FAMILY & LIFESTYLE

Mengganggu Kesehatan Mental, Waspada Efek Negatif “Tren” Cancel Culture



Moms pernah mendengar tentang cancel culture? Belakangan ini istilah cancel culture menjadi ramai, terutama di media sosial. “Tren” memboikot ini biasanya dilakukan terhadap sosok selebriti atau public figure yang dianggap berperilaku atau membuat pernyataan yang sifatnya ofensif.

Ketika perilaku atau pernyataan tersebut tidak bisa diterima oleh masyarakat, maka netizen beramai-ramai menyerukan untuk “meng-cancel” atau memboikot karya selebriti tersebut atau bahkan meminta hukuman dan pertanggungjawaban yang lebih tegas dari industri, kantor, dan institusi lain yang berkaitan, dengan harapan menyadarkan selebriti tersebut dan bertanggung jawab atas kesalahannya. Pertanyaannya, apakah cancel culture benar-benar efektif dan pantas dilakukan?

Dari mana cancel culture muncul?

Dilansir dari laman Time, cancel culture ini muncul pertama kali pada Maret 2014 di mana terjadi kasus rasisme yang dilakukan The Colbert Report terhadap masyarakat Asia. Cancel Culture pun semakin dikenal saat Tarana Burke menginisiasi pergerakan #MeToo yang merupakan seruan terhadap banyaknya kasus pelecehan seksual terhadap perempuan. Di tahun yang sama, dalam reality show “Love and Hip-Hop: New York”, Cisco Rosado, eksekutif musik dan produser rekaman, juga mengatakan “You’re canceled” untuk mengakhiri pertengkaran dengan pacarnya.

Sejak itu, istilah “cancel” pun muncul dengan sendirinya di Twitter untuk menunjukkan kritik ringan atau ketidaksetujuan atas tindakan seseorang. Namun, belakangan ini, kata “cancel” justru berubah arti menjadi statement untuk memboikot secara profesional.

Untuk apa dilakukan?

Dilansir dari Psychology Today, ada 3 proses psikologis kenapa seseorang bisa meng-cancel orang lain, yaitu:

1. Untuk mengidentifikasi atau menyadari adanya pelanggaran dan menilainya secara signifikan.

2. Agar pihak yang diboikot mengalami emosi negatif yang kuat.

3. Untuk menghukum dan menyakiti si pelanggar.

Akibatnya, sosok yang di-cancel ini pun akan kehilangan “power”, tidak diterima di mana-mana, dan pernyataan apa pun yang dikeluarkan berikutnya juga tidak akan lagi dianggap. Wah, seram juga ya, Moms.

Siapa saja yang bisa terkena “cancel”?

Awalnya sih, cancel culture lebih sering menimpa sosok orang terkenal seperti public figure atau bisa social media influencer. Namun dalam perkembangannya, “budaya” ini sekarang juga bisa menimpa siapa pun di internet, termasuk Moms lho, meskipun skalanya tentu berbeda-beda, ya.

Yes Moms, nggak jarang lho, ada orang-orang yang “gatal” untuk meng-cancel seseorang dengan mengorek kesalahan orang tersebut di masa lalu, apalagi jejak digital sulit untuk dihapus.

Cancel culture bisa pengaruhi kesehatan mental

Cancel culture ini memang menimbulkan sejumlah pro-kontra. Di salah satu sisi, gerakan ini mungkin cukup efektif untuk menyadarkan seseorang akan kesalahannya, meminta maaf dan berubah menjadi lebih baik. Cancel culture juga terbukti efektif untuk melawan beberapa isu rasisme dan seksisme, contohnya saat komunitas film memboikot Academy Award pada tahun 2016, di mana ajang perfilman bergengsi ini kurang keragaman di antara nominasi. Hasil pemboikotan ini berhasil karena pada Oscar tahun 2019 tercatat rekor kemenangan terbanyak didominasi oleh kulit hitam.

Ya, jika dilakukan dengan tepat, cancel culture sangat efektif memerangi pelanggaran, karena gerakan ini menuntut perubahan sosial dan mengatasi ketidaksetaraan. Adanya cancel culture ini pun membuat kita lebih berpikir sebelum membuat keputusan atau mengunggah postingan yang berpotensi menyinggung orang lain.

Namun, sayangnya cancel culture saat ini lebih terlihat sebagai bullying ketimbang memboikot. Bayangkan saja, sudah dicaci maki, “dimatikan” kariernya serta kemungkinan akan kehilangan pekerjaan dan penghasilan, orang yang terkena cancel culture juga akan merasa dikucilkan, terisolasi secara sosial, hingga kesepian, yang tentunya berpotensi besar untuk memicu stres dan depresi. Ibaratnya, sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Tak hanya itu, banyak juga para “pemboikot” yang menghalangi korban untuk meminta maaf juga merampas kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Duh, seram ya, Moms.

Tak hanya sebatas pada korban, cancel culture ini juga bisa memengaruhi kesehatan mental pelaku, bahkan pengamat, lho. Kok, bisa? Sekali Anda meng-cancel seseorang, bisa jadi hal itu akan membuat “ketagihan”. Apalagi jika korban terus membela diri, ini bisa memicu adrenalin untuk terus-menerus mencari kesalahannya (bahkan yang tak berhubungan dengan kasus yang sedang terjadi) dan membeberkannya pada publik. Hal ini tentunya tidak baik dan tidak sehat ya, Moms.

Lalu bagaimana dengan pengamat? Moms pernah enggak sih, membaca suatu postingan di sosial media yang berisi tentang caci-maki para netizen terhadap seseorang, lalu setelah itu tiba-tiba merasa sakit kepala? Tak jarang, para pengamat ini juga akan dilanda kecemasan karena berpikir siapa tahu suatu saat nanti ada orang lain yang menemukan sesuatu di masa lalu untuk melawan mereka. Wah, sedahsyat itu ya, ternyata pengaruh cancel culture ini terhadap fisik dan psikis seseorang.

So, cancel culture: yes or no?

Cancel culture bisa menjadi alat perubahan positif bila niatnya dan tujuannya memang beralasan. Karena tujuan dari meng-cancel sesorang ini adalah agar orang tersebut mengakui kesalahannya dan berani bertanggung jawab. Namun, pada praktiknya, yang sering terjadi adalah karena netizen terlalu emosi, justru muncul serangan membabi-buta terhadap korban tanpa mendengar cerita dari sisi korban. Di mana hal ini tak ada bedanya dengan tindakan main hakim sendiri.

Pada akhirnya, menggunakan media sosial dengan bijak adalah kunci utama sebelum kita meng-cancel (atau bahkan di-cancel) orang lain ya, Moms. Lebih baik mengedukasi, mengingatkan, dan menegur terlebih dahulu kan, sebelum meng-cancel seseorang. Setuju, Moms? (M&B/Nanda Djohan/SW/Foto: Freepik)