TODDLER

7 Tanda-tanda Anak yang Menjadi Korban KDRT



Tekanan atau beban hidup yang terlalu berat terkadang dapat memicu stres pada orang tua. Tak jarang rasa frustrasi yang dialami ayah atau ibu disalurkan dalam bentuk amarah ke anak-anak.

Kondisi inilah yang sering kali memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT terhadap anak-anak. Sedihnya, anak-anak korban KDRT justru terkadang sulit untuk terdeteksi. Pada banyak kasus, anak-anak yang menjadi korban kekerasan justru memilih berdiam diri karena takut oleh orang tuanya sendiri.

Umumnya, anak-anak yang mengalami kekerasan akan berubah sikap. Jika diperhatikan, anak-anak korban KDRT akan menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Menutup Diri

Ya, salah satu ciri utama anak yang menjadi korban kekerasan adalah sikapnya yang cenderung menutup diri. Moms perlu curiga apabila ada anak tetangga, kerabat, atau saudara yang tadinya terlihat ceria, tiba-tiba lebih sering memilih untuk menyendiri dan enggan berbicara dengan orang lain.

Biasanya, anak yang mengalami KDRT berubah menjadi pendiam dan menutup diri karena mereka berusaha menyembunyikan apa yang sedang dialami atau tengah terjadi di rumah. Dalam sebagian besar kasus, mereka juga takut apabila berbicara maka akan mengalami kekerasan yang lebih parah lagi.

2. Mudah Berbohong

Kekerasan bisa terjadi sebagai bentuk hukuman berlebihan yang dilakukan anak terhadap orang tua. Agar tidak mengalami kekerasan, anak cenderung berbohong atau menutupi kesalahan dari orang tua sehingga terhindar dari hukuman. Kebiasaan berbohong ini nantinya akan terbawa dalam kehidupan sehari-hari mereka, termasuk saat harus berurusan dengan teman, saudara, tetangga, dan guru.

3. Dilanda Kecemasan

KDRT bisa terjadi kapan saja. Jangan heran jika anak yang mengalami atau menjadi saksi KDRT di rumahnya akan selalu dilanda kecemasan. Mereka khawatir kalau sewaktu-waktu akan menjadi korban KDRT. Rasa cemas tersebut nantinya akan memicu ketakutan yang berlebihan, depresi, hingga kesulitan menahan emosi. Anak menjadi lebih mudah menangis atau lebih mudah marah, serta selalu merasa dirinya terancam meski tidak sedang berada di dalam rumah.

4. Mudah Marah

Sebagian anak menjadi sosok yang pendiam saat mengalami kekerasan. Tapi sebagian lagi justru meniru sikap pelaku saat berada di luar rumah. Rasa frustrasi membuat anak menjadi sulit menahan emosi dan mudah marah.

Selain itu, anak juga akan menganggap bahwa cacian dan pukulan merupakan jalan keluar untuk semua masalah. Akibatnya, mereka juga akan mudah mencaci atau memukul orang lain sebagai pelampiasan dari apa yang dialami di rumah.

5. Prestasi Menurun

Banyak hal yang menyebabkan prestasi seorang anak di sekolah menurun, salah satunya adalah adanya kekerasan dalam rumah tangga. Pasalnya, peristiwa traumatis yang dialami serta kondisi rumah yang tidak kondusif akan membuat mereka kesulitan untuk berkonsentrasi. Alih-alih menekuni pelajarannya, anak korban KDRT akan lebih banyak melamun.

6. Perubahan Fisik

Perubahan fisik akan dialami oleh anak yang menjadi korban KDRT. Pada umumnya, korban kekerasan akan terlihat lebih lusuh dan tak terurus. Misalnya, badannya terlihat kurus, rambut semakin panjang dan kusut, dan wajahnya lesu. Selain itu, Anda mungkin juga akan menemukan tanda-tanda adanya kekerasan seperti luka dan memar di tubuhnya.

7. Haus Perhatian

Ciri lain yang mungkin diperlihatkan oleh anak yang mengalami kekerasan adalah sikapnya yang terkesan mencari perhatian dari orang lain di luar rumah, seperti saudara, tetangga, maupun guru di sekolah. Hal itu ia lakukan karena tidak mendapat kasih sayang atau perhatian yang diinginkannya di rumah.

Moms, jika Anda menemukan tanda-tanda di atas pada anak di lingkungan Anda, tak ada salahnya jika Anda melaporkan kepada pihak yang berwenang, seperti RT/RW, guru, atau yayasan yang peduli pada perlindungan anak. Anda bisa meminta mereka untuk membantu menyelidiki dugaan adanya KDRT terhadap anak-anak.

KDRT tidak hanya bisa mengganggu tumbuh kembang anak. Kekerasan dalam rumah tangga juga bisa menjadi salah satu penyebab kematian pada anak. (Wieta Rachmatia/SW/Dok. Freepik)