FAMILY & LIFESTYLE

Mengaku Kalah Tidak Salah



Saya menulis blog ini saat gegap gempita pengumuman pilpres 2014 baru saja usai, dan euforia pasca pesta demokrasi masih terasa. Selain euforia, emosi lain yang tentunya juga terasa oleh banyak orang adalah rasa reflektif. Banyak yang menyebutkan, bahwa pelajaran berharga yang bisa kita petik dari panggung politik terbesar 5 tahunan ini adalah pentingnya sikap “legowo”. Kemampuan mengakui kekalahan menjadi isu yang banyak dibahas oleh semua pihak, termasuk kubu orangtua, dalam kaitan pentingnya mengajarkan kepada anak sikap sportif dan kemampuan menerima kekalahan dengan baik.

Saya pun ikut rombongan ini, bahkan sempet men-tweet bahwa orangtua sekarang punya “take home notes” penting soal mengajari dan membiasakan anak untuk bisa menerima kegagalan dan kekalahan, karena dampaknya bisa panjang ke masa dewasanya kelak. Salah satu follower saya (yang saya duga kuat juga seorang Mom) mereply dengan jawaban yang membuat saya sedikit terhenyak. “Sebelumnya orangtuanya dulu dipastikan bisa terima kalau kalah. Tidak marah-marah kalau anaknya kalah lomba.” Twit yang spesifik dan deskriptif ini mungkin pengalaman pribadinya. Agak lucu, sih, saat membayangkan adegannya. Orangtua yang semangat dan sangat sayang anak sehingga tidak terima saat anak kebanggaannya dinyatakan kalah di suatu perlombaan. Tapi di balik kelucuan itu ada sebuah realita yang membuat saya terpikir cukup lama, sehingga akhirnya memutuskan untuk menuangkannya dalam tulisan ini.

Sangat benar seperti dikatakan rekan Mom tersebut. Sebelum kita memberitahu anak bahwa “it’s okay to lose” dan mengatakan bahwa si anak harus bisa mengakui kapan dia kalah atau salah, apakah kita sendiri sudah melakukan hal itu sehari-hari di depannnya?

Saya coba telusuri dari hal-hal paling trivial. Saat berkendara di jalan, apakah kita menunjukkan kepedulian pada penghuni jalan lain, atau bak koboy menyetir sana sini tanpa merasa salah padahal sudah melanggar sekian aturan dan membahayakan sekian orang? Saat berdebat dengan pasangan depan anak, apakah kita telah menunjukkan contoh berargumen yang “elok” dan mampu menerima dengan baik saat opini kita dipatahkan dan dibuktikan salah? Seringkah dia melihat kita memberikan selamat dengan tulus kepada orang lain atas keberhasilan mereka, tanpa lalu berbicara buruk dibelakang mereka sesudahnya? Apakah saat kita mengalami kegagalan dalam pekerjaan, kita mampu membahas dengan santai bersama keluarga sambil mengakui kekurangan kita dan bukannya malah menyalahkan pihak sana sini dan bilang kalau kita dicurangi? Apakah kita bisa memberikan contoh, bahwa rasa percaya diri yang kuat juga berarti bisa mengakui kelebihan orang lain, dan terlebih tidak menjatuhkan orang lain, terutama yang lebih lemah? Apakah kita minta maaf pada asisten rumah tangga saat ternyata kita berbuat kesalahan padanya, apapun itu? Atau bahkan, apakah kita mau minta maaf pada anak kita, dan mampu mengakui saat kita memang berbuat salah padanya? Jujur saja, saya tidak pede menjawab beberapa pertanyaan di atas.

Belum lagi menyangkut sikap kita terhadap anak. Apakah kita termasuk tipe orangtua yang menyalahkan meja yang tidak tahu apa-apa dan berkata “Mejanya nakal ya!” saat si anak terbentur disitu? Bukannya memberitahunya bahwa karena kesalahannyalah maka dia terluka, dan lain kali sebaiknya dia lebih berhati-hati. Saat Si Adik menangis karena kalah saat bermain dengan kakak, apakah kita malahan memarahi sang kakak dengan ucapan andalan “Yang gede ngalah dong kak!” dan menghibur si adik dengan memberikan mainan atau makanan, dan bukannya membuatnya mengerti, bahwa kalah itu biasa dalam permainan? Saat dia berkompetisi dan mengikuti lomba, apakah kita mendorongnya untuk mengucapkan selamat pada si pemenang seandainya dia kalah? Apakah kita sudah mengajaknya untuk ikut bangga dan senang secara tulus akan keberhasilan teman-temannya? Lagi-lagi saya merasa malu sendiri.

Tanpa kita sadari, bagaimana kita menyikapi momen-momen kecil seperti inilah yang akan membentuk karakter anak kelak. Kepribadian yang toleran dan emosi yang stabil tidak muncul serta merta, namun terbentuk dari pengasuhan yang mengutamakan kasih, sikap rendah hati, kejujuran dan keadilan. Mulai dari diri kita sendiri, karena dari situlah si anak berkaca dan belajar. Ini reminder penting bagi saya sebagai orangtua.

Children do not follow our advice. They follow our example.



(DT/dok.FreeDigitalPhotos)