Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) atau orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) kerap menerima diskriminasi dari masyarakat karena dianggap berperilaku menyimpang. Kurangnya informasi dan pemahaman mengenai penyakit jiwa membuat banyak orang sering kali memperlakukan ODGJ/ODMK dengan kurang baik.
Salah satu contohnya adalah bila dikaitkan dengan masalah hukum. ODGJ/ODMK masih rentan mengalami diskriminasi saat berhadapan dengan masalah hukum. Namun, perbedaan persepsi kerap menjadi kendala dalam pemenuhan hak mereka.
Dalam Virtual Media Briefing dengan tema “Pemenuhan Hak ODGJ/ODMK dalam Sistem Hukum melalui Pemeriksaan Kecakapan Mental yang Berkualitas”, Dr. dr. Natalia Widiasih, SpKJ(K), MPd.Ked, Kepala Divisi Psikiatri Forensik Dept. Psikiatri FKUI-RSCM mengatakan bahwa ODGJ/ODMK masih rentan mengalami diskriminasi.
“ODGJ/ODMK masih rentan mengalami diskriminasi dan tidak terpenuhi hak-haknya saat berhadapan dengan hukum karena masyarakat dan penegak hukum belum sepenuhnya mengenal ragam manifestasi masalah kesehatan jiwa, apalagi banyak ODGJ/ODMK yang belum mendapatkan layanan kesehatan jiwa yang dibutuhkan,” ujar dr. Natalia.
Data dari berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 5 orang yang menjalani proses hukum sebenarnya mengalami masalah kesehatan jiwa yang berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak mereka untuk berpartisipasi penuh dan mendapatkan keadilan.
Masalah kesehatan jiwa yang ditemukan pun sangat beragam, dari gangguan yang menyebabkan seseorang kesulitan membedakan kenyataan dan khayalan, gangguan suasana perasaan yang menetap seperti depresi, gangguan mengatur perilaku seperti yang dialami orang dalam kondisi mania dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH), hingga perbedaan dalam cara menerima dan merespons informasi, seperti spektrum autisme dan disabilitas intelektual.
Gangguan jiwa tidak serta-merta menghilangkan hak dan kewajiban seseorang di mata hukum, tetapi memerlukan pendekatan yang tepat secara klinis maupun legal. Psikiatri forensik merupakan cabang subspesialistik dari psikiatri yang menjawab kebutuhan sistem hukum untuk menganalisis kondisi psikologis seseorang dan memberikan penjelasan pada pihak yang berwenang, agar menjadi pertimbangan saat mereka mengambil keputusan di seluruh ranah hukum.
Sebagai contoh, pada kasus seorang ibu tunggal yang mengalami gangguan depresi sampai mendengar suara-suara halusinasi yang membuatnya membunuh ketiga orang anaknya, psikiater forensik akan menjelaskan bagaimana gangguan depresi yang sedemikian berat akan membuat ibu tersebut tidak bisa berpikir logis sesuai realita sehingga tidak bisa mengarahkan perilakunya sehingga dapat membantu dalam pembuatan putusan di pengadilan terkait layanan dan dukungan kesehatan jiwa yang dibutuhkan, bukan sekadar hukuman penjara.
“Tidak semua gangguan jiwa dapat dideteksi dengan mudah karena sebenarnya hanya sedikit sekali gangguan jiwa yang memenuhi stereotipe di mata awam, seperti yang berbicara sendiri, berhalusinasi, atau berperilaku kacau. Sebaliknya, mayoritas akan terlihat seperti orang ‘biasa’ tanpa ada perubahan yang mencolok bila hanya dilihat sekilas, seperti pada gangguan depresi dan kecemasan–dua gangguan jiwa yang paling lazim ditemukan di masyarakat. Tidak heran banyak aparat penegak hukum yang tidak menyadari saat mereka sedang berhadapan dengan ODGJ/ODMK. Kondisi kejiwaan juga merupakan sesuatu yang kompleks, multifaktorial, dinamis dan situasional,” jelas dr. Natalia.
Peran psikiatri forensik dalam mendampingi para ODGJ/ODMK sangat penting, yang di antaranya mencakup pada hukum pidana, perdata dan administrasi. Namun, menurut dr Natalia, layanan psikiatri forensik di Indonesia masih berada dalam proses perkembangan, sehingga belum sepenuhnya merata di Indonesia.
Bahkan, jumlah psikiatri forensi di Indonesia saat ini hanya 8 orang yang masih aktif memberikan layanan tersebut. Terbatasnya SDM yang ada ini, membuat sebagian besar pemeriksaan psikiatri forensik dilakukan oleh psikiater umum. (M&B/SW/Foto: Jcomp/Freepik)