BABY

Apakah Bayi Perempuan Perlu Disunat?



Indonesia merupakan salah satu negara yang masih melakukan adat tradisional yang diberikan turun temurun. Salah satunya adalah sunat, yang bukan diperuntukan untuk anak laki-laki tetapi bayi perempuan. Namun secara medis hal tersebut tidak dianjurkan untuk dilakukan.

Sunat pada anak laki-laki memang diperuntukan untuk kesehatan area genitalnya. Tindakan ini dilakukan dengan membuang kulit penutup depan dari glans penis, atau dikenal juga dengan nama prepusium.

Menurut Dr. Rosalina Dewi Roeslani, Sp.A(K) dari IDAI, tujuan melakukan sunat pada anak laki-laki adalah menjaga agar kemaluan bersih dari tumpukan lemak yang terdapat di lipatan kulit prepusium (dikenal sebagai smegma). Selain itu, juga dapat menurunkan risiko infeksi saluran kemih, infeksi pada penis, maupun risiko mengalami penyakit menular seksual pada usia dewasa.

Hal ini pun berbeda dengan sunat pada bayi perempuan. Tindakan tersebut biasanya dilakukan dengan memotong atau melukai sedikit kulit penutup (prepusium) klitoris. Namun fakta secara anatomis, tidak semua anak perempuan mempunyai prepusium yang menutupi klitoris maupun saluran kemih.

Dari penjelasan tersebut, terbukti bahwa sebenarnya tidak ada rekomendasi medis mengenai tindakan sunat pada bayi perempuan. Bahkan hal ini cenderung dilarang karena dapat mengakitkan pendarahan akibat kesalahan kecil saja.

Untuk beberapa negara lain sunat pada bayi perempuan disebut sebagai Mutilasi Genital Perempuan (Female Genital Cutting/Mutilation – FMG). Ada beberapa tipe FMG sesuai dengan klasifikasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu mulai dari melukai, menusuk, atau menggores klitoris atau prepusium, membuang sebagian atau seluruh klitoris, membuang seluruh klitoris dan sebagian atau seluruh labia minor.

Hal terburuk lainnya, FMG ini sampai memotong seluruh klitoris dan seluruh labia minor dan mayor dan menyisakan saluran kemih saja. Seluruh tindakan ini pun dilakukan tanpa indikasi medis. American Academy of Pediatrics (AAP) pun melarang seluruh anggotanya melakukan tindakan ini, untuk alasan di luar medis.

Selain itu, WHO dan Persatuan Dokter Obstetri dan Ginekologi Dunia menolak tindakan FMG dan menyebut tindakan tersebut sebagai “praktik medis yang tidak diperlukan, yang memiliki risiko komplikasi serius dan mengancam nyawa.”

Tak hanya itu, Peraturan Menteri Kesehatan No. 1636/Menkes/PER/XI/2010 mengenai Sunat Perempuan kemudian dicabut pada 2014. Hal ini didukung pernyataan bahwa “sunat perempuan hingga saat ini tidak merupakan tindakan kedokteran karena pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan.”

FMG sendiri dianggap dapat mengancam nyawa, karena terdapat banyak pembuluh darah di daerah kemaluan perempuan, sehingga memiliki risiko perdarahan yang hebat. Tindakan sunat khususnya pada bayi perempuan ini biasanya dilakukan secara ilegal. Hal tersebut tentu menyebabkan meningkatnya risiko infeksi akibat praktik medis tidak steril.

Efek buruk pada sang bayi ketika besar nanti akan mengalami rasa tidak nyaman ketika sudah melakukan hubungan seksual. Maka, terlihat bahwa risikonya termasuk dalam efek samping jangka panjang.

Melalui penjabaran ini, Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) pun tidak merekomendasikan sunat pada bayi perempuan dalam arti pemotongan klitoris. Tindakan ini bisa dilakukan jika untuk pembukaan jika memang terdapat selaput di klitoris. (Vonia Lucky/TW/Dok. Freepik)