Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) cukup marak terjadi di Indonesia. Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2020, lebih dari 10.000 kasus KDRT dilaporkan terjadi selama tahun 2020. Sayangnya, masih banyak yang menganggap bahwa KDRT hanya berupa kekerasan fisik.
Faktanya, kekerasan emosional, psikologis, seksual, finansial, pelecehan, dan penguntitan, juga termasuk dalam lingkup KDRT, menurut Jennifer C. Genovese, PhD, profesor di Syracuse University’s Falk College di New York. Namun tanda-tanda KDRT tak selalu mudah dideteksi.
Untuk itu, kali ini M&B sudah merangkum beberapa tanda KDRT yang sering tak dikenali, seperti yang dilansir dari Every Day Health. Simak penjelasan berikut ini, Moms.
1. Memaksa menemani ke mana pun
Pelaku KDRT yang ingin mengisolasi Anda tidak akan mau meninggalkan Anda sendirian. Hal ini bukan karena ia “sangat mencintai Anda dan ingin selalu bersama”, tapi karena ia ingin menetapkan kuasa dan dominasi terhadap Anda dengan memisahkan Anda dari orang-orang terdekat. Dengan begini, Anda akan terus bergantung padanya.
Pasangan Anda dapat melakukan hal ini secara halus, seperti tidak memperbolehkan Anda untuk beraktivitas di luar rumah sendirian, baik saat belanja bulanan atau menghadiri acara keluarga. Proses isolasi ini pun dapat berlangsung secara bertahap. Ia dapat menjadi lebih posesif atau cemburu seiring berjalannya waktu.
2. Taktik gaslighting
Gaslighting adalah bentuk kekerasan psikoligis, di mana pelaku menyebabkan seseorang mempertanyakan realita yang ia miliki. Menurut Genovese, gaslighting dapat berupa mengejek dan menghina seseorang, lalu menuduhnya terlalu sensitif atau dramatis ketika bereaksi terhadap hinaan tersebut.
“Korban dibuat bingung atau merasa bahwa reaksi mereka tidak sesuai dengan suasana sehingga mereka mulai mempertanyakan reaksi dan perasaan mereka,” tutur Genovese.
Pada hubungan yang berisi gaslighting, pelaku KDRT sering menggambarkan korbannya sebagai sosok yang tidak stabil atau suka bereaksi berlebihan, atau menganggap insiden penganiayaan sebagai hal yang normal. Seiring berjalannya waktu, korban dapat mempertanyakan pemikirannya, sehingga membuatnya menjadi lebih bergantung pada pelaku.
3. “Love bombing” untuk memperlancar serangan emosional
Kekerasan emosional sering melibatkan serangan emosional, yakni penilaian dan kritik yang diberikan secara konstan, serta perlakuan yang tidak menghargai pasangannya. Adalah hal umum bagi pelaku untuk merendahkan harga diri korbannya, membuat korban merasa bergantung dan tak mampu meninggalkan pelaku.
Love bombing, begitu sebutan dari Jennifer Kelman, konselor professional di Boca Raton, Florida, sering menjadi ekor dari serangan emosional. Love bombing dapat berupa pemberian hadiah, pujian, permintaan maaf, dan janji-janji untuk tidak lagi melakukan kekerasan.
Menurut Kelman, jika Anda merasa memiliki pola serangan emosional dan love bombing di dalam hubungan Anda, segera cari bantuan atau dukungan agar bisa lepas dari hubungan ini. Pasalnya, berusaha mengomunikasikan hal ini pada pelaku malah dapat berujung pada manipulasi, tuduh-tuduhan, serta gaslighting untuk menghindari tanggung jawab.
4. Korban tampak senang untuk memuaskan pelaku
Seseorang yang mengalami KDRT dapat setuju, memuji, atau membuat alasan bagi pelaku, sebagai upaya untuk membuat kekerasan yang sedang terjadi tampak bukan masalah.
Contohnya, korban berusaha untuk mengecek pasangannya sebelum membuat keputusan apa pun. Ia juga bisa berusaha menghindar untuk menjawab pertanyaan tanpa mendapatkan izin dari pasangannya.
“Pemberian izin ini mungkin non-verbal, dapat berupa anggukan lembut atau kedipan, tapi izin harus diberikan sebelum korban merasa cukup aman untuk merespons,” tutur Genovese.
5. Ada siklus upaya cerai dan baikan
Seseorang yang mengalami KDRT mungkin pernah mencoba untuk meninggalkan hubungannya beberapa kali sebelum benar-benar mampu hidup tenang. Menurut Women Against Abuse, ada beberapa alasan yang menyebabkan hal ini, yakni:
- Kurangnya dukungan, seperti tempat yang aman untuk tinggal atau moda transportasi yang bisa diandalkan.
- Korban merasa takut untuk jatuh ke dalam masalah finansial atau kemiskinan.
- Korban khawatir tentang kondisi anak atau hewan peliharaannya.
Rasa takut terhadap kekerasan atau hukuman dari pelaku juga dapat menyebabkan seseorang untuk tetap berada dalam sebuah hubungan yang abusive. Korban juga sering percaya bahwa ia dapat menghentikan siklus kekerasan ini jika ia “mencoba lebih keras” untuk memperbaiki hubungan atau tidak membuat pelaku kesal.
Pelaku KDRT juga dapat mengancam bunuh diri atau melukai diri sendiri kepada korban, taktik spesifik agar korban mau terus berada dalam hubungan tersebut.
Untuk itu, segera cari bantuan jika Anda merasa sedang berada dalam hubungan yang abusive. Berikut ini beberapa kontak yang bisa dihubungi untuk pengaduan KDRT, yakni Hotline KPPPA (0821-2575-1234), Call center 119 ext. 8 (Psychological First Aid), Komnas Perempuan 0821 2575 1234, dan Kementerian Sosial RI 1500 771. (M&B/Gabriela Agmassini/SW/Foto: Karlyukaf/Freepik)