FAMILY & LIFESTYLE

Mom of the Month: Liza Marielly Djaprie, M.Psi



Bila digambarkan, mungkin psikolog bisa dibilang sebagai sosok yang kuat dan tahan banting menghadapi masalah kehidupannya sendiri. Namun, Liza Marielly Djaprie, M.Psi., psikolog klinis dewasa, menampiknya. Bagaimanapun, psikolog juga manusia biasa. Ia tak menyangkal bahwa ada kalanya stres menghampiri.

Bukan hanya sebagai psikolog, profesi utama Liza adalah sebagai seorang ibu. Mengasuh keempat orang anaknya, Taqi Hammam Ariza (21), Muhammad Raffi Aryadhiaputra (15), Keeva Dipankara Awaza (11), dan Zene Pasifica Arieza (9) juga bukannya tanpa tantangan. Namun, bersama sang suami, ia kompak membesarkan buah hatinya dan menciptakan sebuah keluarga layaknya rumah, tempat ternyaman untuk pulang.

Lantas, bagaimana Liza menjalani profesinya sebagai psikolog, mengasuh keempat buah hatinya yang memiliki rentang usia beragam, mengajarkan konsep konsekuensi untuk mendisiplinkan anak-anaknya, hingga caranya menjaga keharmonisan keluarga, Simak obrolan eksklusif M&B bersama Liza Marielly Djaprie yang menjadi Mom of the Month Oktober 2023!

Sering membantu mengatasi masalah para pasien membuat seorang psikolog dinilai pasti bisa meng-handle dirinya sendiri. Apakah nyatanya demikian?

Kalau mau lucu-lucuan, tagline di psikologi itu “Psikologi untuk Anda, bukan untuk psikolog”, haha! Tapi, sebagai psikolog pasti tetap ada stresnya, karena stres itu kan bagian dari hidup. Nah, saat stres, biasanya saya petakan dulu. Saya akan diam dulu, take me time, lalu berpikir apa yang membuat saya sebel atau marah misalnya, jadi itu dipetakan.

Sama halnya saat saya praktik. Misalnya ada orang cerita, ya saya akan profiling masalahnya dulu. Bagi saya penting untuk membangun awareness untuk mengakui ketika kita ada masalah, kita bermasalah, kita butuh bantuan, karena kadang saya minta bantuan ke teman-teman sesama psikolog juga.

Hanya perempuan, orang gila, atau orang dengan masalah besar saja yang pergi ke psikolog. Bagaimana Anda menganggapi stigma tersebut?

Tidak juga. Sebelumnya kita harus definisikan dulu. Orang gila mungkin diasumsikan sebagai orang yang sudah tidak punya kemampuan bepikir dengan baik, halusinasi, tidak bisa jaga diri, dalam arti mungkin akan telanjang bulat jalan-jalan di jalan raya. Betul kami membantu mereka.Tapi, masalah hidup kan banyak ya, entah itu permasalahan sekolah, kuliah, atau dengan pasangan. Nah, kadang-kadang kusut, kadang enggak tahu teorinya atau tekniknya. Nah, pergi ke psikolog itu untuk hal-hal demikian. Jadi enggak mesti yang gila saja yang ke psikolog.

Tidak masalah bila mau be your authentic self. Tapi jangan lupa, kita punya tanggung jawab sosial dan empati itu tetap harus ada.

Bergaya nyentrik sebagai psikolog, adakah yang berkomentar soal penampilan Anda? Bagaimana menanggapinya?

Oh banyak! Asumsi orang, pasti seorang psikolog itu berpakaian formal atau at least rambutnya enggak warna-warni seperti saya. Tapi I love doing it. Dan buat saya, kemampuan konseling itu tidak ada hubungannya dengan, katakan, rambut warna-warni. Cuma mungkin ada beberapa klien atau pasien yang tidak bisa menerima itu, dan buat saya enggak apa-apa juga.

Ketika ada yang tidak suka atau berkomentar, kita enggak usah baper atau tersinggung, karena itu pilihan dia, agree to disagree aja, bahwa kita bisa tetap jadi diri kita, tapi orang lain belum tentu bisa menerima itu, and it’s okay.

Jadi tidak masalah bila mau be your authentic self. Karena semakin jauh kita dengan authentic self kita, itu bisa menimbulkan discrepancy yang justru malah bikin kita menderita. Tapi, jangan lupa, kita punya tanggung jawab sosial. Kita masih makhluk sosial yang berhubungan dengan orang lain, sehingga mau tidak mau tanggung jawab dan empati itu tetap harus ada.

Bagaimana keseruan mengasuh 4 anak dengan stage usia yang berbeda-beda?

Semuanya lengkap ada, dari masalah yang gede sampai masalah kecil. Tapi, yang diperlukan ketika mengasuh 4 anak dengan rentang waktu yang panjang banget itu adalah manajemen waktu, misalnya manajemen tugas-tugas yang harus dilakukan. Lalu yang pasti sebagai orang tua juga kita harus mengenal karakter masing-masing anak, dan ini harus terus-terusan belajarnya.

Buat saya sih sebenarnya bisa saja punya anak 1 tapi stresan. Tapi balik lagi ke orangnya. Selama kita yakin bisa, ya sebenarnya sih bisa. Kalau dalam kondisi saya, saya bersyukur suami selalu siap sedia untuk berganti-gantian. Kalau dia lagi enggak bisa, saya yang back up, begitu pun sebaliknya. Diobrolin aja pokoknya. Jadi diskusi dengan pasangan itu penting banget.

Family is a home, where you know where your root is. Jadi ke mana pun kita pergi, kita tahu kita pulang ke mana, karena kita tahu dan bisa merasakan akar kita ada di situ.

Anda dan suami sama-sama memiliki buah hati saat menikah, bagaimana cara membuat anak-anak bisa saling dekat satu sama lain?

Cara mendekatkan mereka saat itu sudah jelas through playing, through moments, through activities. Jadi awal-awal kami banyak membuat kegiatan yang sengaja dijadwalkan dan anak-anak semuanya harus ikut, mungkin ke kebun binatang atau staycation bareng. Jadi dibiasakan saja untuk selalu bareng-bareng.

Kami selalu mengatakan kepada anak-anak bahwa kalian memang punya sejarah berbeda-beda, tapi kalian harus saling sayang dan mendukung. Even nanti saya dan suami tidak ada, kalian harus bareng.

Nah, ini adalah proses yang kami biasakan. Termasuk juga berantem-berantem, lho. Jadi kalau mereka berantem ya kami biarkan, kalau sudah selesai kami kumpulin bareng. Baru ngajak ngobrol dan tanya apa masalahnya. Kita ajarkan pula mereka resolusi konflik. Bukannya maksa mereka untuk langsung baikan, peluk, terus masalahnya tidak dibahas. Jadi, harus benar-benar duduk bareng, selesaikan masalahnya, sampai kesepakatan itu didapat.

Bagaimana perjalanan Anda memahami love language keempat anak Anda?

Trial dan error sudah pasti. Lalu mau tidak mau kita jadi membuka mata, hati, dan telinga untuk memperhatikannya. Saya coba perhatikan dari gestur-gestur kecil mereka. Misalnya ketika kita beri mereka word of affirmation, ternyata ada anak yang lebih excited menerimanya dibanding anak yang lain. Tapi terkadang kita suka skip hal tersebut. We miss the small gesture, small cues, yang menunjukkan anak itu seperti apa.

Kalau berbicara love language, ini merupakan salah satu proses kita mengenal anak, karena sebagai orang tua kita harus mengenal karakter anak kita, dari hal yang simple saja, misalnya, apakah anak extrovert atau introvert, atau bagaimana anak mengungkapkan perasaannya, itu bisa berbeda.

Kalau anak-anak saya, love language-nya beda-beda semua. Dan sebenarnya, nanti love language itu bisa berbeda-beda lagi tergantung momennya. Saat mereka tumbuh besar, lalu memasuki masa remaja, nanti bisa beda lagi pendekatannya. Dari satu kondisi ke kondisi lain dan satu fase ke fase lainnya bisa berbeda.

Memberikan konsekuensi menjadi salah satu cara mendisiplinkan anak. Bagaimana cara mengajarkan konsep konsekuensi ini pada anak-anak Anda?

Konsep konsekuensi ini sudah diajarkan sejak mereka kecil. Anak-anak saya itu sampai pernah kami suruh jualan tisu di pinggir jalan, lho. Ada lagi contoh kasus dari anak kami yang paling kecil. Jadi ketika road trip, tab-nya pecah, lalu dia pikir ayah dan ibunya akan langsung membelikan yang baru. Tentu tidak! Kami suruh dia cuci piring dan dari setiap kegiatan itu dia bisa dapat uang 5 ribu rupiah. Kemudian dia mengeluh terlalu lama mengumpulkan uangnya, lalu kami tambah tugasnya untuk sikat kamar mandi untuk dapat uang 15 ribu. Nah, dari situ mereka belajar ada konsekuensi dari setiap tindakan.

Pun saat mereka pilih-pilih makanan. Itu tidak akan kami ikuti kemauannya. Karena kalau berkaitan dengan makanan, saya yakin bahwa makan itu kebutuhan. Nah, akan repot kalau mereka dibiasakan pilih-pilih. Kebayang kalau suatu saat mereka field trip sekolah, misalnya, itu kan masuk pada empathy dan social responsibility pada orang lain. Kalau ada kegiatan sekolah seperti itu, terus karena dibiasakan demikian, lalu mereka jadi tidak makan? Kalau tidak makan kan sakit, bikin repot tim sekolahnya. Jadi anak-anak juga harus paham bahwa memang apa yang mereka mau tidak semuanya terpenuhi.

Kilas balik sedikit, bagaimana perjalanan Anda bisa dealing with loss ketika kehilangan suami yang merupakan ayah kandung Keeva?

Masa-masa itu dilalui dengan berduka, sedih, dan nangis. Cuma I always give my self time to experience my emotion. Saya tipikal orang yang kalau lagi marah ya marah, kalau lagi sedih ya ayo nangis, tapi setelahnya saya cari jalan tengahnya mau gimana.

Waktu itu ada momen di mana “Liz, lo itu udah nangis 3 jam, lo enggak capek ya? Ayo dong kita ngapain dulu”. I like to do the self talk. Jadi kalau kita lagi sedih dan butuh nangis, ya udah nangis aja. Nah, ketika self talk itu, akhirnya saya bangkit lagi. Seiring dengan waktu, itu lebih terolah dan jadinya tidak ada penumpukan di dalam.

Ingat lagi teorinya, emotion itu energy in motion, tidak dibiarkan. Tapi, nyatanya banyak orang yang justru kalau kita bersedih minta kita berhenti menangis. Kalau seperti situasi saya yang kehilangan suami, mereka minta saya untuk ikhlas, itu semua akan saya lakukan, tapi pada saat itu kan saya tidak mungkin tidak sedih, ya.

Seiring waktu semuanya bisa terlewati. Pada saat itu saya juga dibantu teman-teman saya. Kita ketemu, nangis-nangisan, tapi nanti juga ketawa-ketawa lagi, cengengesan gitu. Jadi sebenarnya be balance aja.

Setiap orang punya sejarahnya masing-masing. Sepanjang kita saling menghormati, tidak ada masalah.

Lahir dan tumbuh besar tanpa sosok ayah kandung, bagaimana Anda tetap membuat Keeva mencintai sosok ayahnya?

Dari Keeva lahir, saya sudah terbiasa bilang pada Keeva bahwa ada ayahnya. Kami juga rutin pergi ke makam. Biasanya kunjungan ke makam itu saat ayah Keeva ulang tahun atau peringatan wafatnya. Jadi Keeva tahu. Dan ada momen-momen di mana dia rindu ayahnya, mungkin dia merasakan kehadiran almarhum. Dulu kami sering kasih liat videonya, foto ayahnya, dan kami ceritakan. Jadi any question yang dia punya soal ayahnya, silakan tanya, dan itu dibiasakan.

Bersyukurnya saya, suami saya saat ini menerima itu. Kami berdua juga sama-sama tidak saling jealous-an dan berpikir bahwa setiap orang punya sejarahnya masing-masing. Sepanjang kita saling menghormati, tidak ada masalah.

Apa kunci keharmonisan rumah tangga ala Liza?

Menurut saya, keharmonisan itu baru bisa dicapai setelah kita (pasangan) berani berantem. Ini keharmonisan yang tulus ya, bukan sekadar foto-foto bareng pasangan kelihatan harmonis. Tapi, keharmonisan yang benar itu baru bisa tercapai setelah kita saling mengenal satu sama lain secara jujur dan mendalam.

Nah, dalam proses mengenal itu kadang-kadang butuh berantem. Setelah berantem akhirnya baru ketemu tuh tengah-tengahnya seperti apa. Jadi kita enggak akan bisa ketemu di tengah itu kalau enggak berani untuk having hard conversation. Jadi tagline-nya sudah jelas, hanya mereka yang berani having hard conversation yang akan punya hubungan lebih mendalam.

Hard conversation itu seperti emosi yang mungkin susah diomongin, berupa finansial, seks, keluarga besar, atau tentang orang tua, segala macam, itu kan enggak banyak yang bisa blak-blakan ngomong. Jadi sebagai pasangan kita harus berani blak-blakan. Kalau tidak, kasarnya ya ngapain kawin, karena itu enggak akan bikin bonding dengan pasangan. Ketika bonding-nya sudah dicapai, harmonis itu bisa didapat.

Apa arti keluarga bagi Anda?

Keluarga adalah kerusuhan yang lucu dan menyenangkan, haha! No, Family is a home, where you know where your root is. Jadi ke mana pun kita pergi, kita tahu kita akan pulang ke mana, karena kita tahu dan bisa merasakan akar kita ada di situ. Nah, kalau kita sudah bisa menimbulkan perasaan itu, it’s a family.

Hal ini juga selalu saya ingatkan kepada anak-anak. Tidak apa-apa kalau mereka mau sekolah setinggi mungkin, ke mana pun, tapi I hope you know where your root is, your home is. Nah, menumbuhkan rasa itu terkadang harus dari berantem-berantem juga. Tapi, yang reliable ya, dalam arti kita bisa berkonflik, tapi anak-anak juga paham bahwa kita, orang tuanya, peduli sama mereka. Mulai dari kebutuhan sekolah, mereka lagi mau cerita apa, mereka tahu, they can go to us.

(M&B/Vonda Nabilla/SW/Foto: Sulthan Rafi/Digital Imaging: Ragamanyu Herlambang/MUA: Inez Febrianty (@inezfab)/Stylist: Gabriela Agmassini/Wardrobe: FRAI (@itsfrai))