It takes a village to raise a child! Mungkin peribahasa inilah yang menginspirasi Dr. Astrid HW-Levi, Ed.D dalam mendirikan PlayHouse Academy, sebuah sekolah yang fokus memberikan pendidikan untuk anak usia dini (PAUD).
Astrid selaku Co-Founder & Principal bahkan rela menempuh studi doktoral di bidang early childhood education demi memberikan pengalaman belajar terbaik bagi murid-muridnya.
Walau dikepung segudang aktivitas dan pandemi, Astrid masih menyempatkan diri menghasilkan buku bagi para neurodivergent learners (anak berkebutuhan khusus seperti ADHD dan spektrum autisme). Semangat Astrid untuk mengabdikan diri di dunia pendidikan anak bagai tak pernah padam, Ibu 3 anak usia 16, 14, dan 6 tahun ini bahkan mengaku berencana untuk menempuh pendidikan formal lagi di bidang psikologi anak.
Apa lagi cita-cita besar seorang Dr. Astrid HW-Levi, Ed.D dalam menyediakan pendidikan terbaik untuk anak Indonesia? Bagaimana caranya menyeimbangkan waktu untuk passion dan keluarga? Yuk, simak wawancara eksklusif M&B dengan Astrid yang menjadi Mom of the Month Mei 2023!
Apa saja kesibukan Astrid saat ini?
Kesibukan utama tentu saja mengurus 3 anak yang jarak usianya lumayan berjauhan, ada yang 16, 14, dan yang bungsu usia 6 tahun. Selain mengurus anak dan keluarga, saat ini saya berkesempatan menjadi Co-Founder dan Principal untuk sebuah preschool bagi anak usia 1 sampai 6 tahun, yaitu PlayHouse Academy. Di sana saya juga mengajar. Selain itu, saya juga baru saja merampungkan studi doktoral di bidang pendidikan anak usia dini.
Punya 3 anak dengan beda usia dan karakter. Seperti apa gaya parenting Astrid ke setiap anak?
Parenting itu memang sesuatu yang kita bisa pelajari, tapi menurut saya enggak ada satu pun metode yang bisa bekerja untuk semua anak. Jadi tugas utama kita sebagai orang tua adalah mengenal karakter setiap anak.
Selain karakter, pola asuh juga perlu melihat umur mereka. Kalau umur mereka masih kecil di bawah 7 tahun, seperti Hannah anak bungsu saya, orang tua harus memberikan otoritas, memberikan arahan, karena kita yang tahu apa yang terbaik untuk mereka.
Tapi kalau untuk anak-anak saya yang sudah besar, seperti yang umur 16 dan 14 tahun, sudah enggak bisa lagi memakai cara memaksakan kehendak ke mereka. Orang tua harus menghargai pendapat dan masukan dari anak-anak yang sudah besar ini. Kalau saya, model parenting yang diterapkan sama anak-anak remaja saya adalah banyak diskusi. Kalau beda pendapat, kita dan anak harus sama-sama menghargai.
Parenting itu memang sesuatu yang kita bisa pelajari, tapi menurut saya enggak ada satu metode yang bisa bekerja untuk semua anak. Jadi tugas utama kita sebagai orang tua adalah mengenal karakter setiap anak.
Sebagai ibu dan doktor di bidang pendidikan, apakah semua keputusan terkait pendidikan anak diputuskan sendiri?
Saya bersyukur karena saya dan suami punya values yang sama untuk urusan anak-anak. Contohnya sekarang, si sulung lagi berpikir mau kuliah di mana, negara apa, jurusan apa, dan detail lainnya. Nah, itu kami sekeluarga selalu duduk bareng untuk diskusi plus minus urusan perkuliahan, sambil mencari keputusan yang terbaik.
Saya bersyukur sekali karena values kami sama, sehingga semua keputusan bisa dibuat bersama, termasuk dengan si anak juga. Suami saya sangat hands-on urusan anak, bahkan waktu anak-anak masih kecil justru suami saya yang lebih hands-on. Haha. Pendekatan saya dan suami mungkin berbeda-beda, tapi goals-nya tentu sama, yaitu ingin memberikan yang terbaik untuk anak.
Di tengah kesibukan menjalankan berbagai peran, bagaimana cara Astrid menjaga kedekatan dengan anak?
Love language saya itu: time. Jadi saya merasa penting untuk selalu ada dan hadir untuk anak-anak. Jadi, misalnya anak-anak saya bilang mau pergi ke suatu tempat dengan teman-temannya, saya coba antarkan. Paling enggak bisa punya quality time selama di perjalanan, kan.
Waktu kemarin saat pandemi saya kuliah online pun, itu saya lakukan di malam hari saat anak-anak sudah tidur. Tapi akhirnya kesibukan saya itu bisa membuat anak-anak jadi tumbuh mandiri, jika ada kesulitan di sekolah, mereka bisa cari solusinya sendiri.
Sebagai Co-Founder & Principal, apa saja tantangannya saat pertama mendirikan PlayHouse Academy?
Waktu saya dan partner saya mendirikan PlayHouse Academy, tantangan utamanya adalah tiba-tiba pandemi, karena kebetulan kami pertama kali membukanya persis di awal pandemi, yaitu Maret 2020. Semua rencana kami harus dipinggirkan, dan kami harus segera membuat rencana baru karena kita enggak tahu pandemi akan berlangsung berapa lama, kan.
Saat itu kita bingung bagaimana bisa mendapatkan murid, tapi setiap kesempatan yang ada kita coba lakukan. Contohnya, kita bikin aktivitas anak secara online yang mereka bisa beli di Tokopedia atau download sendiri untuk di-print.
Tantangan lainnya adalah lebih ke menjalani suatu hal baru. Jadi kita menggunakan kurikulum yang kita bangun sendiri, walau semua kurikulum bagus, tapi kalau hanya ada satu kurikulum yang diterapkan 100 persen itu enggak cocok di Indonesia. Jadi contohnya ada satu kurikulum, itu dibuat di Italia yang pasti culture dan ekspektasinya beda banget sama di Indonesia. Untuk menerapkan kurikulum Italia di sini 100 persen itu enggak mungkin, karena culture di Indonesia anak SD sudah harus bisa baca, tulis, dan hitung (calistung). Sedangkan kalau di Italia, anak-anak TK itu bermain saja, nanti umur 7 tahun masuk SD baru belajar calistung.Jadi tantangannya merancang dan mengimplementasikan kurikulum sambil menyesuaikan dengan tuntutan di Indonesia.
Mahir juggling dengan berbagai tugas, apa saja tips Astrid untuk bisa multitasking?
Kita harus tahu prioritas, ya. Kadang ada sesuatu yang memang harus kita korbankan, misalnya ajakan teman untuk makan atau ngopi bareng. Duh, mau banget lunch bareng teman-teman, tapi ada kalanya ada hal-hal yang harus kita dahulukan, misalnya tugas kuliah, pekerjaan, urusan anak, dan lain sebagainya. Jadi kembali lagi ke daftar prioritas, ya.
Tapi kalau memang lagi lelah, butuh me time atau ngobrol sama teman, ya sudah lakukan saja. Kalau saya pribadi, kegiatan me time favorit itu makan dan lari. Karena saya hobi makan, jadi harus rajin lari biar seimbang. Haha. Akhirnya lari jadi kebutuhan saya, setiap hari diusahakan bisa lari walau mungkin cuma bisa sebentar.
Setiap anak itu punya cara belajar dan berkomunikasi yang berbeda. Orang tua atau guru jangan menyamaratakan mereka.
Astrid juga sudah menulis buku anak. Boleh ceritakan sedikit soal buku tersebut?
Ya, saya sudah menulis satu buku berjudul Hello! yang diluncurkan Desember tahun lalu. Proses pembuatan buku ini kurang lebih 1,5 tahun, saya kerja sama dengan teman yang multitalented. Di tengah pandemi yang angka COVID-19 sedang tinggi-tingginya, teman saya ini mengajak membuat buku. Bagi saya ini tantangan baru, ya, tapi juga suatu kepuasan baru untuk bisa bercerita dan cerita itu dibawa ke keluarga para pembaca.
Saya melihat kalau makin ke sini, makin banyak anak yang punya kebutuhan khusus. Sekarang itu mereka disebutnya neurodivergent learners, jadi mereka bukan kekurangan tetapi mereka berbeda (jadi ada anak yang belajarnya harus berjalan, harus bergerak, tetapi secara auditory mereka mendengarkan). Itulah yang menjadi inspirasi saya untuk menulis buku ini, bahwa setiap anak itu punya cara belajar dan berkomunikasi yang berbeda. Orang tua atau guru jangan menyamaratakan mereka.
Apa lagi mimpi Astrid yang sedang berusaha diwujudkan?
Sebenarnya masih banyak, sih! Haha. Salah satunya saya mau mendalami bidang psikologi, karena bidang pendidikan dan early childhood education kan sudah. Setelah memahami dan terus mempelajari bidang pendidikan anak, saya ingin mengerti mental health anak, psikologi anak, menurut saya itu perlu saya dalami.
Jadi, rencananya saya mau ambil S2 lagi di bidang psikologi, agar bisa lebih mengerti para neurodivergent learners seperti yang autistik, ADHD, Asperger agar mereka bisa lebih included dalam pendidikan kita.
Punya gelar doktor bidang pendidikan anak, adakah momen Astrid kewalahan menghadapi murid?
Tetap ada, tapi saya sangat bersyukur kalau di komunitas saya bersama para pengajar di PlayHouse Academy ini kita punya cara pikir yang sama. Jadi kalau ada anak yang butuh ditangani dan kita butuh bantuan, itu kita bisa diskusi bersama dan cari cara penanganan yang terbaik dan paling sesuai untuk anak tersebut.
Jadi kalau ditanya pernah kewalahan atau enggak, pastinya pernah. Baik kewalahan menghadapi murid atau anak sendiri. Tapi, beruntungnya saya karena punya support system yang kuat, dari keluarga, rekan sesama guru, dan teman-teman juga senantiasa membantu.
Saat sedang kewalahan atau merasa down, adakah "mantra" yang diucapkan ke diri sendiri agar kembali kuat?
Bersyukur terhadap apa yang saya terima saat ini. Dengan hati yang bersyukur, kita bisa lebih menghargai segala hal yang dititipkan dan diberikan ke kita. Dengan begitu, kita bisa melakukan yang terbaik.
Dengan hati yang bersyukur, kita bisa lebih menghargai segala hal yang dititipkan dan diberikan ke kita. Dengan begitu, kita bisa melakukan yang terbaik.
Dalam 3 kata, Astrid adalah ibu yang…
Pertama, saya adalah ibu yang present (hadir) bersama dengan anak-anak. Kedua, saya ibu yang mau terbaik untuk anak-anaknya dan akan melakukan apa saja demi mereka. Ketiga, saya ibu yang selalu mendoakan masa depan anak. Artinya, kita tidak tahu masa depan mereka akan seperti apa karena manusia boleh berencana, tapi Tuhan juga yang menentukan.
Kalau kita punya hati yang yakin dan selalu percaya pada Tuhan untuk menjaga anak-anak kita, maka pasti Tuhan akan mendengar doa kita. (M&B/Tiffany Warrantyasri/SW/Foto: Saeffi Adjie Badass/Digital Imaging: Ragamanyu Herlambang/MUA: Inez Febiola (@inezfab)/Stylist: Gabriela Agmassini/Wardrobe: Impromptu, Little Imp/Lokasi: Sheraton Grand Jakarta Gandaria City Hotel)