Selama beberapa tahun terakhir, sebagai emak-emak rempong dengan seabreg kesibukan, tanpa disadari Natal menjadi rutinitas belaka bagi saya, yang sekedar disambut dengan perencanaan dingin untuk mengatur jadwal antara membeli kado, acara kumpul keluarga, dan ke gereja. Bahkan tahun lalu saya tidak memasang pohon Natal di rumah, karena tidak sempat membeli dan merasa tidak perlu. Kebetulan anak saya masih sangat kecil, jadi kita pikir, toh dia tidak akan menyadarinya. Foto saja di pohon Natal di Mall. Sama saja kan, pikir saya waktu itu.
Rasa senang dan deg-degan yang dulu dialami masa kecil saat menyambut Natal, betapa bahagianya melihat pohon Natal dan mendengarkan Christmas carols, berdebar menunggu kado dari Sinterklas, dan senangnya berkumpul ramai-ramai mendengarkan cerita kelahiran Yesus, semua itu tidak pernah lagi saya rasakan dan alami. Saya bahkan sampai tak ingat seperti apa rasanya. Saya terima ini sebagai bagian dari kehidupan, konsekuensi hidup sebagai manusia dewasa bertanggung jawab yang tidak bisa lagi berkutat pada hal-hal “ajaib”. Tidak ada waktu untuk hal-hal seperti itu, banyak sekali yang harus diurus dan dilakukan.
Namun, beberapa minggu yang lalu, saat perjalanan di mobil saya bernyanyi Jingle Bells dengan lantang dan bersemangat bersama anak saya Lilou (2,5), lengkap dengan gaya dan senyum lebar dan bahkan teriakan kecil di sela-sela lagu, yang semuanya saya lakukan karena rasa senang yang terasa meledak-ledak dari dalam diri. Saya sampai membalik badan dari kursi depan dan saling tunjuk-tunjukkan dengannya dan tertawa lepas bersama. Bahagia sekali.
Di momen tersebut, saya menyadari. Rasa bahagia luar biasa, girang tulus ala anak kecil yang zaman baheula selalu saya rasakan tiap menyanyikan lagu-lagu Natal, saya rasakan kembali, di sekujur jiwa dan badan. I felt the magic again. Dan sumbernya adalah anak saya. Dia begitu penuh dengan semangat dan rasa senang, saya tidak bisa menghindar untuk tidak tertular. Melihat mereka begitu senang saat mengantri bertemu Sinterklas dan melihat binar di matanya saat kita berkata akan ada kado dari Santa untuknya. Bagaimana dia bersandar manja sambil mendengarkan dengan kagum kisah orang Majus mengikuti bintang terang ke Betlehem. Bahkan sekedar diberikan kue berbentuk gingerbread man, napasnya sampai tertahan dan senyumnya terkembang lebar. Lalu melihat wajahnya menyaksikan pohon Natal yang akhirnya muncul lagi di ruang keluarga kami, dengan lampu berkelip dan dekorasi yang baru dipasang, sambil terpaku dia berkata seakan tersihir, “Bagus banget Mama….” Saya rasakan apa yang dia rasakan.
Rasa bahagia ini, rasa percaya kembali akan semua keajaiban Natal yang saya dapatkan darinya, rasanya sungguh menyenangkan. Membuat saya menjadi lebih bersyukur dan berterimakasih untuk semua anugerah kecil yang bisa kami nikmati bersama.
Dari semua kado Natal yang akan saya terima tahun ini, nampaknya kado Natal dari anak saya lah yang akan memberikan dampak terbesar bagi saya. Hadiah itu adalah kemampuan untuk menghargai kembali semua hal indah di sekitar saya. Untuk bisa memandang segala sesuatu seakan kita memandangnya pertama kali. Untuk merasa senang secara total dan tulus, menikmati momen tanpa berpikir mengenai hal-hal lain. Untuk percaya kembali pada kekuatan dan keajaiban cinta. Cinta pada Natal, cinta pada Tuhan, cinta pada keluarga. Cinta pada sesama.
Saya terima kado indah ini dengan hati penuh syukur, dan saya akan biarkan anak saya untuk terus menjadi pemandu saya, untuk mengingatkan saya akan hal-hal paling penting dalam hidup ini. Akan tiba masanya suatu hari nanti, anak saya pun tidak akan memandang Sinterklas dan pohon Natal dengan cara yang sama seperti sekarang. Tapi itu masih nanti. Sekarang, puas-puasin dulu, deh. Jangan sampai saya melewatkan masa-masa “magical” ini.
Selamat Natal bagi Moms yang merayakan, semoga damai dan keajaiban Natal senantiasa menyertai anda dan keluarga tercinta.
(CiscaBecker/DT/dok. Pribadi)