Moms pernah dipanggil ke sekolah karena ada masalah dengan Si Kecil? Bukan karena anak Anda tidak mengerjakan pekerjaan rumah, melainkan karena kebiasaannya mengganggu teman-temannya.
Perundungan atau bullying memang kerap terjadi pada anak-anak. Lantas bagaimana jika buah hati Anda adalah anak yang suka melakukan perundungan? Awalnya memang hanya bercanda, tapi tak jarang Si Kecil keterusan mengganggu temannya, bahkan hingga memicu tindakan kekerasan lainnya.
Faktanya, tidak semua pelaku bullying adalah anak yang nakal dalam kesehariannya, khususnya di rumah. Dalam beberapa kasus, anak cerdas yang dianggap sebagai teladan juga bisa melakukan perundungan terhadap temannya.
Alasan Anak Suka Melakukan Bullying
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Douglas Gentile dan Brad Bushman dalam Psychology of Popular Media Culture, ada 6 penyebab anak suka mem-bully, yaitu.
1. Kecenderungan permusuhan
Dalam hubungan keluarga maupun pertemanan, permusuhan terkadang menjadi hal yang sulit dihindari. Merasa memusuhi akan membuat anak merasa dendam dan ingin membalasnya.
2. Kurang perhatian
Rendahnya keterlibatan dan perhatian orang tua pada anak juga bisa menyebabkan Si Kecil suka mencari perhatian dan pujian dari orang lain, salah satunya adalah pujian pada kekuatan serta popularitas mereka di luar rumah. Guna mendapatkan popularitas tersebut, anak cenderung pamer kekuatan dengan cara menindas anak lain.
3. Gender sebagai laki-laki
Seringkali orang menilai bahwa menjadi seorang laki-laki harus kuat dan tak kalah saat berkelahi. Kondisi ini secara tidak langsung menjadi imej yang menempel pada anak laki-laki. Alhasil, mereka akan mencoba untuk mendapatkan pengakuan bahwa dirinya lebih kuat dibandingkan teman laki-laki lainnya. Akhirnya, perilaku ini membuat anak cenderung lebih agresif secara fisik.
4. Riwayat korban kekerasan
Biasanya anak yang pernah mengalami kekerasan, khususnya dari orang tua, memiliki kecenderungan untuk balas dendam melalui temannya di luar rumah.
5. Riwayat berkelahi
Kadang berkelahi untuk membuktikan kekuatan, bisa membuat seseorang ketagihan untuk terus melakukannya. Bisa jadi, mereka melakukannya karena senang memperoleh pujian dari banyak orang.
6. Ekspos kekerasan
Pengaruh kekerasan bisa datang dari berbagai media, seperti televisi, video game, dan film. Sudah sepantasnya, orang tua melakukan pengawasan ketika anak menonton atau bermain video game. Jangan biarkan anak-anak di bawah umur, menyaksikan film dewasa yang penuh dengan adegan kekerasan karena hal tersebut bisa menginsipirasinya untuk melakukan hal serupa.
Cara Mengatasinya
Ketika Moms mengetahui bahwa Si Kecil adalah pelaku perundungan, maka segeralah bertindak. Berikut adalah beberapa tips untuk menghadapi anak yang suka mem-bully.
1. Berbicara dari hati ke hati
Ya, cara ini biasanya paling jitu untuk mengetahui alasan mengapa anak berbuat tidak baik. Tanpa perlu marah-marah, tanyakan kepada Si Kecil apa yang membuatnya kesal kepada teman sehingga bersikap kasar.
Moms juga perlu mencari tahu bagaimana pergaulannya. Bisa saja, anak bersikap kasar karena pengaruh teman-teman terdekatnya. Di sisi lain, pastikan anak mengetahui konsep benar dan salah. Bukan tak mungkin, Si Kecil melakukan bullying karena tidak tahu perbuatannya termasuk intimidasi.
2. Ibaratkan anak menjadi korban
Biasanya, anak melakukan perundungan karena merasa dirinya lebih kuat. Jika begitu, Moms bisa menyadarkan anak bahwa ia melakukan kesalahan dengan memberitahunya bahwa suatu saat akan ada orang yang lebih kuat darinya. Ingatkan kepada anak, sosok yang lebih kuat itu bisa saja berbalik mengganggunya. Anda perlu menanamkan konsep bahwa orang yang lebih kuat harus melindungi yang lemah, bukan justru mengganggunya.
3. Tak menoleransi intimidasi
Moms perlu menekankan kepada anak bahwa segala bentuk intimidasi bukan sikap yang bisa dibenarkan. Ajarkan kepadanya, sikap tersebut bisa saja dikenai sanksi. Ketika nasihat Moms sudah tidak mempan, sangat disarankan Anda untuk berkonsultasi dengan ahli guna mengatasi masalah kekerasan yang dilakukan Si Kecil. Jangan bertindak tanpa berpikir panjang karena justru bisa memicu sikap yang lebih keras. (Wieta Rachmatia/SW/Dok. Freepik)