Moms, tanpa sadar kita mungkin sering mengatakan hal-hal yang bisa memberikan efek buruk kepada anak. Tak dimungkiri, terkadang anak cenderung mengingat hal-hal yang membuatnya sakit hati dan tentunya tidak baik membiarkan anak memendam sakit hatinya tersebut untuk waktu yang lama.
Karena itu, penting buat Anda mengetahui kalimat apa saja yang berpotensi merusak psikologis anak, seperti dilansir dari laman Huffpost berikut ini, Moms.
1. “Ini bukan masalah besar kok, Nak”
Mungkin tanpa sadar Moms kadang meremehkan masalah atau situasi yang sedang dihadapi Si Kecil, terutama ketika ia menangis karena sesuatu yang Anda pikir seharusnya bisa ia atasi.
Namun ketahuilah, berbahaya bila Moms tidak menghargai perasaan anak yang sebenarnya dengan memintanya untuk melawan perasaannya (misalnya rasa takut atau khawatir) ketika Si Kecil sedang menghadapi masalah atau berada dalam situasi sulit.
Menurut Amy McCready, pakar di bidang pengasuhan dan pendidikan anak serta penulis buku If I Have to Tell You One More Time, masalah kecil yang mungkin dialami anak dan emosi yang menyertainya ini sebenarnya adalah masalah besar baginya.
Akan tetapi, orang tua tak jarang mengabaikan respons emosional anak terhadap tantangan nyata yang mungkin dirasakan anak, seperti dengan memberi tahu Si Kecil untuk tak usah terlalu memikirkan kekhawatiran yang dirasakannya dengan mengatakan “Ini bukan masalah besar kok, Nak”, atau menganggap anak lemah ketika takut akan sesuatu.
Sebaiknya, cobalah untuk memahami berbagai hal dari sudut pandang anak Anda. Katakan “Kamu kelihatan takut, frustrasi, atau kecewa. Yuk, ngobrol sama Mama dan kita cari tahu bersama apa yang bisa dilakukan.” Dengan begitu, Moms akan membantu anak Anda melabeli emosinya di mana ini menjadi bagian penting dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan memperjelas bahwa Anda selalu ada untuknya.
2. “Kamu tuh tidak pernah ya…” atau “Kamu tuh selalu...”
Anak-anak memiliki polanya sendiri. Mengatakan bahwa anak Anda "selalu" atau "tidak pernah" dalam melakukan sesuatu bukanlah hal yang benar. Menurut Robbin McManne, pendiri Parenting for Connection, melontarkan hal tersebut bisa menjadi tanda bahwa Moms tidak lagi ingin tahu tentang apa yang terjadi pada Si Kecil. Orang tua akhirnya kehilangan kesempatan untuk mengajari anak apa yang harus ia lakukan dan apa yang bisa ia lakukan nantinya.
Sebaiknya Moms berusaha untuk selalu mencari tahu mengapa anak berperilaku seperti itu pada waktu tertentu. Buatlah diri Anda lebih terhubung dan dekat secara fisik dengan anak Anda, sehingga Moms selalu bisa mendampinginya dan memastikan Si Kecil tidak terganggu hal lain ketika Anda mengajarkannya melakukan sesuatu.
3. “Mama sedih deh kalau lihat kamu...”
Moms mungkin kerap dibuat kesal saat anak tidak mendengarkan Anda. Namun, penting untuk menetapkan (dan menahan) batasan tanpa membuang emosi Anda yang bercampur aduk. Perasaan yang Moms rasakan adalah milik Anda, tak perlu membuat anak untuk merasakannya juga.
Menurut McCready, ketika anak merasa memutuskan apakah orang tuanya harus merasa bahagia, sedih atau marah, ia mungkin dengan senang hati mengambil kesempatan ini untuk mengendalikan perasaan Anda. Saat anak berada di luar rumah, pola pikir ini pun bisa merusak hubungan yang dibangun anak di masa depan dan membuat anak bisa mengatur dirinya untuk memanipulasi orang lain agar mendapatkan apa yang ia inginkan.
Maka sebaiknya tetapkan batasan apa pun yang perlu Anda tetapkan, misalnya dengan masih membolehkan Si Kecil melompat-lompat di sofa sesekali atau memberikan pilihan saat ia bermain dengan mengatakan “Kamu mau main di kamar saja atau main di luar?”
4. “Seharusnya kamu tahu...”
Bila Moms mengatakan hal tersebut, sebenarnya Anda sedang mencoba membuat anak merasa bersalah dan mempermalukannya untuk bisa berubah. Sayangnya, hal ini malah bisa membuat Si Kecil bersikap defensif yang membuatnya cenderung jadi tidak mendengarkan dan juga bisa merusak kepercayaan dirinya.
Seharusnya Moms bisa mengatakan, “Hmm, sepertinya kita ada masalah, nih. Apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaikinya, ya?” Kalimat ini justru membuat anak untuk bisa lebih fokus pada solusi, bukan ke masalah yang sedang dihadapi, sehingga ia bisa berlatih memecahkan masalah dan memperbaiki kesalahannya sendiri serta memikirkan cara untuk membuat pilihan yang lebih baik sejak awal.
5. “Sini Mama bantu, deh” atau “Mama aja deh yang ngerjain”
Moms mungkin geregetan saat menunggu Si Kecil menyelesaikan tugas sederhana tapi memakan waktu lama untuk mengerjakannya, sehingga Anda pun mengambil alih pekerjaanya.
Namun, bila Anda melakukannya, ini bisa membuat anak merasa kecil hati, frustrasi dan mengisyaratkan bahwa ia tidak bisa melakukan hal sederhana tersebut, sehingga Anda harus terlibat dan membantunya. Sebaiknya beri anak waktu yang ia butuhkan untuk menyelesaikan tugasnya. Atau paling tidak, jelaskan mengapa ia harus bergegas melakukan tugasnya tersebut.
6. “Kamu tuh ya, (melabeli anak)” atau “Anak Mama pintar!”
Memberi label baik atau buruk pada anak bisa berpotensi melukai hubungan orang tua dan anak karena hal ini membuat orang tua melihat anaknya berjuang dan membutuhkan bantuan. Moms mungkin mulai menghubungkan perilaku anak tertentu dengan label apa pun yang Anda berikan kepada Si Kecil, bukannya malah mencari tahu dan mencoba memahami apa yang terjadi dalam perkembangannya.
Melabeli Si Kecil juga berpotensi membuat ia menerima dan melakukan hal yang mungkin orang tuanya anggap benar, tetapi di sisi lain sebenarnya ia juga tidak yakin dengan apa yang ia lakukan tersebut.
Karena itu, sebaiknya usahakan untuk melihat dan berikan apresiasi atas upaya yang anak lakukan, bukan malah fokus pada hasil yang ia capai. Lakukan apa pun yang Moms bisa untuk menghindari memberi label baik maupun buruk pada anak Anda. (M&B/Vonda Nabilla/Foto: Peoplecreations/Freepik)