kebetulan suamiku suka sekali nonton, dalam seminggu bisa 3 kali nonton. Jadi berusaha untuk menyukai apa yang disukai pasangan supaya tetap balance, ya. Dan yang pasti selalu support each other, saling kompromi, dan menurunkan ego.
Lari ini sebenarnya olahraga baru untukku. Aku mulai lari setelah melahirkan Keriym. Jadi saat itu berat badanku naik hampir 20 kg. Aku sempat desperate sekali dan mungkin baby blues ya, karena setiap melihat kaca, aku menangis melihat bentuk tubuhku sendiri. Belum lagi yang membuatku semakin merasa bersalah adalah ketika berat badanku naik saat hamil tapi Keriym lahirnya kecil. Jadi karena ada pengapuran plasenta, nutrisi yang Keriym terima tidak maksimal.
Melihat kondisiku ini, suamiku menyadarkan aku bahwa kalau aku hanya bisa nangis dan mengasihani diriku, itu tidak akan mengubah apapun atau membuat aku kurus. Jadi dia menyemangati aku untuk “ayo do something” dan bergerak.
Satu bulan pertama aku ditantang untuk rajin jalan. Setelah terbiasa, akhirnya naik level, dan ditantang untuk lari. Ternyata setelah rajin lari, berat badanku turun, tanpa diet. Jadi semuanya dilakukan bertahap. Memang pada dasarnya olahraga itu tidak boleh bikin badan dan mental stres. Kalau seperti itu justru bisa membuat kita trauma dan akhirnya tidak mau lagi melakukan hal tersebut. Jadi harus dibikin happy dan fun.
Nah, ketika mulai rutin lari, aku ditawari untuk ikut Tokyo Marathon di tahun 2019, di mana jarak tempuhnya 42 km. Aku merasa tertantang dan memutuskan untuk ikut, meski aku baru rajin lari dalam hitungan bulan. Tapi bersyukurnya saat itu aku nekat untuk ikutan. Ketika merasa tertantang itu, mindset-ku adalah kalau sudah memulai sesuatu, harus bisa menyelesaikannya, dari start harus bisa sampai finish, dan jangan give up.
Akhirnya, sekarang lari sudah menjadi hobi dan bagian hidupku. Aku juga senang bisa menjadi influence orang-orang, ibu-ibu, wanita berhijab untuk lari. Meski banyak yang beranggapan bahwa perempuan berhijab itu kalau mau lari akan susah, aku mencoba menampiknya, dan bagiku itu hanya mindset belaka. Berlari mengenakan hijab memang panas, tapi kalau cuma dikeluhin dan enggak dilakukan, ya enggak bisa merasakan dan mengubah apa-apa. Bagaimanapun perubahan paling kecil itu berawal dari diri sendiri, baru bisa mengubah semuanya.
Aku sebenarnya sudah lama disuruh berhijab oleh ayahku, tapi waktu itu aku belum mau. Biasalah ya kalau semakin dipaksa, kita semakin malas, jadi kayaknya harus sadar dengan sendirinya. Nah, di akhir 2014 aku mulai berhijab. Mungkin ini yang namanya hidayah, ya. Jadi momennya itu saat bulan puasa. Sehabis salat asar, tiba-tiba saja aku punya keinginan untuk berhijab. Kalau ditanya kenapa, jujur aku enggak tahu jawabannya.
Keluarga dan suamiku sempat kaget dengan keputusanku. Sampai suamiku berkali-kali menanyakan keputusanku tersebut. Dia tidak melarang aku berhijab, tapi aku diminta untuk istikamah. Karena menurutnya keputusan berhijab ini adalah perjanjian khusus antara aku dan Allah SWT, jadi sangat sakral. Ketika sudah dipakai, jangan dilepas sampai aku mati, pesannya. Aku pun tetap meneguhkan hati untuk berhijab.
Setelah berhijab cobaannya luar biasa. Berbagai pekerjaan yang sudah ditawarkan pada aku sebelumnya, cancel semua. Di tahun itu juga belum banyak program religi dan image pakai hijab itu masih “tua” kesannya. Jadi ada masanya aku jobless 2 bulan. Aku sempat menangis dan menanyakan pada Allah SWT, kenapa ketika aku sudah menjalankan perintah-Nya, tapi malah aku di posisi seperti ini, tidak punya job. Tapi suamiku membesarkan hatiku, dan bilang mungkin ini cobaannya. Dia meminta aku untuk legowo dan ikhlas menerima takdirku.
Tapi, sebulan kemudian, ternyata aku dapat tawaran untuk menjadi host satu program TV berjudul Berita Islami Masa Kini. Ini adalah momentum yang baik untukku, dan membuat aku sadar bahwa ketika kita menerima, ikhlas dan yakin pada Allah, maka Allah akan memberikan hal-hal indah, lebih dari yang kita bayangkan.
“Berlari mengenakan hijab memang panas, tapi kalau cuma dikeluhkan dan tidak dilakukan, ya tidak akan tahu rasanya dan tidak akan mengubah apa-apa. Bagaimanapun perubahan paling kecil itu berawal dari diri sendiri, baru bisa merubah semuanya.”
Setelah mengenakan hijab, entah bagaimana caranya beberapa impianku tercapai, dikabulkan oleh Allah SWT. Dulu aku enggak pernah kesampaian mau umrah, ada saja kendalanya. Tak disangka ada travel umrah yang memintaku untuk menjadi brand ambassador (BA) mereka. Sejak saat itu, aku sampai bisa pergi umrah setiap bulan. Hal baik lagi yang menghampiri aku adalah ketika aku ditawari jadi host acara travel hijab. Impianku bisa keliling Eropa seketika terwujud, selama satu bulan aku syuting keliling Eropa. Dari perjalanan berhijabku ini aku semakin sadar bahwa jangan pernah meragukan janji Allah SWT. Karena ketika kamu berada di jalan yang benar, lalu kamu bersyukur dan ikhlas, maka hal-hal luar biasa akan menghampirimu.
Anakku, Khaleev, pertama kali puasa di usia 3 tahun, dia puasa setengah hari, dan di usia 4 tahun sudah puasa penuh sampai magrib. Terkesan jahat memang menyuruh anak seusia itu puasa, tapi menurutku memang puasa dan salat adalah ibadah yang harus dipaksakan dulu. Semakin dipaksa, harapannya ketika dia semakin besar, dia akan memahami esensi ibadah itu apa, sampai dia merasa ibadah itu sebuah kewajiban. Karena yang namanya ibadah itu enggak bisa hanya kita beri pemahaman, apalagi anak-anak belum sampai kan akalnya. Jadi ya harus dipaksa dulu. Tapi untuk Keriym, karena anak bontot, kami agak tidak tega menyuruh puasa terlalu dini. Tahun lalu dia sudah mencoba puasa setengah hari, dan tahun ini kita akan coba paksa puasa full.
“Memberikan reward pada anak memang terkesan transaksional. Namun dengan konsep ini kami berharap bisa membentuk karakter mereka menjadi lebih matang dan tahu kalau ingin sesuatu harus usaha dulu, tidak bisa langsung dapat dengan mudah.”
Mamaku baru saja berpulang, rasanya seperti kehilangan separuh diriku dan tidak punya pegangan hidup. Beliau banyak mengajarkan aku hal hal terkait parenting, terutama soal pemahaman soal agama. Karena memang Mama mengajarkan agama, siapa Tuhan kami, siapa Allah SWT itu tidak dalam keadaan memaksa. Jadi kita diajarkan untuk mencintai, mengenal, dan bergantung pada Allah SWT. Dan beribadah itu memang benar-benar tentang kebutuhan, bukan terpaksa.
Jadi itu yang sedang berusaha aku ajarkan pada anak-anak, tapi sayangnya kesabaranku tidak setebal Mama, haha. Enggak heran, beliau tuh selalu ngomel kalau aku sedang memarahi anak-anak, ketika mereka banyak bertanya. Beliau selalu mengingatkan bahwa ibu itu adalah madrasahnya anak-anak, jadi pasti anak-anak akan bertanya pada ibunya, dan ibu itu harus bantu jawab. M&B