FAMILY & LIFESTYLE

Risiko Kesehatan dan Bully pada Anak Obesitas



Saat melihat anak yang memiliki tubuh tambun atau gemuk, mungkin Anda berpikiran betapa menggemaskannya mereka. Namun hal ini justru bisa membawa risiko buruk bagi kesehatan Si Kecil, yaitu kemungkinan terkena penyakit obesitas. Tak hanya itu, kehidupan sosialnya pun bisa terganggu dengan adanya ancaman bully yang ia terima dari orang-orang sekitarnya.

Dalam sebuah diskusi Media dengan tajuk "Anak dan Remaja Sehat: Bebas Obesitas" yang dilakukan Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), diketahui prevalensi gizi lebih atau overweight dan obesitas pada anak di dunia meningkat dari 4,2 persen pada 1990 menjadi 6,7 persen pada 2010.



Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi obesitas pada balita adalah 11,9 persen. "Jadi bayangkan kalau 10 persen saja, berarti 1 di antara 10 anak itu menderita obesitas" ujar dr. Yovita Ananta, Sp.A, MHSM, IBCLC.

Bagi Moms yang memiliki anak, khususnya bila Si Kecil memiliki tubuh yang besar, Moms harus mewaspadai risiko obesitas yang bisa terjadi pada Si Kecil. Menurut dr. Yovita, ada cara yang paling mudah untuk mendeteksi apakah seorang anak terkena obesitas atau tidak, yaitu dengan melihat berat dan tinggi badan Si Kecil.

Dari berat dan tinggi badannya itu kita bisa mengukur indeks massa tubuh (IMT) yang disesuaikan dengan periode tumbuh kembang, di mana pada masa tumbuh kembang itu ada kalanya Si Kecil mengalami growth spurt atau percepatan pertumbuhan, ataupun sebaliknya perkembangannya melambat.

Berdasarkan grafik indeks massa tubuh WHO pada 2006, untuk anak yang berusia di bawah 2 tahun, dikatakan overweight bila grafik IMT-nya Z-score di atas +2SD (standar deviasi). Sedangkan anak disebut obesitas bila Z-scorenya lebih dari +3SD.

Untuk anak berusia 2-18 tahun, berdasarkan grafik IMT CDC 2000, anak disebut overweight bila grafknya berada di atas P85-P95 (persentil). Sedangkan bila Si Kecil grafiknya mencapai lebih dari P95, maka ia dikatakan menderita obesitas.

"Saat anak berusia 2 sampai sekitar 6-7 tahun, IMT-nya mestinya agak turun, karena pada masa ini memang ada perlambatan pertumbuhan. Jadi kalau misalnya selisih IMT-nya tinggi harus hati-hati karena berisiko obesitas" jelas dr. Yovita.


Faktor-Faktor Penyebab Obesitas

Obesitas tentu diawali dengan kenaikan berat badan. Secara sederhana, kenaikan berat badan disebabkan karena input (makanan yang masuk) dan output (makanan yang keluar, aktivitas fisik yang dilakukan) pada tubuh yang tidak sebanding. Berdasarkan faktor individual bila input-nya lebih banyak, berat badan dan massa tubuhnya pasti bertambah.

"Input bisa bertambah paling utama dari asupan makanan dan minuman, sedangkan pengeluarannya dengan aktivitas fisik. Jadi bila input lebih banyak dari aktivitas fisiknya tentunya akan menjadi pertambahan massa tubuh," jelas dr. Yovita.

Faktor individual juga berhubungan dengan usia. Misalnya, anak masih bayi tentu kegiatannya tidak sebanyak anak yang sudah lebih besar. Selain itu, jenis kelamin (energi yang dikeluarkan anak laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan) dan faktor genetik juga berpengaruh pada risiko obesitas.

Faktor perilaku juga menjadi penyebab anak mengalami obesitas. Faktor perilaku bisa dihubungkan dengan sekolah. "Misalnya anak di sekolah hanya fokus pada akademis, di dalam ruangan terus dan tidak ada aktivitas fisik, nah ini juga berhubungan dengan peningkatan massa tubuh," ungkap dr. Yovita.

Selain itu, di zaman yang serba digital seperti sekarang ini juga bisa meningkatkan risiko obesitas pada anak. Misalnya ketika anak Anda asyik bermain gadget ditambah dengan adanya camilan yang setia menemani Si Kecil.

Sebagai orang tua, tentu Moms harus mewaspadai risiko obesitas yang mungkin akan menimpa Si Kecil dengan melakukan pencegahan sejak dini karena akan ada risiko jangka panjang mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Bisa sakit kepala, risiko stroke yang lebih tinggi, demensia saat tua nanti, secara psikologi juga membuat depresi, cemas, menyebabkan gangguan makan, risiko asma lebih tinggi, masalah pencernaan, masalah nutrisi (di mana vitamin D lebih rendah pada anak yang menderita obesitas), risiko terkena kanker, dan masih banyak lagi," jelas dr.Yovita.


Risiko Bully Terhadap Anak Obesitas

Ketika Si Kecil menderita obesitas, ia juga harus berhadapan dengan risiko bullying yang dilakukan orang sekitarnya. Misalnya Si Kecil diberi panggilan Si Gendut. Menurut Jane Cindy Linardi, M.Psi, Psikolog, psikolog anak dari RSPI, memberikan naming atau julukan pada anak obesitas termasuk pada kategori bullying verbal. "Mungkin ada julukan-julukan tertentu yang menggambarkan kondisi fisik si anak obesitas tersebut," ujar Jane.

Jika anak yang menderita obesitas menerima bully dari orang sekitarnya, hal ini bisa memberikan dampak jangka panjang misalnya, konsep diri menjadi negatif, menutup diri dari pergaulan, depresi, bahkan bunuh diri.


Bagaimana Pencegahan Obesitas?

Untuk mencegah terjadinya obesitas pada Si Kecil, Moms bisa melakukan pencegahan primer sejak bayi berusia 0-12 bulan dengan memberikan ASI eksklusif, menghindari minuman manis, dan tidak makan sambil menonton TV.

Untuk anak usia 12-24 bulan, hindari minuman manis, konsumsi jus atau susu berlebih, mematikan TV ketika makan bersama, bermain aktif dengan membatasi screen time, dan Anda harus menjadi model bagi anak Anda sendiri.

Pencegahan sekunder bisa dilakukan dengan adiposity rebound (kenaikan kedua dalam IMT yang terjadi pada usia 3-7 tahun). Selain itu Moms juga bisa melakukan pencegahan tersier dengan mencegah komorbiditas (penyakit penyerta), tetap memperhitungkan faktor tumbuh kembang pada anak dan remaja, dan jangan menggunakan jalan pintas seperti diet rendah kalori atau diet dengan obat-obatan tanpa konsultasi dokter. (Vonda Nabilla/SW/Dok. Freepik, M&B)