Happy! Itulah yang dirasakan seorang Ufa Sofura (34) ketika menari. Saking jatuh cintanya dengan dunia tari, wanita kelahiran Jakarta ini rela mengikuti berbagai kompetisi dan kontes hingga menyisihkan uangnya sendiri untuk bisa mengembangkan skill serta mengejar impiannya sebagai penari profesional.
Jauh sebelum dirinya menjadi koreografer dan guru tari, perjuangannya untuk membangun citra dan derajat seniman tari juga tak mudah. Kini, dengan adanya media sosial, Ufa senang seni tari modern maupun kreasi sudah makin berkembang dan dilirik.
Menyandang status baru sebagai ibu dari Alfaro Prajna Utama (9 bulan), Ufa tak lantas meninggalkan kecintaannya pada seni tari. Membuka kelas babywearing dance menjadi salah satu cara yang dilakukannya untuk mendukung sesama ibu dalam menapaki babak baru kehidupan.
Yuk, kenal lebih dekat dengan Ufa Sofura, mulai dari ceritanya menghadapi tantangan berkarier sebagai penari, pengalamannya mengajar tari lintas usia, bagaimana ia menjalani hari-harinya mengasuh Alfaro, hingga rahasia sukses mempertahankan kariernya. Semuanya tersaji eksklusif untuk pembaca M&B berikut ini.
Sejak kapan suka menari?
Aku mulai suka menari sejak TK, tapi mulai concern-nya saat kelas 2 SMA. Jadi dulu aku suka menemani temanku latihan nari, terus aku coba nari-nari sendiri, sampai akhirnya aku ke-gap sama mereka, disuruh dance. Dari situ, lama-lama ternyata menyenangkan ya, menari ini dan aku enggak merasa bosen selama ikut nari. Sampai sekarang deh, keterusan dan jadi profesi.
Bagaimana ceritanya bisa dapat beasiswa dance camp ke Jerman hingga melanjutkan belajar menari ke Jepang dan Amerika?
Tahun 2014 aku berhasil dapat beasiswa untuk ikut dance camp di Jerman. Ini berawal karena aku ikut sebuah passion competition yang diadakan salah satu brand wanita. Waktu itu aku mengirimkan dance video dengan konsep wanita masa kini sebagai karyanya. Enggak disangka, aku terpilih masuk tiga besar, bersama filmmaker dan fashion designer.
Nah, salah satu hadiahnya, kita bisa melanjutkan pendidikan sesuai minat dan bakat kita. Kebetulan banget saat itu sedang hits sekali dance camp di Jerman, jadi aku propose ke sana. Mengikuti dance camp di Jerman ini benar-benar jadi momen eye opening buat aku, karena saat itu semua penari dari berbagai negara berkumpul. Dan aku pikir, orang Indonesia juga bisa kok, maju dan bersaing sebagai penari.
Bertemu dengan orang-orang yang begitu passionate sama tari membuatku ingin invest waktu dan nabung untuk lanjut belajar menari ke Jepang dan Amerika. Agak gambling sebenarnya keputusan ini, apalagi aku harus melepaskan pekerjaanku sebagai penari profesional pada saat itu. Tapi, entah bagaimana semua prosesnya dimudahkan. Proses apply visa gampang, aku dapat tiket pesawat murah, dan kebetulan sekali program di Amerika saat itu sedang dibuka. Dari situ, tidak disangka juga malah membuka pintu kesempatan-kesempatan lain untukku.
Bagaimana tanggapan orang tua atas pilihan Ufa yang ingin fokus menjadi penari?
Orang tua sempat mengkhawatirkan apa yang kupilih. Jujur, sebenarnya waktu SMA sampai kuliah aku agak menyembunyikan kegiatanku ini. Tidak patut dicontoh sih, cuma saat itu pertimbanganku adalah aku akan melakukan hal yang aku suka tanpa meninggalkan akademisku.
Jadi aku berusaha membuktikan ke orang tua bahwa kegiatan yang aku jalani tidak akan mengganggu kuliahku. Permintaan orang tua agar aku kuliah di fakultas komunikasi (advertising) juga sudah aku turuti. Meski kesannya berbeda sekali, menurutku apa yang sudah dipelajari saat kuliah dengan profesiku saat ini masih ada korelasinya. Advertising kan bisa masuk ke dunia industri, entertainment, dan media.
Apa yang dirasakan seorang Ufa Sofura saat sedang menari?
Yang aku rasakan saat menari pasti happy, ya. Bisa dibilang menari itu seperti meditasi bagiku karena membuat aku relese, relief. Jadi ini tools untuk meredakan stres juga. Kata suamiku, kalau aku lagi nge-dance seperti ada Ufa kedua. Ibaratnya aku punya dunia sendiri, katanya.
Menari itu bikin aku happy. Ini juga menjadi sarana untuk meredakan stres.
Pernah merasa insecure saat menggeluti profesi sebagai penari?
Pasti ada rasa insecure. Apalagi dulu dance itu, terutama modern dance, stigmanya masih “kecil” banget, dianggapnya cuma seksi-seksiaan aja. Kalau misalnya dijadikan profesi mungkin orang bilangnya, “Mau makan dari mana kalo jadi penari?”
Ini mungkin karena dance tidak semegah sekarang dengan adanya media sosial, jadi penari suka dipandang sebelah mata, derajatnya rendah banget gitu. Tapi karena saking cintanya sama dance, rasa insecure itu lama-lama hilang. Jadi aku hiraukan aja apa kata orang, sambil konsisten mengembangkan skill.
Apa tantangan yang Ufa hadapi selama berkarier sebagai penari?
Pertama soal mengubah image tentunya. Bagaimana aku bisa menjadikan dancer itu sebagai profesi dan membuatnya setara dengan profesi lain. Dulu, setelah kembali dari Jerman dan Amerika, aku sampai ikut kontes Abang None, Putra-Putri Batik, untuk mengenalkan tari, karena aku yakin kalau tari itu juga bisa masuk ke sektor pariwisata, baik tari modern maupun tradisional. Tantangan lainnya mungkin untuk meyakinkan bahwa seniman itu akademisnya juga enggak rendah, banyak yang pintar dan hebat. Jadi kami jadi penari itu bukan karena tidak pintar.
Bagaimana pengalaman mengajar tari lintas usia?
Aku mengajar tari untuk semua usia, mulai dari kelas baby hip hop yaitu anak usia 3-5 tahun. Lucu banget anak-anak ini, mereka masih bisa diarahkan. Dikasih lagu apa pun mereka joget. Yang cukup menantang justru mengajar anak usia 7 tahun ke atas. Mereka cepat bosan dan sudah mulai bikin gerakan tari sendiri dan pilih-pilih lagu. Sementara yang paling mudah mungkin mengajar anak usia SMP dan SMA, mereka pasti mengikuti arahan. Aku juga mengajar tari untuk lansia. Cukup menantang, karena seperti mengajar anak-anak ya, banyak istirahatnya, haha. Tapi serulah dan harus sabar tentunya.
Sudah lama berkecimpung di dunia tari, mengapa Ufa belum buka studio atau sanggar tari sendiri?
Sampai saat ini aku belum kepikiran untuk membuat studio atau sanggar tari sendiri. Aku masih ingin belajar dan mengembangkan skill menariku. Karena kalau sudah punya studio atau sanggar tari sendiri, pasti akan fokus juga memikirkan bisnisnya. Aku takut waktuku untuk mengikuti perkembangan seni dan mengembangkan skill jadi terbatas.
Jadi untuk saat ini aku lebih memilih mengajar di berbagai studio tari saja. Aku juga lebih suka sharing ke berbagai studio atau komunitas tari, jadi tidak terpaku di satu tempat saja. Tapi, suatu saat, bila aku merasa sudah cukup ilmunya, Alfaro juga sudah lebih besar, mungkin aku bisa buka studio atau sanggar tari sendiri.
Bagaimana pengalaman kehamilan pertama?
Seru! Saat hamil aku masih latihan dan mengajar dance, karena kalau tidak bergerak, malah mual. Karena aku ingin melahirkan dengan waras, sehat, happy dan enggak trauma, aku melakukan berbagai persiapan. Aku tetap strength training, masih deadlift, tapi didampingi certified prenatal coach dan sudah dapat lampu hijau dari dokter. Karena katanya kalau kita biasa aktif, ketika hamil jangan jadi malas olahraga. Aku juga ikut berbagai kelas prenatal, jadi aku tahu anatomi tubuh perempuan saat melahirkan seperti apa, bagaimana cara mengejan, dan lain-lain. Selain itu aku juga ikut senam hamil dengan suamiku.
Segala persiapan yang aku lakukan itu benar-benar membantu proses persalinanku. Meski memang ada momen di mana rasanya aku kayak mau marah, karena melahirkan ternyata sesakit ini, tapi memang kuncinya siap mental. Syukurnya, persalinanku lumayan cepat, hanya dua kali mengejan, bayinya lahir. Tapi, melahirkan itu bukan semata perjuanganku saja, anak pun berjuang, begitu pun dengan suami, dokter, suster dan bidan. Ini perjuangan bersama.
Melahirkan itu bukan semata perjuangan ibu saja. Anak pun berjuang, begitu pun dengan suami, dokter, suster dan bidan. Ini perjuangan bersama.
Bagaimana pengalaman mengasuh Alfaro?
Aku masih hands on banget mengasuh Alfaro. Kami punya suster, tapi untuk menjaga Alfaro saja, terutama kalau aku sedang bekerja. Sejauh ini aku juga selalu membawa Alfaro kemana-mana, baik saat latihan dan ngajar dance. Jujur, menjadi ibu banyak khawatirnya. Kalau Alfaro batuk atau pilek sedikit, aku suka panik sendiri. Karena kan kita tidak tahu penyebabnya, sementara kita juga tidak bisa kasih sembarang obat.
Sekarang aku lagi seru-serunya melihat perkembangan Alfaro. Dia sudah bisa berdiri dan merangkak, mulai bubling-bubling. Saat ini Alfaro juga sedang mencoba berbagai menu MPASI, sambil screening alergi apa, kan. Tapi, sejauh ini untungnya tidak ada alergi apa-apa.
Ada kendala saat menyusui Alfaro?
Aku sempat mengalami milk blister dan clogged. Ternyata penyebabnya karena aku pakai sport bra terlalu kencang. Rasanya sakit banget, aku sampai nangis. Kemudian aku konsultasi ke dokter laktasi dan dipijat sama bidan. Saat itu aku disarankan untuk naik satu ukuran branya.
Selama menyusui, aku juga lumayan suka overthinking, jadi suka khawatir kalau ASI-ku enggak cukup untuk Alfaro, terus jadinya stres sendiri. Tapi suami selalu mengingatkan untuk menghindari stres supaya ASI-nya tidak seret. Karena tidak mau bergantung dengan ASI booster, aku berusaha melakukan hal yang bikin happy, entah itu nge-dance, main sama Alfaro, atau makan cokelat aja, hehe.
Sepenting apa postnatal workout buat Ufa?
Buat aku postnatal workout itu bukan cuma sekadar untuk mengembalikan bentuk tubuh, tapi lebih ke mengembalikan fungsi badan kita. Misalnya, setelah melahirkan itu kan core perut ibu melemah, jadi fungsinya ikut menurun. Kalau di aku itu terasa sekali, yang tadinya sebelum hamil aku bisa melakukan plank selama 3 menit, setelah melahirkan plank selama 20 detik saja, aku sudah gemeteran. Jadi penting sekali untuk tetap olahraga setelah melahirkan supaya stamina balik lagi dan metabolisme tubuh juga makin baik.
Kebetulan kan aku suka menggendong, dan enggak menutup kemungkinan area punggung, lengan, atau pergelangan tangan tuh, sakit karena kebiasaan menggendong ini. Dengan rajin workout tentu ini mendukung kekuatan tubuh kita juga, kan.
Babywearing dance itu bukan sekedar menari saja, tapi juga menjadi media untuk saling support sesama ibu.
Bagaimana awalnya membuka kelas babywearing dance?
Awalnya karena aku suka sekali menggendong. Dengan menggendong aku jadi merasa punya bonding tersendiri dengan anakku. Lalu aku ngobrol sama mbak Golda, certified babywearing consultant, kayaknya lucu nih kalau kita bikin babywearing dance. Akhirnya aku pelajari dulu konsep menggendongnya, lalu kami coba padukan edukasinya, hingga akhirnya jalanlah kelas ini. Jadi sambil nge-dance, kita juga belajar cara menggendong yang aman. Surprisingly, saat aku mengajar babywearing dance ini, hampir 90% bayinya tidur. Jadi selain bikin ibunya happy, anaknya juga bisa nyaman tidur.
Saat ini, kelasnya masih small group saja biar lebih intimate. Dengan begitu, ibu-ibu yang ikut juga bisa lebih bonding dan merasa punya teman. Jadi menurutku kelas ini bukan sekadar menari saja, tapi lebih menjadi media untuk mendukung sesama ibu dan bayinya. Karena ini refreshing juga untuk mereka dan bisa have fun bareng.
Kunci menjadi penari yang sukses ala Ufa Sofura?
Kuncinya konsisten dan jangan pernah puas. Kalau kita sudah terlalu puas, kita akan stuck, sedangkan seni itu, baik tari, musik, maupun teater, selalu berkembang. Apalagi dibantu dengan adanya era digital yang luar biasa, jadi makin berkembang lagi. Jujur, terkadang aku suka merasa ketinggalan dengan anak-anak zaman sekarang, misalnya para Gen Z. Tapi karena aku masih mengajar murid yang muda-muda, termasuk Gen Z, jadi aku juga banyak belajar dari mereka. Jadi kita harus open minded juga, karena kalau kita hanya stuck di generasi kita, ya enggak bisa maju.
(M&B/Vonda Nabilla/SW/Foto: Gustama Pandu/Digital Imaging: Erlangga Namaskoro/Stylist: Gabriela Agmassini/MUA: Anggidam (@by.anggidam)/Hairdo: Pia (@piahairstylist)/Wardrobe: ANQA (@anqaofficial), LUULAMOON (@luulamoon)/Location: InterContinental Jakarta Pondok Indah Hotel (@intercontinentaljakarta))