FAMILY & LIFESTYLE

Anggia Kharisma: Finding Perfection Bersama Keluarga



“Harta yang paling berharga adalah keluarga. Istana yang paling indah adalah keluarga.” Terkesan sederhana, tapi penggalan lirik lagu dari film Keluarga Cemara tersebut punya arti yang begitu mendalam. Ya, keluarga adalah segalanya. Hal itulah yang dirasakan oleh Anggia Kharisma (39), sang produser dari film Keluarga Cemara.

Anggia meyakini bahwa sesungguhnya tak ada keluarga yang sempurna. Namun justru di balik ketidaksempurnaan tersebut, ada individu yang saling mengisi dan saling menyempurnakan.

Bagi Anggia, keluarga bukan sekadar tempat nyaman untuk berlindung dan beristirahat. Keluarga adalah tempatnya untuk belajar menjadi pribadi yang lebih baik dan sumber inspirasi dalam menjalankan pekerjaannya.

Apalagi arti keluarga bagi istri dari sutradara Indonesia, Angga Dwimas Sasongko (38) dan ibu dari Angkasa Rigel Sasongko (7) ini? Simak wawancara serunya dengan M&B berikut ini, Moms!

Dikenal sebagai salah satu produser yang menghasilkan film-film Indonesia yang berkualitas, salah satunya adalah Keluarga Cemara yang temanya “keluarga banget”, lantas apa sih arti keluarga bagi seorang Anggia Kharisma?

Arti keluarga buat saya cukup dalam. Keluarga adalah tempat kita banyak belajar dari hal-hal yang sederhana. Belajar dari sebuah ketidaksempurnaan. Semua proses pembelajarannya berawal dari keluarga. Seharusnya, keluarga menjadi tempat yang paling aman bagi kita untuk mempelajari banyak hal.

Dan pastinya, keluarga adalah segalanya, terutama saat saya mulai berumah tangga. Setelah berkeluarga dan memiliki anak, rasanya baru paham bagaimana rasanya orang tua memiliki unconditional love dan bagaimana cara menciptakan ruang aman dalam keluarga.

Bagaimana keluarga ideal versi Anggia?

Buat saya, keluarga tidak ada yang ideal. Lagi pula makna ideal pasti memiliki takaran yang berbeda-beda bagi setiap keluarga. Di sisi lain, justru imperfection itulah yang membuat segalanya menjadi perfect. Bagaimana rasanya kita saling menerima kekurangan dan kelebihan, lalu bagaimana kita bisa align di antara kekurangan dan kelebihan itu karena tidak ada yang sempurna.

Selain itu, keluarga yang sempurna atau yang ideal adalah justru ketika kita sama-sama mau belajar untuk make things work dan pada akhirnya kita menemukan keseimbangannya. Jadi mungkin intinya kita harus memiliki ruang diskusi yang sehat. Memang bukan hal yang mudah untuk dilakukan, tapi kenapa tidak dicoba? Hal mendasar dari sebuah hubungan adalah komunikasi itu sendiri. Justru kita bisa belajar dari ketidakidealan tersebut.

"Buat saya, keluarga tidak ada yang ideal. Lagi pula makna ideal pasti memiliki takaran yang berbeda-beda bagi setiap keluarga. Di sisi lain, justru imperfection itulah yang membuat segalanya menjadi perfect."

Selain Keluarga Cemara, Anggia juga menjadi produser untuk film Nussa dan memiliki program Domikado. Keduanya mengandung unsur edukasi untuk anak-anak. Lantas kenapa Anda seakan memiliki ketertarikan khusus di dunia anak-anak?

Tertarik di dunia anak-anak sebenarnya sejak Visinema bertubuh. Kalau teman-teman sempat memperhatikan karya kami yang berjudul Cahaya dari Timur: Beta Maluku, sesungguhnya juga bercerita tentang keluarga. Nah, dari semua karya yang kami punya, ada satu benang merah, yaitu resilient. Kami merasa, di setiap keluarga atau sebagai manusia harus punya kualitas resilient ini atau ketangguhan untuk bisa bertahan atas segala yang terjadi.

Sementara itu, berdasarkan riset yang kami lakukan, kurang dari 1 persen konten yang baik untuk anak dan keluarga. Di sinilah kegelisahan kami muncul. Oleh sebab itu, saat pandemi, lahirlah satu divisi baru yang bernama Visinema Studio yang menyediakan konten-konten khusus untuk anak dan keluarga.

Ketika kami mulai melakukan hal ini, Angga meminta saya untuk memimpin divisi ini karena dari awal kami tahu bahwa family matters adalah sesuatu yang ingin kami kejar ditambah anggapan bahwa kami ini memiliki privilege sebagai seorang kreator, jadi kenapa kami tidak membuat sesuatu yang penting atau memiliki arti.

Apalagi di era pandemi semua mengalami perubahan, seperti belajar offline jadi online. Lalu saya memperhatikan di sekolah anak saya, materi pengajarannya juga diambil dari YouTube. Lalu kami pun berpikir, kenapa tidak membuat konten yang memang khusus untuk anak-anak? Akhirnya dari situ, kami men-challenge diri kami, ‘Mau bikin apa nih?’.

Kami sudah punya Keluarga Cemara dan Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, yang bercerita tentang keluarga. Lalu kami juga sudah memiliki Nussa dan film animasi yang tengah digarap, Jumbo. Lalu kami pun berpikir sepertinya kami harus memiliki satu konten yang tepat sasar, dan keluarlah Domikado.

Kami merasa, bentuk dan apa yang ingin kami sampaikan di Domikado itu harusnya bisa menjadi sesuatu yang relate karena yang menjadi challenge saat memutuskan untuk mengeluarkan konten buat anak dan keluarga, konten tersebut juga harus menarik untuk orang dewasa.

Domikado merupakan edutainment series yang menggabungkan antara puppet show dan animation yang di dalamnya diisi dengan musik serta kehadiran bintang tamu. Tapi, fundamental dasarnya yang ingin kami gali lebih dalam bahwa ketika kami membuat Domikado, yaitu harus percaya terhadap tiga hal, resilient, diversity, dan inclusivity.

Tantangan lain yang dihadapi saat kami ingin membuat konten edutainment terkadang edukasinya lebih tinggi dibandingkan entertainment-nya. Sedangkan kami mencoba mengombinasikannya agar selaras dan supaya balance agar tidak monoton. Selain itu, kita juga harus paham bahwa sepertiga waktu anak usia dini hingga 8 tahun golden periode-nya adalah bermain. Lantas bagaimana caranya agar bermain bisa menjadi sesuatu yang bisa mengoptimalkan apa yang ingin disasar? Satu lagi, harapannya dengan menyaksikan Domikado, anak-anak dan orang tua atau care taker-nya bisa menonton bersama serta berdiskusi.

Apa yang sebenarnya ingin disampaikan melalui Domikado?

Hal yang paling mendasar dari Domikado, salah satunya adalah being kind to all beings and not only human being. Domikado adalah sebuah taman yang terbuka bagi siapa saja. Taman untuk semua teman. Jadi kita bisa belajar tentang perbedaan, terutama toleransi karena kita hidup di tengah keberagaman. Dan menumbuhkan empati sesungguhnya berawal dari dalam keluarga. Itulah mengapa konten anak itu penting untuk ada.

It's very delicate, tapi how to make it delightful itu adalah tugas kami. Bagaimana caranya? Ya dengan melakukan banyak riset dan bekerja sama dengan para ahli, seperti pendidik maupun psikolog. Saya berharap konten Domikado yang berdurasi selama 11 atau 12 menit bisa menjadi konten yang lengkap untuk mengisi kekurangan konten anak di masa kini.

"Hal yang paling mendasar dari Domikado, salah satunya adalah being kind to all beings and not only human being. Domikado adalah sebuah taman yang terbuka bagi siapa saja. Taman untuk semua teman. Jadi kita bisa belajar tentang perbedaan, terutama toleransi karena kita hidup di tengah keberagaman."

Anggia juga merupakan seorang ibu. Lantas bagaimana Anda mengajarkan nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari-hari kepada Rigel?

Sesungguhnya, saya berusaha tidak menggurui Rigel. Saya lebih suka show and tell. Ketika saya show and tell, saya jadi bisa belajar bersama-sama dengan anak.

Selain itu, ada perubahan pola asuh antara era saya dengan era Rigel. Saat ini, harus lebih banyak ruang diskusi dengan anak sehingga kami bisa menemukan kesepakatan yang disepakati bersama. Kami juga menemukan momen saat kami bisa bersama-sama meregulasi rasa dan meregulasi emosi. Dari apa yang saya pelajari, anak-anak hingga berusia sekitar 12 tahun masih berusaha mengolah emosi. Ketika mereka lagi berusaha mengolah emosi, ada baiknya kita yang dahulu juga pernah menjadi anak-anak juga mengolah emosi kita.

Saya juga lebih suka berdiskusi dengan Rigel. Kita banyak mengobrol dan yang paling penting adalah readiness anak. Kebetulan sekolahnya juga mengajarkan hal yang sama. Jadi tidak memaksakan sesuatu yang seharusnya belum di tahapan pembelajarannya.

"Sesungguhnya, saya berusaha tidak menggurui Rigel. Saya lebih suka show and tell. Ketika saya show and tell, saya jadi bisa belajar bersama-sama dengan anak. "

Anggia dan suami memiliki profesi yang sama. Sering juga bekerja dalam film yang sama. Bagaimana memisahkan kehidupan sebagai suami istri dan partner kerja?

Mungkin hal ini justru menjadi privilege bagi kami berdua. Kami satu kantor, tapi kami menanggung beban yang berbeda. In a way, kami justru bisa membangun team work. Angga menjadi best partner untuk saya. Kami berkolaborasi karena saya memang sudah bekerja dengan Angga sejak masih berpacaran. Jadi memang sudah melatih cara bekerja sama jauh sebelum kami berkeluarga.

Setelah kami memiliki anak, kami jadi semakin paham dan makin saling mengerti. Konflik memang tidak bisa diabaikan. Tapi yang menarik adalah, ternyata kami masih harus belajar untuk saling memahami antara satu dengan yang lain, memahami peran masing-masing bukan hanya sebagai suami istri, melainkan juga sebagai manusia yang butuh bersosialisasi.

Terkadang kita bermain sebagai tim, misalnya ‘Oh ini waktunya aku yang beristirahat’ , jadi Angga memberikan kesempatan untuk saya having me time. Angga juga mengingatkan jika saat itu, saya lebih banyak preproduction atau melakukan hal-hal yang membuat saya harus pulang larut, dia yang akan pulang lebih awal.

Kami berusaha untuk saling mengisi. Tapi memang tak terhindarkan ya untuk punya obrolan soal pekerjaan karena orang pertama yang selalu aku ajak bicara tentang banyak hal, pastinya Angga dan sebaliknya dia juga begitu.

Jadi, hal ini sudah menjadi kebiasaan. Di sisi lain, kami juga mulai mengukur, ‘Cukupnya semana sih?’. Mungkin kalau ditanya ‘Anggia, Angga percaya enggak sih work life balance?’, kayanya enggak sih.

Pokoknya, kami sekarang tidak mau mengada-ngada. Takutnya malah jadi stres segalanya harus balance. Tapi pada akhirnya kami tetap berpikir untuk bisa berkata cukup ‘OK it’s enough. Kita harus pulang karena di rumah ada Rigel yang sudah menunggu’.

Tapi pernahkah membuat peraturan, misalnya hari ini tidak ada obrolan soal pekerjaan?

Saya dan Angga tidak membuat ruang itu, sih, karena obrolan soal pekerjaan adalah sesuatu yang dengan sendirinya tidak terhindari. Akan terjadi terus ruang diskusi, jadi kami harus sama-sama tahu. Dan selalu ada disclaimer di depan dengan kata-kata ‘Maaf ya harus ngomongin kerjaan sebentar’.

"Setelah kami memiliki anak, kami jadi semakin paham dan makin saling mengerti. Konflik memang tidak bisa diabaikan. Tapi yang menarik adalah, ternyata kami masih harus belajar untuk saling memahami antara satu dengan yang lain, memahami peran masing-masing bukan hanya sebagai suami istri, melainkan juga sebagai manusia yang butuh bersosialisasi."

Apa tantangan terbesar sebagai ibu yang juga bekerja?

Tantangan terbesarnya, tentunya bagi waktu. Terkadang ada perasaan bersalah, ‘Kok aku lebih banyak ke pekerjaan ya, dibandingkan ke anak aku?’. Tapi itu kan rasa-rasa yang tak terhindarkan. Rasa yang kerap hadir. Saat pulang malam dan Rigel sudah tidur, rasanya bersalah banget. Kayak ‘Duh hari ini aku enggak nemenin kamu tidur. Enggak ngobrol’.

Saya berusaha membayarnya dengan cara bangun pagi dan mengantar Rigel ke sekolah. Atau misalnya berbagi tugas, saya yang mengantar dan suami yang menjemput pulang. Kami benar-benar mengusahakan quality time bareng Rigel. Kami berusaha hadir di setiap momen istimewa Rigel, seperti saat dia mengucapkan kata pertamanya, mulai bisa berjalan, hingga momen ia bisa menyelesaikan Lego pertamanya.

Apa pesan Anggia buat para Moms yang memilih atau memang harus bekerja agar tetap bisa menjadi ibu yang bertanggung jawab?

Jangan pernah merasa bersalah karena setiap keluarga berbeda. Ketika kita harus melakukan banyak hal demi bertahan, itulah salah satu bentuk cinta. Jadi, kalau menurut saya, tidak usah terlalu banyak mendengarkan apa kata orang. Yang paling penting adalah mendengarkan apa yang kita inginkan.

Kata hati kita sering terabaikan karena kita terlalu berusaha memenuhi ekspektasi banyak orang. Padahal yang harus dipenuhi adalah kita maunya apa. Toh, kita juga tidak melakukan hal-hal yang tidak baik, kan. Kita bertahan seperti ini untuk kehidupan dan keberlangsungan hidup kita serta keluarga.

Jadi, yuk kita sebagai perempuan baik yang sudah memiliki anak atau belum berkeluarga, hargai diri kita, cintai diri kita supaya kita bisa mencintai keluarga kita dengan lebih baik.

"Jangan pernah merasa bersalah karena setiap keluarga berbeda. Ketika kita harus melakukan banyak hal demi bertahan, itulah salah satu bentuk cinta."

Apakah impian Anggia, baik dalam karier maupun kehidupan sebagai ibu yang masih ingin diwujudkan?

Sebenarnya masih banyak impian, tapi kita harus memilih dan fokus. Buat saat ini saya merasa impian terbesar saya adalah semoga semua karya kami, yang kami berikan untuk anak dan keluarga Indonesia, umurnya lebih panjang daripada kami, para kreatornya. Karena apa yang kami coba ciptakan sebenarnya kami ingin sekali memiliki ikon baru yang bisa membuat anak dan keluarga Indonesia tumbuh bersama agar nanti setelah mereka dewasa dan menjadi orang tua, mereka bisa meneruskan nilai-nilai baik dari konten yang telah kami buat saat ini.

Dan untuk di luar pekerjaan, harapan saya yang paling utama adalah memiliki usia yang tepat untuk bisa mengantarkan Rigel menggapai mimpi-mimpinya. Menjadi saksi hidup atas semua apa yang dicita-citakan Rigel dan bisa terus sehat mendampingi dia. Penting bagi kita untuk menjaga diri kita agar tetap sehat dan panjang umur sehingga bisa menemani anak bertumbuh dan melihatnya bahagia. (M&B/Wieta Rachmatia/SW/Foto & Digital Imaging: Saeffie Adjie Badas/Makeup & Hairdo: Rezy Andriati (@rezyandriati)/Stylist: Gabriela Agmassini & Putik Thalita/Wardrobe: Kala Senja (@kala__senja) & Kim & Kin (@kimandkin_jkt))