BUMP TO BIRTH

Waspada Emboli Air Ketuban pada Ibu Hamil!



Setiap ibu tentunya berharap bisa melalui proses persalinan dengan lancar. Akan tetapi terkadang ada masalah yang tidak bisa dihindari, salah satunya adalah emboli air ketuban.

Emboli air ketuban adalah kondisi ketika air ketuban masuk dan bercampur ke dalam sistem peredaran darah sang ibu. Kondisi yang bisa terjadi saat atau setelah proses persalinan ini umumnya sulit dicegah dan berisiko menimbulkan komplikasi yang berbahaya, baik bagi ibu maupun bayinya.

Namun jangan panik dulu ya, Moms! Emboli air ketuban adalah salah satu komplikasi persalinan yang jarang terjadi. Hanya saja, kondisi ini sulit dicegah atau dideteksi sejak dini. Pada umumnya, emboli air ketuban terjadi secara tiba-tiba dan penyebabnya tidak diketahui secara pasti.

Faktor Risiko

Emboli air ketuban bisa terjadi pada siapa saja, termasuk pada ibu yang tidak mengalami masalah atau gangguan kesehatan selama masa kehamilan. Sifatnya pun cenderung mendadak menjelang proses persalinan. Meskipun penyebab pastinya sering kali tidak diketahui, ada beberapa faktor yang diduga bisa meningkatkan risiko terjadinya emboli air ketuban pada ibu hamil, antara lain:

• Usia ibu hamil di atas 35 tahun

• Gangguan plasenta, misalnya plasenta robek dan plasenta previa

• Preeklampsia

• Masalah pada air ketuban, misalnya jumlah air ketuban berlebih (polihidrammion)

• Metode persalinan dengan operasi caesar atau bantuan forceps

• Persalinan dengan metode induksi untuk memicu proses kelahiran

• Kehamilan kembar

• Cedera pada perut atau rahim

• Reaksi alergi terhadap air ketuban.

Tanda dan Gejala Emboli Ketuban

Seperti telah disebutkan di atas, emboli air ketuban bisa terjadi secara mendadak. Saat terjadi emboli air ketuban, ibu hamil dapat mengalami kekurangan oksigen (hipoksia), penurunan tekanan darah secara drastis, hingga gangguan pembekuan darah. Selain itu, ibu hamil juga akan mengalami gejala sebagai berikut:

• Sesak napas atau napas berat

• Mual dan muntah

• Keringat dingin

• Kulit dan bibir tampak kebiruan (sianosis)

• Dada berdebar

• Kejang

• Penurunan kesadaran atau pingsan

• Perdarahan.

Sedangkan pada janin, emboli air ketuban dapat menyebabkan gawat janin. Jika tidak segera ditangani, kondisi ini bisa membahayakan nyawa janin.

Harus Segera Ditangani

Emboli air ketuban merupakan kejadian serius dan bisa berakibat fatal, baik bagi ibu maupun janin. Oleh sebab itu, emboli air ketuban perlu segera ditangani oleh dokter. Jika tidak segera mendapatkan penanganan, ibu yang mengalami emboli air ketuban berisiko mengalami komplikasi berbahaya, seperti kerusakan otak, gagal napas, syok, dan henti jantung.

Ada beberapa jenis penanganan emboli air ketuban pada ibu hamil, antara lain:

1. Terapi Oksigen

Emboli air ketuban bisa menyebabkan aliran darah pada ibu dan janin terhambat. Hal ini mengakibatkan ibu dan janin kekurangan oksigen. Oleh sebab itu, dokter pada umumnya akan memberikan tambahan oksigen. Selain membantu ibu bernapas dengan normal, terapi oksigen juga penting dilakukan untuk menjaga pasokan oksigen pada organ-organ vital, seperti paru-paru, jantung, dan otak agar dapat berfungsi dengan baik. Apabila terjadi henti napas atau henti jantung akibat emboli air ketuban, dokter akan melakukan tindakan resusitasi jantung paru.

2. Transfusi Darah

Emboli air ketuban bisa menyebabkan perdarahan yang berat dan sulit dihentikan selama persalinan atau setelahnya. Untuk menggantikan darah yang hilang tersebut, dokter akan memberikan transfusi darah.

3. Obat-obatan

Pemberian obat-obatan bertujuan untuk mengatasi gangguan yang terjadi akibat emboli air ketuban. Misalnya, jika emboli air ketuban menimbulkan gangguan jantung pada ibu, dokter dapat memberikan obat-obatan untuk memperkuat fungsi jantung.

Emboli air ketuban merupakan salah satu kondisi kegawatan pada persalinan atau kehamilan. Ibu yang mengalami emboli air ketuban pada umumnya membutuhkan perawatan intensif dan pemantauan ketat di ruang ICU. Sedangkan bayi yang lahir dari ibu dengan kondisi emboli air ketuban juga biasanya perlu dipantau di NICU, terutama jika kondisinya dinilai tidak stabil. (Wieta Rachmatia/SW/Dok. Freepik)