FAMILY & LIFESTYLE

Kesulitan dan Tantangan Bagi Penderita Penyakit Langka



Tanggal 28 Februari diperingati sebagai hari Penyakit Langka (Rare Disease Day), dan Indonesia sudah turut memperingatinya sejak 2016. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai penyakit langka dan dampak bagi para penderitanya.

Berdasarkan European Organization for Rare Disease (EURODIS), penyakit langka adalah suatu penyakit yang jumlah penderitanya sangat sedikit apabila dibandingkan dengan jumlah populasi pada umumnya. 80% penyebab dari penyakit langka ini adalah kelainan genetik, dan 75% dari penderita penyakit langka ini adalah anak-anak, dan 30% anak dengan penyakit langka ini meninggal sebelum mencapai 5 tahun.

Penyakit langka ini memang belum semuanya dapat disembuhkan, tetapi hal ini bukan berarti pasien tidak dapat memperbaiki kualitas kehidupan dan memperpanjang harapan hidup mereka. “5% penyakit langka masih bisa ditangani dan ada obatnya,” ujar Dr. dr. Damayanti R. Sjarif SpA(K), saat ditemui di acara Rare Disease Day 2018, di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (28/2/2018).

Meski demikian, penderita penyakit langka juga menghadapi kesulitan dan tantangan untuk salah satunya adalah kurangnya akses untuk mendapatkan diagnosis yang benar. 40% dari penderita penyakit langka pernah salah diagnosis, setidaknya sekali. Hal ini dibenarkan pula oleh dr. Damayanti, dan ia menyatakan Indonesia sementara harus menghubungi pihak luar negri, salah satunya India untuk mendapatkan akses diagnosis.

Kesulitan lainnya, Indonesia juga tidak memiliki obat untuk penderita rare disease. Obat bagi para penderita rare disease ini dinamakan orphan drugs dan orphan food, dimana obat ini adalah produk medis yang digunakan untuk diagnosis, pencegahan, dan perawatan penyakit langka. Obat atau makanan ini sulit untuk dipasarkan karena hanya ditujukan untuk sejumlah kecil pasien yang menderita penyakt langka. “obat kita harus impor dari luar negri, dan tentu harus melalui BEA CUKAI, melalui macam-macam, dan harganya mahal sekali,” tambahnya.

Mahalnya harga obat berupa susu untuk penderita rare disease ini mencapai 7,5 juta untuk satu kaleng, dan tidak semua keluarga penderita rare disease mampu untuk membelinya setiap bulan. Karena jika dibandingkan perolehan standar gaji yang diterima masyarakat Indonesia harga susu lebih mahal daripada gaji yang di dapat.

Jika dibandingkan dengan negara Asia lain, misalnya Malaysia dan Taiwan, susu, semua obat-obatan untuk penderita rare disease ini ditanggung oleh pemerintahnya, sedangkan di Vietnam pemerintahnya juga bekerja sama dengan perusahaan pembuat obat untuk menekan harga obat agar bisa lebih murah. Maka, Dr. dr. Damayanti R. Sjarif SpA(K) meminta pemerintah Indonesia agar obat ini bisa masuk dalam tanggungan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), “Toh anak-anak (penderita) tidak banyak, tidak seperti penyakit kanker yang banyak sekali penderitanya. Untuk penderita rare disease susu adalah hidup mereka” tegasnya. (Vonda Nabilla/TW/Dok.Freepik)