Moms, pernah mendengar istilah anak clumsy? Dalam bahasa Indonesia, clumsy bisa diartikan sebagai ceroboh, canggung, kikuk, atau kagok. Jadi, anak clumsy bisa diartikan sebagai anak yang cerobok atau anak yang kikuk.
Contoh anak clumsy adalah ia kerap menumpahkan air ketika hendak minum, menekan pensil terlalu keras saat berusaha menggambar atau menulis hingga ujung pensilnya patah, atau sering menyenggol barang saat berjalan, dan menjatuhkan barang ketika membawanya.
Umumnya, orang tua hanya akan mengingatkan anak agar lain kali lebih berhati-hati saat ia bertindak sembrono atau ceroboh. Namun, jika hal tersebut kerap terjadi pada Si Kecil, Moms patut curiga. Memang, orang tua ataupun guru sering kali skip mengenali gangguan motorik ini karena ketidaktahuan ataupun gejalanya yang sangat heterogen.
Baca juga: Ketahui Penyebab Anak Gagap dan Cara Mengatasinya
Penyebab anak clumsy
Kata clumsy pertama kali dipopulerkan oleh American Psychiatric Association lewat istilah clumsy child syndrome, yang kemudian berkembang menjadi developmental coordination disorder atau dalam bahasa Indonesia disebut gangguan perkembangan koordinasi (GPK).
Seorang anak disebut clumsy bila ia mengalami gangguan perkembangan karena masalah koordinasi motorik. Namun, hal ini tidak disebabkan oleh suatu kondisi medis tertentu karena anak tersebut biasanya memiliki IQ normal.
Penyebab anak clumsy belum diketahui secara pasti. Namun, para peneliti berpendapat bahwa ini ada kaitannya dengan gangguan fungsi perencanaan motorik, yang dikenal sebagai dyspraxia akibat adanya gangguan dalam inteligensi auditori-motor. Anak tidak mampu melaksanakan gerakan bagian dari tubuh dengan benar walaupun tidak ada kelumpuhan anggota tubuh.
Sebagai informasi, sekitar 6 persen anak usia sekolah mengalami masalah koordinasi motorik cukup serius yang bisa mengganggu prestasi akademik dan kemampuan sosial mereka.
Gangguan ini umumnya mulai muncul di tahun-tahun pertama usia sekolah Si Kecil, di mana ia terlihat mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas yang membutuhkan keterampilan motorik sederhana, seperti menggunting kertas, mengancingkan baju, atau menuangkan air ke dalam gelas.
Baca juga: Balita Cengeng, Ini Penyebab dan Cara Mengatasinya
Mengenal ciri-ciri anak clumsy
Anak clumsy tidak boleh diabaikan dan dianggap sepele, pasalnya gangguan koordinasi motorik yang dialami Si Kecil akan bisa tetap ada hingga ia remaja, bahkan usia dewasa. Malah, kondisi ini bisa menyebabkan masalah lain seperti gangguan belajar dan ketidakmatangan emosi. Karena itu, penting bagi Anda untuk bisa mengenali gangguan tersebut sejak dini, contohnya:
- Anak clumsy terlihat kurang terampil dibandingkan anak lain. Kadang ia harus berusaha lebih keras agar bisa sekadar menangkap bola, menggunting garis lurus di kertas, atau mengendarai sepeda.
- Telat menguasai keterampilan sehari-hari, seperti mengancingkan baju, mengikat tali sepatu, atau menuangkan air ke dalam botol tanpa tertumpah.
- Sering menabrak atau menyenggol benda-benda saat beraktivitas, berjalan, atau berlari.
- Kurang percaya diri saat melakukan aktivitas yang membutuhkan koordinasi motorik, misalnya olahraga.
Cara mengatasi masalah anak clumsy
Solusi paling tepat untuk mengatasi gangguan ini adalah dengan berkonsultasi dengan dokter. Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik secara komprehensif, mulai dari tinggi dan berat badan, lingkar kepala, pemeriksaan mata, saraf, otot, refleks, dan keseimbangan anak.
Dokter akan melakukan diagnosis apakah anak benar menderita gangguan perkembangan koordinasi (GPK). Setelah itu, mungkin akan ada terapi untuk mengurangi dan mengatasi masalah tersebut dengan meningkatkan kemampuan motorik anak sehingga tumbuh rasa percaya dirinya. Terapi yang dilakukan umumnya bertujuan untuk mencapai perkembangan yang optimal pada anak, baik dari segi motorik maupun yang lain.
Untuk mengenali dan mengurangi ancaman gangguan perkembangan koordinasi (GPK) pada anak sejak dini, Moms perlu mengetahui tahapan perkembangan motorik halus anak sejak ia masih bayi. Selain itu, ajak anak lebih sering melakukan aktivitas fisik, misalnya olahraga bersama atau bermain di taman untuk menstimulasi keterampilan motorik Si Kecil. (M&B/SW/Foto: Freepik)