Ketika kita mengenal seseorang berprestasi dalam sebuah bidang, sudah pasti rasa kagum dan terpesona seringkali menjadi bagian dari perasaan campur aduk yang ada dalam hati maupun pikiran kita. Misalnya: Hebat sekali pengusaha tersebut, bisa sesukses itu.
Dan selanjutnya sebagai seorang ibu, kita pun langsung berpikir, bagaimana ya, anak saya nanti kelak bisa menjadi orang sehebat itu. Setidaknya itu yang menjadi pemikiran saya ketika saya bertemu dengan orang-orang hebat di bidangnya masing-masing.
Untuk menjadi orang hebat, semua orang tahu bukanlah sebuah perjalanan yang mudah. Kita mungkin sudah mengetahuinya. Namun, sewaktu kita menjalani, seringkali kita putus asa dan cepat menyerah ketika tantangan datang. Maunya sih, bisa langsung merasakan hasil. Tapi kita semua tahu kenyataanya adalah No Pain No gain.
Begitu juga ketika kita berhadapan dengan anak-anak kita. Sebagai orangtua, siapa yang tidak mau memiliki anak dengan prestasi, masa depan yang cerah, serta mentalitas dan juga karakter yang baik. Menuju ke situnya yang “deg-degan” bagi para orangtua. Kita tahu sebagai orangtua, kita harus menjadi orangtua yang bijak di mana ada kalanya kita bisa menjadi orang yang paling seru dan manis, namun di satu sisi bisa terus menjadi mentor, memotivasi sekaligus memberikan disiplin yang diperlukan agar karakter baik bisa terbentuk.
Tapi, kalau sudah langsung berhadapan dengan anak, anak saya contohnya, banyak sekali kreativitas alias akalnya, apalagi kalau dia ingin keluar dari latihan (tennis contohnya) yang sudah menjadi rutinitasnya. Terkadang saya yang mengalah walaupun saya tahu bahwa saya harus “tega” dan membiarkan dia menangis agar dia bisa belajar disiplin, dan menuai hasilnya.
Dia bukan tidak suka karena setiap latihan selesai, dia sangat puas jika pukulan-pukulannya baik. Tapi terkadang dia takut tidak menjadi nomor 1 di antara teman-temanya dan akhirnya memilih mundur dan mogok berpartisipasi. Saya jujur terkadang merasa putus asa. Di satu sisi saya harus mendisiplinkan dia, bahwa tidak akan ada prestasi jika tidak ada kerja keras dan konsistensi. Tapi saya juga tidak mau menjadi orangtua ambisius yang memaksakan anaknya tanpa pengertian.
Beruntung saya bertemu dengan seorang teman dan mentor di mana topik perbincangannya adalah mengenai disiplin anak. Ada satu kalimat yang merupakan sebuah pesan penting untuk saya catat: You can watch your kids cry now, or you will be the one crying when they grow up, have a strong heart and be consistent.
Intinya, kita sebagai orangtua terkadang memang harus “tega” dalam hal mendisiplinkan anak apalagi kalau kita tahu apa yang sedang kita ajarkan bagi mereka merupakan sebuah pelajaran hidup yang bisa membentuk kepribadiannya untuk masa depannya. Lebih baik kita melihat mereka menangis karena memang mungkin tidak nyaman bagi comfort zone mereka yaitu mengalah dan mudur dari tantangan, dibandingkan di kemudian hari, kita orangtua yang menangis, karena gagal mengajarkan nilai hidup yang benar karena waktunya sudah terlambat.
Dengan titipan pesan dari teman saya tersebut, setidaknya memberikan saya kemantapan bahwa terkadang mungkin saya terkesan “maksa” dan dianggap orang yang tidak “asyik” oleh anak saya. Dengan konsistensi menerapkan kematangan dan pengertian, setidaknya mudah-mudahan kelak dia mengerti bahwa apa yang saya sedang pupuk dalam dirinya adalah sebuah nilai hidup yang berharga.
Habit is the child of discipline.
Discipline is doing something you hate to create something you love.
Champions become champions by maintaining a discipline until it becomes a habit.