Type Keyword(s) to Search
FAMILY & LIFESTYLE

Mom of the Month: Dr. dr. Meta Hanindita, Sp.A (K)

Mom of the Month: Dr. dr. Meta Hanindita, Sp.A (K)

Sebagai seorang dokter spesialis anak, ada tanggung jawab besar yang diemban oleh Dr. dr. Meta Hanindita, Sp.A (K). Namun, tugas yang menyertai statusnya sebagai ibu dari seorang anak praremaja, Arshiya Nayara (11), juga tak kalah luar biasa.

Menjadi seorang dokter, tidak sekadar mengobati. Bagi dr. Meta, menjadi seorang dokter juga harus berbagi ilmu tentang kesehatan serta tumbuh kembang anak yang ia miliki. 

Akan tetapi, tidak mudah untuk mengedukasi masyarakat dengan beragam latar belakang. Pada saat bersamaan, dr. Meta masih harus menjalani perannya sebagai seorang ibu.

Lantas bagaimana ia membagi fokus dalam menjalani dua peran dengan tanggung jawab besar tersebut? Lalu bagaimana ia menghadapi tantangan dalam berbagi ilmu dengan para Moms yang terkadang “keras kepala”? Yuk, simak semuanya dalam wawancara eksklusif M&B bersama Dr. dr. Meta Hanindita, Sp.A (K) yang menjadi Mom of the Month Desember 2022.

Dokter Meta suka mengedukasi para orang tua, baik melalui media sosial maupun buku. Sebenarnya apa sih alasannya karena tak semua dokter mau melakukan hal seperti ini?

Pertama, sejak dulu saya memang suka menulis. Dan saat saya mengedukasi, saya memilih untuk melakukannya lewat media yang bisa saya tulis karena sesuai dengan kesukaan saya, passion saya.

Saya pun jadi tertantang bagaimana caranya menerjemahkan berbagai bahasa medis, berbagai bahasa ilmiah yang sedemikian jelimetnya ke dalam satu bahasa yang sangat sederhana, ringkas, dan semua orang dari berbagai strata pendidikan, dari berbagai lingkungan, dari berbagai latar belakang, bisa mengerti.

Mengapa jadi mengedukasi? Karena saya tahu bahwa ibu-ibu zaman sekarang kalau mencari segala sesuatu tentang kesehatan, maka yang pertama dicari adalah Google. Padahal tidak semua yang ada di Google adalah hal yang benar. Itulah yang membuat saya berpikir bahwa harus ada yang benar-benar meluruskan berbagai hoaks yang ada, yang mudah diakses, dan pastinya gratis.

"Ibu-ibu zaman sekarang kalau mencari segala sesuatu tentang kesehatan, maka yang pertama dicari adalah Google. Padahal tidak semua yang ada di Google adalah hal yang benar."

Menjadi seorang dokter, pilihan pribadi atau faktor keinginan orang tua?

Pribadi! Namun memang tidak bisa dibilang seutuhnya keinginan saya sendiri karena saya juga terinspirasi untuk menjadi dokter dari ayah yang notabene adalah dokter spesialis anak. Dan karena ayah saya adalah dokter spesialis anak, saya jadi benar-benar mengetahui bahwa diri saya memang ingin menjadi dokter anak.

Ayah saya memang pernah mengungkapkan agar saya menjadi dokter saja, tapi beliau tidak pernah memaksa. Menurut beliau, saya bisa menjadi apa saja yang penting bisa bermanfaat bagi orang banyak. Walaupun sepanjang perjalanannya sempat belok sana dan belok sini, ingin jadi ini atau jadi itu, pada akhirnya tetap kembali ke cita-cita awal menjadi dokter spesialis anak.

Apa sih arti menjadi seorang dokter, khususnya dokter anak, bagi seorang Meta Hanindita?

Lebih spesifik lagi, dokter nutrisi anak. Menurut saya menjadi dokter nutrisi anak adalah profesi yang sangat menantang, karena kita tahu bahwa generasi penerus masa depan bangsa dan pemimpin-pemimpin kita di masa depan, itu semua akan sangat tergantung dari anak-anak kita saat ini, tergantung dari kesehatan anak-anak kita saat ini, tergantung dari nutrisi anak-anak saat ini.

Kita juga tahu bahwa masalah yang sekarang lagi banyak terjadi adalah stunting yang bisa memengaruhi sumber daya manusia di masa depan. Kalau saat ini 1 dari 3 balita di Indonesia mengalami stunting, kita bisa bayangkan 25 tahun ke depan, jangan-jangan untuk menjadi pejabat, untuk menjadi presiden, atau untuk menjadi sosok profesional seperti dokter dan pengacara, apakah harus diimpor dari negara lain? Jangan sampai, ya.

Itulah peran besar dokter spesialis anak untuk mencari tahu bagaimana caranya memperbaiki kualitas sumber daya manusia di masa depan demi masa depan bangsa, masa depan generasi penerus bangsa. 


Selain berstatus sebagai dokter, Anda juga seorang ibu. Apakah pernah mengalami masalah-masalah yang dialami kebanyakan Moms, seperti anak tidak mau menyusu atau GTM? Pernah panik atau frustrasi juga enggak sih saat menghadapi situasi semacam itu?

Alhamdulillah untuk GTM tidak, karena anak saya termasuk yang mudah banget makan. Tapi kalau GTM misalnya karena lagi sakit atau tumbuh gigi, ya wajar sih. Jadi saya mikirnya tenang saja karena ini bagian dari drama dan nantinya badai pasti berlalu. Tapi, tetap harus dicari tahu penyebabnya apa.

Namun harus diakui kalau soal anak sendiri, titel dokter spesialis anaknya tuh seakan hilang. Walau sudah tahu penyebab masalahnya, rasa panik itu tetap ada. Itulah sebabnya saya akan selalu minta pendapat kedua, ketiga, atau bahkan kelima ke teman-teman sendiri. Alhasil, teman-teman malah berkata “Kan, kamu udah tahu jawabannya”. Tapi karena saya takut bersikap subjektif kepada anak sendiri, jadi saya tetap minta tolong pendapat dari teman-teman yang lain. Kayaknya tugas seorang ibu memang untuk panik, terlepas profesinya dokter atau bukan.

Saya pribadi, biasanya panik karena saya tahu skenario terburuk yang mungkin terjadi. Misalnya saat anak saya demam, saya tahu apa yang terburuk yang bisa terjadi. Lalu saya takut kecolongan walau sudah tahu pemeriksaannya seperti apa. Jangan-jangan karena saya periksanya terlalu objektif atau justru subjektif, jadi malah kebablasan atau bagaimana. Itulah alasan saya selalu meminta opini dari teman-teman dokter.

"Namun harus diakui kalau soal anak sendiri, titel dokter spesialis anaknya tuh seakan hilang. Walau sudah tahu penyebab masalahnya, rasa panik itu tetap ada."

Sebagai dokter, Anda dikenal sebagai pribadi yang ramah, murah senyum, dan suka berbagi dengan followers. Nah, bagaimana sih sebenarnya sosok Meta Hanindita sebagai ibu? Deskripsikan dalam 3 kata?

Pertama, easy going karena saya termasuk ibu yang santai banget. Tapi panik tetap tidak bisa hilang. Satu lagi, hmm, saya tuh termasuk ibu yang suka belajar. Kayaknya saya bisa jadi seperti saat ini karena semua kasus yang pernah saya bagikan atau share kepada followers saya sudah pernah saya alami terlebih dulu dengan anak saya.

Jadi, saya belajar. Misalnya saat anak saya mengalami kuning selama tiga bulan lebih, saya jadi ingin tahu lebih banyak. Saya belajar dan hal itulah yang saya share kepada followers saya. 

Begitu pula saat masa memberikan ASI. Saya sempat kesulitan soal pelekatan, saya mempelajari jurnalnya dan bagaimana seharusnya, sehingga bisa berbagi. Saat menyapih pun sama. Saya pelajari cara menyapih yang baik. Terlepas dari profesi saya sebagai dokter anak, saya juga berbagi dari pengalaman saya bersama anak saya.

llmu pengetahuan selalu berkembang, termasuk soal membesarkan anak. Pernah enggak bertemu ibu yang tidak mau menerima perkembangan pengetahuan ini? Lalu bagaimana menghadapinya?

Sayangnya, masih banyak sekali Moms yang seperti ini. Tapi kita tidak bisa mengontrol orang lain, hanya diri sendiri. Jadi, sebagai dokter spesialis anak, sebagai profesional, tugas saya hanya mengingatkan dan memberitahu. Saya hanya memberikan advice secara medis sesuai dengan fakta ilmiah yang saya pelajari.

Namun, soal apakah orang tua mau mengikuti saran saya atau tidak, itu sudah menjadi tanggung jawab orang tua itu sendiri. Jadi istilahnya seperti tongkat estafet yang sudah saya serahkan kepada orang tua. Apakah orang tua akan memberikan tongkat itu atau membawanya ke garis akhir atau tidak, semua tergantung mereka. Satu hal yang perlu diingat, anak adalah titipan Tuhan. Anak harus dipertanggungjawabkan sebaik-baiknya oleh orang tuanya sendiri.

"Satu hal yang perlu diingat, anak adalah titipan Tuhan. Anak harus dipertanggungjawabkan sebaik-baiknya oleh orang tuanya sendiri."

Mana yang lebih sulit? Menjadi seorang ibu, atau menjadi dokter yang harus menghadapi pasien atau orang tua yang tidak mau menerima saran serta perkembangan pengetahuan?

Sepertinya lebih sulit menjadi seorang ibu. Saat menghadapi pasien-pasien yang keras kepala, tanggung jawab saya hanya sebatas menyampaikan ilmu saya sesuai dengan evidence based. Masalah mau dilakukan atau tidak, itu ya terserah orang tuanya.

Namun menjadi seorang ibu, semua keputusan yang saya buat terkait dengan anak, maka itulah yang harus saya pertanggungjawabkan. Ada rasa takut salah, takut seharusnya tidak seperti itu, takut kebablasan, dan lain sebagainya.

Apakah menurut dr. Meta, ibu-ibu saat ini sudah punya cukup pengetahuan yang benar soal membesarkan anak?

Tergantung ibu-ibu yang mana. Indonesia tuh luas banget. Ada ibu-ibu yang aksesnya terbuka untuk bisa mengerti segala hal, tapi ada pula ibu yang masih percaya mitos atau masih mengikuti ilmu parenting zaman dulu.

Namun secara garis besar, pengetahuan ibu-ibu di Indonesia soal merawat atau membesarkan anak sudah cukup oke. Di sisi lain, karena ada badai tsunami informasi, jadi banyak yang bingung juga mau mengikuti yang mana.

"Saya tahu, semua orang tua pasti bertujuan atau memiliki keinginan untuk menjadi orang tua yang sempurna dan anaknya pun perfect. Padahal anak itu tidak membutuhkan orang tua yang sempurna, melainkan orang tua yang bahagia."

Di tengah kesibukan yang padat sebagai dokter, bagaimana cara membagi waktu dengan keluarga, khususnya dalam memberikan perhatian kepada anak-anak?

Salah satu keuntungan yang saya miliki, adalah fakta bahwa saya sudah terlatih untuk sibuk sejak dulu. Jadi saya sudah terlatih untuk membuat skala prioritas. Nah, skala prioritas inilah yang selalu menjadi rujukan saya setiap kali ada acara yang kebetulan bentrok atau harus dipilih. Prioritas ini nantinya bisa berganti sesuai dengan kondisi saat itu.

Kalau misalnya saya selalu menempatkan keluarga di prioritas pertama, tapi ternyata ada pasien gawat yang tengah berjuang antara hidup dan mati sedangkan tidak ada masalah di keluarga saya, maka prioritas itu pun bisa berubah. Yang penting konsisten dan tentunya yang paling penting adalah manajemen waktu.

Dalam sehari ada 24 jam, jadi saya harus bisa mengatur waktu dengan baik agar keluarga tidak ketinggalan. Di sisi lain, saya juga masih bisa berkarya atau melakukan banyak hal lainnya tanpa membuat urusan keluarga keteteran.

Punya pesan bagi para Moms yang mungkin lagi struggle dalam membesarkan anak atau merasa tertekan karena mendapat nasihat ini itu yang tidak sesuai dengan hati nuraninya?

Pertama, tentunya sabar. Intinya, kita tuh harus berikhtiar semaksimal mungkin. Kalau soal kesehatan dan pengasuhan anak, silakan cari sebanyak mungkin pengetahuan dari sumber-sumber yang valid. Kalau memang bisa dilakukan, ya lakukan. Tapi jika usaha tersebut tidak bisa dilakukan karena berbagai hal, mungkin sudah saatnya Moms menurunkan ekspektasi agar tidak stres sendiri.

Saya tahu, semua orang tua pasti bertujuan atau memiliki keinginan untuk menjadi orang tua yang sempurna dan anaknya pun perfect. Padahal anak itu tidak membutuhkan orang tua yang sempurna, melainkan orang tua yang bahagia. Jadi Moms, jangan lupa untuk berbahagia, ya. Me time itu penting. Semua pasti menginginkan yang terbaik. (M&B/Wieta Rachmatia/SW/Foto: Putri Hanifa/Digital Imaging: Bagus Ragamanyu Herlambang)