FAMILY & LIFESTYLE

Harper's Bazaar Indonesia Rayakan 25 Tahun Dian Sastrowardoyo Berkarya



Tanggal 30 Maret diperingati sebagai Hari Film Nasional. Peringatan ini merupakan penghargaan terhadap kontribusi film dalam membangun identitas dan kesadaran nasional, merayakan kekayaan warisan film Tanah Air, serta mendukung perkembangan industri film sebagai identitas budaya bangsa.

Perayaan ini tidak hanya menghargai prestasi industri film Tanah Air, tapi juga mempromosikan keberagaman budaya dan cerita-cerita yang memperkaya warisan seni visual Indonesia. Melalui Hari Film Nasional, masyarakat diingatkan akan kekuatan film sebagai alat untuk menginspirasi, mengedukasi, serta menyatukan berbagai lapisan masyarakat dalam cinta mereka terhadap film Indonesia.

Dalam rangka menyambut Hari Film Nasional, Harper’s Bazaar Indonesia mendedikasikan konten utamanya bagi industri sinema Indonesia. Kali ini Harper’s Bazaar Indonesia memberi tribute kepada sosok yang sudah 25 tahun berkarya di dunia film, Dian Sastrowardoyo. Berbagai angle cerita dan sisi-sisi menarik tentang Dian tersaji spesial di majalah edisi Maret ini.

“Rasanya pantas Bazaar merayakan pencapaian Dian, bukan saja karena prestasinya di industri perfilman Indonesia, tetapi juga karena dedikasi, visi, dan sepak terjangnya yang tak pernah habis sampai saat ini,” papar Ria Lirungan, Editor in Chief Harper’s Bazaar Indonesia.

Tak hanya menghadirkan edisi khusus, Harper’s Bazaar Indonesia juga mengadakan acara inspirasional yang dihadiri ratusan tamu dari berbagai kalangan, termasuk sineas-sineas yang memiliki arti penting bagi Dian Sastrowardoyo, pada 22 Maret 2024 lalu. Berlokasi di La Moda, Plaza Indonesia, acara ini diisi dengan buka puasa yang hangat dan sharing moment bersama Dian Sastrowardoyo.

Beda film, beda pembelajarannya

Nama Dian Sastro memang tidak bisa dilepaskan dari sejarah perfilman Indonesia Modern. Diawali dengan film pertamanya, Bintang Jatuh, garapan sutradara Rudi Soedjarwo di tahun 2000, publik menyaksikan perjalanan kariernya di layar lebar dan layar kaca.

Wajahnya merupakan kesegaran dan masa depan yang menjanjikan bagi industri film Indonesia ketika ia kemudian membintangi Pasir Berbisik yang disutradarai oleh Garin Nugroho di tahun 2001, kemudian diikuti dengan Ada Apa Dengan Cinta? yang diproduksi oleh Miles dan disutradarai oleh Rudi Soedjarwo di tahun 2002.

Setelah lebih dari 20 film, Dian mengungkap bahwa setiap produksi film memberinya pembelajaran yang berbeda-beda. Setiap karya meninggalkan kesan tersendiri bagi perkembangan karakter pribadinya serta memberi inspirasi untuk melakukan sesuatu yang lebih besar lagi.

Saat film Pasir Berbisik dibuat, usianya masih sangat muda saat itu, 18 tahun. Dari proses pembuatan film ini ia mengaku belajar banyak tentang bagaimana menjadi aktor dan dan melihat bahwa proses pembuatan film butuh kerja keras dan dedikasi. Menyusul kemudian film Ada Apa Dengan Cinta? (AADC). Bisa dibilang film ini menjadi tonggak menanjaknya popularitas Dian Sastrowardoyo dan membuat kehidupannya berubah total.

“Booming-nya film AADC membuat hidup saya berubah total. Saya mulai menyadari bahwa hidup saya sudah menjadi ‘milik’ publik. Kami semua yang terlibat di film ini, mulai dari pemain hingga produser, sebenarnya tidak begitu siap menghadapi kesuksesan sebesar itu. Saya akhirnya menyadari bahwa menjadi public persona adalah pelajaran yang tidak mudah. Saya bersyukur bisa melewati semuanya dengan baik-baik saja,” lanjut Dian.

Sementara film Kartini justru menginspirasinya untuk mewujudkan cita-cita besar dalam hidupnya, yaitu mendirikan Yayasan Dian Sastrowardoyo dan program Beasiswa Dian. “Lewat film Kartini saya jadi belajar tentang my own goal. Waktu masuk ke dunia film dan entertainment sebenarnya tujuan saya adalah untuk sekolah. Terinspirasi dari kisah hidup dan karakter Kartini, saya jadi berpikir, mungkin bukan jalan saya untuk punya sekolah, tapi justru membuka jalan bagi orang-orang lain untuk bisa sekolah,” ujar Dian.

Di balik kesuksesannya sebagai aktor Indonesia, Dian juga merupakan seorang ibu bagi dua orang anaknya. Tak dimungkiri, menjadi ibu bekerja juga memiliki tantangan tersendiri, termasuk soal life work balance.

“Aku rasa memang challenging, tapi dengan support system yang mumpuni, itu bisa diwujudkan. Tapi, memang kita sangat perlu bantuan dari segala pihak. Kita enggak bisa ngerjain semuanya sendirian. Aku mungkin salah satu yang beruntung, I have my mother, I have my husband yang juga sangat support. Sekarang anak-anakku juga sudah berubah jadi support system juga. Jadi, kalau misalnya temen-teman mau tetap bekerja sambil menjadi ibu, ciptakan atau bangunlah team of support system,” jelas Dian. (M&B/Vonda Nabilla/SW/Foto: Gustama Pandu/Harper’s Bazaar Indonesia)