Obesitas pada anak merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi perhatian di Indonesia, yang berdampak pada anak-anak dan remaja. Data terbaru menunjukkan bahwa Indonesia saat ini menghadapi “tiga beban malnutrisi” (TBM), dengan peningkatan dramatis kasus kelebihan berat badan dan obesitas di masyarakat, termasuk di kalangan rumah tangga berpendapatan rendah.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018, ada 1 dari 5 anak usia sekolah (7,6 juta anak) dan 1 dari 7 remaja (3,3 juta remaja) di Indonesia hidup dengan kelebihan berat badan atau obesitas.
Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD, KEMD, PhD, Wakil Menteri Kesehatan, Kementerian Kesehatan mengatakan, "Menurut data Riskesdas, obesitas di Indonesia meningkat dari 10,05 persen pada tahun 2007 menjadi 21,8 persen pada tahun 2018. Obesitas pada anak juga berpotensi menyebabkan resistensi insulin dan berdampak pada penyakit diabetes dan gangguan kardiovaskular.”
“Seiring dengan Indonesia yang sedang menyiapkan Indonesia Emas 2045, kita juga harus mempersiapkan anak-anak Indonesia untuk bebas dari obesitas dengan memberikan contoh asupan makanan sehat," tambah Prof. Dante.
Sementara itu, Prof. Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI, Direktur Eksekutif di International Pediatric Association, menjelaskan, “Obesitas pada anak diukur menggunakan kurva referensi yang mencakup pengukuran berat badan dan tinggi badan. Jika kurva menunjukkan angka persentil di atas 85, itu menandakan overweight atau kelebihan berat badan. Dan jika angka persentil di atas 95, maka dapat dikatakan obesitas.”
“Ketika anak sudah bertahun-tahun mengalami obesitas maka akan timbul warna kehitaman di lehernya. Ini merupakan tanda acanthosis nigricans (AN), suatu kelainan kulit yang umum terjadi pada anak gemuk. Waspada, karena anak dengan AN memiliki kemungkinan lebih besar daripada anak yang tidak menderita kelainan yang sama untuk mengalami gangguan insulin. Kelebihan lemak di seluruh tubuh juga bisa menyebabkan anak obesitas sering sesak napas.” ungkap Prof. Aman.
Menurut Prof. Aman, data menunjukkan bahwa sekitar 15-16 persen anak yang masih menjadi siswa SD di Jakarta mengalami resistensi insulin, sementara 34 persen anak SD di Jakarta telah mengalami hipertensi. Dengan kondisi ini, risiko penyakit diabetes dan penyakit lainnya pada anak-anak hampir pasti meningkat.
Untuk penanganan anak yang telah mengalami obesitas, disarankan untuk menghindari makanan yang diproses, mengonsumsi lima kali buah dan sayur per hari, tidak duduk lebih dari dua jam sehari, berolahraga selama satu jam setiap hari, dan mengurangi konsumsi gula atau gula tambahan.
Diah Satiyani Saminarsih, Founder dan CEO Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), menekankan pentingnya membaca label kandungan gizi makanan dalam pencegahan dan penanganan obesitas pada anak.
“Memperhatikan kandungan gizi membantu kita memahami apa yang kita konsumsi. Namun, jika akses terhadap makanan yang tinggi gula, yodium tinggi, dan minuman dengan gula tinggi tidak dibatasi, akan sulit bagi orang tua untuk membentuk pola makan dan hidup yang sehat.”
“Keluarga perlu membentuk pola konsumsi yang sehat, dengan dukungan kebijakan dari pemerintah. Kemenkes telah mendorong penerapan aturan cukai pada makanan dan minuman yang mengandung pemanis untuk membantu mengurangi konsumsi gula sesuai anjuran pemerintah, serta mencegah dan mengatasi obesitas serta penyakit lainnya yang berhubungan dengan obesitas,” jelas Diah. (M&B/SW/Foto: Creativaimages/Freepik)