FAMILY & LIFESTYLE

Helga Angelina: Pilih Menjadi Vegan Demi Bumi dan Sang Buah Hati



Menjadi vegetarian dan vegan bukanlah sekadar gaya hidup. Bagi Helga Angelina (30) bersama sang suami, Max Mandias (35), menghentikan konsumsi sumber makanan hewani merupakan bentuk tanggung jawab mereka terhadap tubuh, bumi, dan masa depan sang buah hati, Atlas Biru Mandias (9 bulan).

Menjaga bumi agar tetap lestari tidak hanya bisa dilakukan dengan cara mengurangi emisi karbon dari penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak bumi secara berlebihan guna pemenuhan kebutuhan sehari-hari kehidupan manusia, seperti untuk pembangkit tenaga listrik dan alat transportasi. Menurut Helga, memperpanjang usia bumi juga bisa dilakukan dengan cara mengubah pola makan dari konsumsi sumber makanan hewani ke nabati.

Lantas sejak kapan kesadaran ini muncul dalam diri Helga? Yuk kenal lebih dekat dengan Helga Angelina, co-founder dari Burgreens, salah satu restoran sukses di Indonesia yang hanya menggunakan sumber pangan nabati.

Helga adalah co-founder Burgreens Indonesia. Apa yang membedakan Burgreens dengan resto lain, terutama yang menjual jenis makanan yang sama?

Burgreens itu menunya 100 persen nabati. Dan karena kami mengusung konsep sehat, jadi kami juga menerapkan konsep gizi seimbang. Kalau diperhatikan, setengah piring di Burgreens berisi sayur. Lalu menggunakan karbohidrat kompleks sehingga tidak ada nasi putih, melainkan nasi cokelat, kentang, dan sejenisnya.Proteinnya juga sesuai dengan proporsi “isi piringku”. Jadi bisa dibilang tinggi protein di setiap meal-nya. Sebagai catatan, takaran protein per meal minimal 20 gram hingga 28 gram.

Namun, yang paling membedakan Burgreens adalah karena kami fokus di rasa. Kami ingin membuat makanan sehat yang rasanya enak bagi orang-orang yang tidak makan sehat.

Kenapa memilih bisnis ini?

Mungkin karena saya dan suami merasa terpanggil. Jadi saat kami memutuskan untuk menjadi vegan pada 2012, kami belajar bahwa manfaat pola makan nabati ini luar biasa ke diri sendiri secara kesehatan. Tapi, yang tidak kalah penting, manfaat ke bumi juga luar biasa banget.

Kita jadi bisa mengurangi emisi. Per person, saya pribadi bisa mengurangi emisi personal sebesar 75 persen dari pola makan dengan menjadi vegan. Jadi, saya merasa powerfull banget dari perubahan pola makan yang tidak begitu besar, hanya mengganti sumber protein saja.

Perlu diketahui, ada beberapa penelitian berbeda yang menyebutkan bahwa peternakan menyumbang emisi 18-51 persen dari total emisi gas dari efek rumah kaca di dunia. Dan angka tersebut masih lebih tinggi jika dibandingkan sektor transportasi.

Sayangnya, di Indonesia kebanyakan restoran vegetarian hanya fokus terhadap catering to the vegetarian yang jujur saja, sangat puas dengan rasa yang tidak terlalu enak. Nah, untuk mendapatkan efek yang maksimal, kami ingin menjual produk kepada mereka yang notabene pemakan daging, sehingga mereka lebih banyak mengonsumsi makanan nabati. Lalu muncul ide, kami ingin menjual makanan yang enak banget.

Selain Burgreens, apa saja bisnis yang Anda miliki?

Sebenarnya, spin-off dari Burgreens ada Green Rebel Foods. Green Rebel Foods merupakan start-up teknologi pangan yang membuat daging nabati dan keju nabati, dengan cita rasa Asia. Jadi kita membuat rendang, steak, crispy chicken, dan satai, tapi semuanya terbuat dari jamur dan kedelai.

Lalu ada Why Mee, yaitu instan superfood noodle. Mi yang tinggi protein, rendah kalori, dan ada superfood 20 persen. Dan karena menggunakan sayur, jadi tinggi serat.

Dalam beberapa minggu menjalani pola makan nabati, kondisi saya mulai membaik. Dan dalam 2 tahun, semua penyakitnya sudah hilang total. Semua penyakit tersebut tidak pernah kambuh.

Anda juga punya seorang bayi. Apa tidak kerepotan membagi waktu antara mengurus bisnis dan keluarga?

Sejak COVID-19 melanda, sebenarnya kita sudah kerja secara hybrid. Jadi saya mengatur 3 hari kerja di rumah, dan 3 hari kerja di kantor. Setelah memiliki anak, saya tetap menjalankan rutinitas itu. Jadi, dengan berada di rumah, saya memiliki waktu break kerja untuk menyusui.

Di sisi lain, saya juga merupakan tipe ibu yang membawa anaknya ke mana pun. Pernah ada trip launching Green Rebel ke Vietnam dan Singapura, Atlas tetap saya bawa. Jadi, anak saya akan tetap berada di hotel, dan saatnya lunch time, saya akan pulang untuk menyusui, lalu pergi lagi untuk bekerja, dan kembali lagi saat makan malam.

Saya tuh, seperti sudah ter-integrated kalau sama anak. Namun, saya harus mengatakan bahwa saya memiliki support system luar biasa, mulai dari nanny yang pintar banget, lalu suami juga sangat terlibat untuk urusan mengurus anak, dan mama mertua serta mamaku sendiri adalah tipe yang sering ke rumah. Mereka datang minimal 2 kali dalam seminggu untuk mengajak Atlas bermain. Jadi support system saya benar-benar mendukung agar saya bisa bekerja.

Anda kini menerapkan pola makan vegan. Apakah memang sejak kecil atau ada momen tertentu yang membuat Anda tertarik untuk mencoba gaya hidup ini?

Awalnya, saya adalah seorang vegetarian. Saya mulai menjadi vegetarian sejak usia 15 tahun, karena kala itu, saya mengalami autoimun. Selain itu, saya juga menderita beberapa penyakit lainnya, seperti asma, sinusitis, dan eksim yang parah banget. Lalu saya juga sudah meminum obat yang dosisnya makin lama makin tinggi, tapi tidak sembuh-sembuh.

Nah, dari situ saya membaca buku yang merekomendasikan pola makan nabati untuk penyembuhan. Saya pun mencobanya. Dalam beberapa minggu menjalani pola makan nabati, kondisi saya mulai membaik. Dan dalam 2 tahun, semua penyakitnya sudah hilang total. Semua penyakit tersebut tidak pernah kambuh. Itulah titik awal saya menjadi sangat menikmati pola makan vegetarian karena efeknya ke saya menjadi sehat banget. Jadi sembuh.

Kalau untuk menjadi vegan, keputusannya bareng suami. Jadi saat kami masih di Belanda, bagian dari rutinitas kencan kami adalah menonton dokumenter tentang lingkungan. Dari situ, kami pun merasa concern bareng dan terpanggil banget.

Kami seperti merasa, pola makan tuh, sesuatu yang jarang dibicarakan. Bagaimana memproteksi bumi dengan cara mengganti pola makan yang ternyata powerfull banget efeknya.

Bahkan disebutkan, pola makan nabati tuh, satu-satunya yang bisa kita kontrol 100%. Kalau soal transisi energi, kita harus bergantung kepada pemerintah karena tidak mungkin kita membangun PLTS sendiri, kan.

Pola makan merupakan sesuatu hal yang kita punya full control. Dari sinilah, kami merasa terpanggil untuk menjadi vegan bareng. Lalu, saat pulang ke Indonesia dari Belanda, kami berkeinginan untuk membuka restoran makanan nabati, tapi yang rasanya enak sehingga orang-orang yang suka makan daging bisa ikut menikmati.

Anda mulai menjadi vegetarian sejak usia remaja. Apakah pernah mendapat pertentangan dari orang tua?

Tentu pernah. Mama saya kebetulan adalah seorang dokter, dan awalnya beliau khawatir sekali saya akan kekurangan gizi.Di sisi lain, karena mama adalah dokter, jadi saya tahu bahwa untuk berargumen dengannya, saya harus menggunakan data. Jadi saat itu, saya membaca beberapa buku dan memberitahu kepada mama, di buku ini ada dokter ngomong seperti ini dan di buku lain ada dokter mengatakan seperti ini.

Awalnya mama tetap menentang karena takut kurang gizi tadi. Tapi, setelah dia melihat, dalam beberapa bulan kondisi saya membaik dan 2 tahun bisa sembuh total, mama jadi tidak menentang lagi dan beranggapan keputusan saya benar juga. Lalu mama pun menjadi seorang pescatarian.

Sejak saya sembuh, mama jadi pro dengan gaya hidup ini. Namun ia menjadi pescatarian dan vegetarian baru sekitar 7 tahun kemudian. Saat beliau sudah bertambah usia, dia pun mulai concern tentang jantung dan lainnya. Mama saya adalah tipe dokter yang suka membaca jurnal. Dia sudah makin banyak membaca jurnal yang merekomendasikan pola makan nabati.

Apakah gaya hidup vegan juga diterapkan kepada Atlas? Jika ya, apakah sebelumnya berkonsultasi terlebih dahulu?

Untuk Atlas, saya menerapkan pola makan plant-based. Bisa dibilang, Atlas tuh, bayi vegan. Saya hamil Atlas saat menjalankan vegan diet. Selama masa kehamilan, saya tetap berkonsultasi dengan dokter gizi karena mama khawatir saya kekurangan beberapa zat gizi.Saat ke dokter gizi, saya mengajak mama. Setelah mama mendengar penjelasan dokter, maka dia beranggapan, “OK, you did your research.”

Selama kehamilan, saya merasa sehat banget. Saya tetap bekerja. Hingga usia kandungan 8 bulan, saya masih bisa melakukan business trip ke luar negeri, 2 kali dalam sebulan. Dan saya sama sekali tidak ada keluhan. Saya sangat aktif dan berenergi. Lalu katanya kalau lagi hamil suka punya masalah kulit. Tapi saya tidak. Malah kulit saya semakin bagus. Saya yakin, ini semua karena pola makan saya.

Setelah melahirkan, berat badan saya kembali normal dalam 4 bulan. Ini tanpa diet. Saya makan sebanyak mungkin hingga kenyang. Namun, karena menerapkan pola makan nabati, saya bisa kembali ke berat badan sebelum hamil hanya dalam 4 bulan.Selain itu, proses recovery-nya juga cepat sekali. Saya sudah kembali bekerja saat Atlas baru berusia 1 bulan.

Kalau untuk Atlas, sesungguhnya saya cukup percaya diri untuk menerapkan pola makan plant-based. Hanya saja, dokter anak saya tidak pernah memiliki pasien ibu yang vegan. Jadi dia merasa concern.

Dan karena dia khawatir, saya jadi ikutan khawatir. Hingga saya memutuskan untuk berkonsultasi dengan dokter gizi anak yang memang spesialis gizi vegan. Dokter ini memiliki anak yang vegan dan sehat banget. Sejak berkonsultasi dengan dia, saya jadi lebih percaya diri menjalankan pola makan plant-based untuk Atlas.

Jadi memang harus mencari dokter yang benar-benar mengerti masalah ini. Karena tidak sedikit dokter yang menentang pola makan vegan walau sudah banyak jurnal yang membahas soal ini.


Dengan kita memiliki the right knowledge dan the right motivation, kita bisa menjawab pertanyaan orang-orang yang khawatir. Kita tidak bisa hanya menjawab, “I believe this is the best.” Kita harus memiliki pengetahuannya.

Apakah pernah mendapatkan kritikan karena memilih gaya hidup vegan, terutama untuk Atlas? Bagaimana menanggapinya?

Sesungguhnya bukan kritik, ya. Tapi, orang-orang di sekitar kami sudah tahu bahwa saya dan Max adalah tipe pasangan yang memilih untuk melakukan riset terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu. Jadi saya dan suami tidak pernah melakukan sesuatu asal saja.Orang-orang itu bukannya nyinyir tapi lebih ke penasaran, seperti “Helga, anak lo makan superfood tahini (sesame paste) itu untuk apa?”. Mereka jadi ingin mencoba gitu.

Bahkan ada yang bilang, ingin memberikan anaknya sesekali makanan vegan jadi mereka bisa terbiasa makan sayuran dan protein nabati. Teman-teman saya malah banyak yang terinspirasi.Kalau concern ya, datangnya lebih dari mama, mama mertua, dan dokter anak saya. Namun karena saya juga berkonsultasi ke dokter gizi, jadi mereka bisa menerima.

Bisa diceritakan bagaimana proses MPASI Atlas yang plant-based? Apakah Atlas pernah mengalami GTM karena ada anggapan anak picky eater tidak mau mengonsumsi sayuran?

Kalau untuk Atlas, saya memberikan buah, sayur, protein nabati, dan lemak nabati. Jadi, untuk perkenalan 2 minggu pertama, saya hanya memberikan puree sayur dan buah. Saya kombinasikan. Lalu memasuki minggu ketiga, saya mulai memberikan complete meal, yaitu ada protein, karbohidrat, sayur atau buah, lalu ada lemak juga.

Contohnya, untuk sarapan, menu MPASI-nya pisang menggunakan peanut butter. Lalu saya memberikan ASI untuk Atlas. Lanjut makan siangnya, karbohidrat dari ubi, protein dari tempe, sayurnya brokoli, sedangkan untuk lemak bisa dari VCO, santan, atau tahini. Jadi, saya tetap menerapkan konsep complete meal hanya dari sumber nabati saja.Atlas juga tidak picky eater. Saya rasa, kuncinya adalah rotasi. Jadi saya membuat variasi makanan yang berbeda setiap hari.

Menurut Anda, apa kunci sukses konsisten menjalankan gaya hidup vegetarian dan vegan?

Pertama, harus dimulai dengan strong motivation yang datang dari internal atau diri sendiri. Seperti saya, berawal dari keinginan untuk sembuh sehingga menjadi vegetarian. Lalu saya menjadi vegan karena ingin berkontribusi untuk lingkungan agar lebih lestari. Bisa dibilang, internal motivation itulah yang paling kuat.

Kedua, harus ditemani dengan pengetahuan yang benar. Saya dan Max sampai mengambil kelas nutrisi. Max sampai mengambil kelas nutrisi di Cornell University dan saya sekarang sedang mengambil kelas nutrisi di Stanford.

Namun, harus diingat, walau saya belajar nutrisi, saya bukan spesialis gizi anak. Oleh sebab itu, saya akan tetap berkonsultasi dengan dokter gizi anak yang memang mengerti. Jadi kita harus memastikan, kita mendapatkan the right knowledge.

Dengan kita memiliki the right knowledge dan the right motivation, kita bisa menjawab pertanyaan orang-orang yang khawatir, seperti dari ibu atau mertua, dan lain-lain. Kita tidak bisa hanya menjawab, “I believe this is the best.” Kita harus memiliki pengetahuannya.

Sudah memiliki Burgreens dan beberapa bisnis lainnya, apa rencana Anda selanjutnya?

Untuk saat ini, kami masih ingin menjalani bisnis yang ada saja. Untuk Burgreens, kami akan menambah dua outlet di tahun 2024 dari 8 outlet pada 2023.Sedangkan untuk Green Rebels, kami akan melakukan ekspansi ke luar negeri. Saat ini Green Rebels ada di Indonesia, Singapura, dan Vietnam. Untuk 2024, kami berencana untuk masuk ke Filipina, Malaysia, dan Australia.

Pernah masuk Forbes 30 Under 30 Asia, salah satu wanita paling berpengaruh di Indonesia. Boleh tahu, apa saja raihan lain Anda?

Bisnis saya, Burgreens, sudah berjalan selama 10 tahun. Bagi saya, mempertahankan bisnis Food & Beverages selama itu adalah sebuah achievement karena sangat tidak mudah untuk melakukannya. Kami juga berhasil survive di masa pandemi. Dan sejujurnya, ini yang paling membuat saya sangat bersyukur.

Namun kalau membicarakan achievement dari eksternal, Green Rebels mendapat ESG Awards untuk responsible consumption and production di Singapura. Burgreens juga beberapa kali mendapatkan gelar best healthy food di Indonesia.

Pesan bagi para ibu yang juga memiliki bisnis?

Kalau saya pribadi merasa lebih fulfilled jika memiliki bisnis yang bisa membantu membuat masa depan yang lebih baik untuk anak saya. Saya akan lebih senang jika saya melakukan sesuatu yang memberikan kontribusi positif untuk masyarakat.

Kalau soal membagi waktu, mungkin kita bisa membangun support system yang bisa membantu agar kita bisa bekerja. Pastinya belajar untuk bisa fokus, dalam arti fokus saat bekerja dan fokus saat sedang bersama anak.

Saya dan suami punya impian besar. Kami berdua ingin orang-orang di Indonesia menjadi flexitarian, khususnya di kota besar.

Apa yang dilakukan kalau lagi feeling guilty karena harus bekerja dan meninggalkan anak?

Tentunya, berbicara dengan suami. Lalu saya juga belajar self healing technique yang menggabungkan meditasi dan acupressure, namanya TAT. Kalau lagi parah banget feeling guilty-nya, saya akan melakukan TAT untuk menetralisasi emosi.

Menurut Anda, bagaimana pencapaian Anda hingga saat ini? Apakah sudah mendekati 100%?

Masih jauh banget untuk dibilang sudah 100%. Saya dan suami punya impian besar. Kami berdua ingin orang-orang di Indonesia menjadi flexitarian, khususnya di kota besar.

Bagi kami, flexitarian tuh, setidaknya mengonsumsi makan siang yang plant-based. Kami berharap Burgreens dan Green Rebels bisa menjadi bagian dari flexitarian journey orang-orang.

Saat ini Burgreens baru ada 8 cabang. Green Rebels di Indonesia baru ada di 1.000 titik. Sedangkan di Indonesia, ada berjuta-juta titik makanan. Jadi, saat ini saya masih seperti a drop in the ocean. Misi kami, setidaknya ada di 10 ribu titik di Indonesia, baru kami akan merasa OK. Kami benar-benar bisa mengubah kebiasaan makan orang-orang di Indonesia. (M&B/Wieta Rachmatia/SW/Foto: Gustama Pandu/Digital Imaging: Raghamanyu Herlambang/Stylist: Gabriela Agmassini/Makeup Artist: Atika Sakura (@tsakeru)/Hair Stylist: Nia (@nia_hairnbeauty)/Wardrobe Helga: Posh the Label (@poshthelabel); Wardrobe Atlas: Dear Russell (@dearrussell.id)/location: JW Marriott Jakarta (@jwmarriottjkt))