FAMILY & LIFESTYLE

Adianti Reksoprodjo: Bukan cuma Passion, Olahraga Jadi Obat Penyembuh Diri



Penggila olahraga, mungkin ini julukan yang paling tepat untuk disematkan pada sosok Adianti Reksoprodjo. Mulai dari CrossFit, lari, hingga bersepeda, inilah yang sudah menjadi bagian hidup seorang Adianti. Ibu dari Riega (14) dan Naya (8) ini kini juga merupakan seorang prenatal dan postnatal coach, di mana profesi tersebut sudah dijalani selama kurang lebih 8 tahun belakangan.

Bukan profesi yang mudah ditemui di Indonesia, apa yang membuat Adianti memilih menjadi prenatal dan postnatal coach? Untuk mengenal lebih dekat sosoknya, M&B berbincang banyak, mulai dari gaya parenting, bagaimana ia bisa sembuh dari postpartum depression, tanggapannya terkait stigma bentuk tubuh pascamelahirkan, dan hal menarik lainnya. Yuk, kenal lebih dekat dengan Adianti Reksoprodjo dan simak kisah selengkapnya berikut ini, Moms!

Bagaimana awalnya bisa menjadi prenatal dan postnatal coach?

Sebelum menjadi prenatal dan postnatal coach, di tahun 2014 aku sudah mulai menjalani dunia coaching, namun fokusnya untuk CrossFit. Nah, di akhir tahun 2015, ternyata aku hamil anak kedua, di mana kehamilanku saat itu lumayan banyak cobaan. Singkat cerita, aku mengalami postpartum depression (PPD).

Selain mencoba Bach theraphy, aku beberapa kali ke psikolog dan disarankan minum obat. Tapi aku enggak mau, karena takut enggak bisa menyusui Naya, anak keduaku. Akhirnya aku disuruh cari aktivitas yang aku senangi. Tentu aku pilih olahraga. Cuma karena aku seorang coach dan ini merupakan operasi caesar kedua, jadi aku pikir enggak bisa nih, balik olahraga sembarangan.

Akhirnya aku coba cari prenatal dan posnatal certified coach, supaya bisa mendampingi aku berolahraga dengan benar. Tapi saat itu di Indonesia enggak ada, susah sekali nyarinya. Setelah sempat mencoba olahraga sendiri dengan research terlebih dahulu dan ngobrol sama teman, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil sertifikasi prenatal dan postnatal coach. Jadi purely alasannya sangat egois ya, ketika aku mengambil sertifikasi ini, I was just searching for a remedy for myself, untuk sembuh dari PPD.

Bagaimana Adianti melewati postpartum depression saat itu?

Selain karena sensitivitas pada hormone imbalance, PPD-ku saat itu mungkin dikarenakan aku sedang bangun rumah yang ternyata cukup bikin stres, ada marital problem, dan banyak hal lah. Jadi memang there were so many things going on saat itu.

Jadi sepulang dari rumah sakit, aku langsung masuk ke rumah baru. Ketika ibuku yang ikut mengantar saat itu pulang, aku nangis enggak berhenti. Aku merasa kosong banget aja saat itu. Ternyata rasa asing masuk ke rumah baru tuh, besar sekali, jadi on set-nya di situ. At that time, aku enggak berhenti berpikir gimana caranya supaya aku enggak usah ada di dunia ini.

Pada saat itu, orang-orang kayaknya belum terlalu aware dengan PPD dan belum banyak yang berani bercerita. Tapi, karena aku seorang coach, dan mungkin awareness dengan badanku tinggi, jadi pada saat itu aku sadar, this is not me.

Setelah ke psikolog dan mencoba olahraga sendiri dengan aman, sampailah aku pada keputusan mengambil sertifikasi untuk prenatal dan postnatal coach. Dengan pengalaman tersebut, aku merasa I can help my fellow mothers, bahwa aku merasa terbantu sekali PPD-nya dengan berolahraga.

Sebagai trainer, bagaimana Anda melihat minat para ibu untuk olahraga di masa prenatal dan postnatal saat ini?

Aku sudah menjalani role sebagai prenatal dan postnatal trainer sejak 2015 akhir hingga sekarang. Yang aku lihat trennya baik. There are significantly more aware mothers. Dulu waktu pertama aku jadi trainer, orang-orang kayaknya enggak tau yang namanya diastasis recti (DR), dan aku benar-benar susah mengedukasi orang tentang hal ini.

DR sendiri merupakan pemisahan otot rectus abdominis yang ada di tengah-tengah perut kita. Nah, hal ini pasti terjadi saat hamil, karena ibu harus memberi ruang agar bayi bisa tumbuh. Jadi itu pasti akan melebar. Pelebaran ini ada yang dianggap normal dan yang lebih dari batas normal, karena mungkin bayinya terlalu besar. Nah, itu mesti di-address dengan baik. Gimana caranya? Ya pasti postnatal trainer tahu what to do and what not to do. Senangnya, sekarang trennya semua aware.

Setelah melahirkan, seorang ibu tak lepas dari stigma terkait berat badan dan bentuk tubuh. Bagaimana tanggapan Anda?

Aku pernah lihat di Instagram, sempat ada tren “Back on you pre-pregnancy jeans”. It’s such a bad campaign to commemorate. Menurutku sih, baiknya kita normalize bahwa badan itu butuh waktu untuk kembali seperti semula. Bayangkan, 9 bulan selama hamil badan kita itu semuanya berubah, pun bagian dalamnya.

Dengan adanya stigma tersebut, akhirnya kebanyakan ibu enggak bisa menerima bentuk badan dia yang sekarang (setelah melahirkan). Sedangkan menurutku, hal nomor satu yang perlu diperhatikan setelah melahirkan itu sebenarnya fungsi dari semua organ internal kita yang selama 9 bulan kemarin itu jadi ahli fungsi.

Aku selalu bilang sama klien-klienku, kalau mau ngurusin badan setelah melahirkan, ya minimal 9 months up, 9 months down. Ibu juga harus tahu dulu apa prioritasnya untuk menurunkan badan. Kalau misalnya masih mau lanjut menyusui, baiknya nanti aja, enggak usah terlalu dipikirin soal bentuk badan dan ngurusin badan.

Badan kita butuh waktu untuk kembali seperti semula. Jadi kalau mau ngurusin badan setelah melahirkan, ya minimal 9 months up, 9 months down. Ibu juga harus tahu dulu apa prioritasnya untuk menurunkan badan.

Bagaimana agar ibu bisa menerima perubahan tubuhnya setelah melahirkan?

Usahakan untuk tetap bergerak, sih. Karena kalau kita di rumah hanya menyusui, and you do nothing, ya wajar banget kalau nanti pas ngaca, kayak “Ini siapa?”, horor banget memang dan aku pun merasakannya. Jadi, perasaan itu normal, tapi ya memang harus di-embrace.

Kita juga harus bisa a little bit more gentle with ourselves. Karena menurutku, betapa luar biasanya kita, perempuan, bisa mengandung anak selama 9 bulan dan melahirkan bayi manusia, di mana laki-laki aja enggak bisa, kan. Jadi, try to look beyond that. Ini cuma badan kok, yang penting balikin dulu fungsinya. Nanti kalau sudah tidak menyusui Si Kecil, dan kita bisa fokus untuk olahraga, baru diberesin pelan-pelan. Minimal, kasih waktu badan kita 9 bulan juga untuk masa postnatal ini.

Seperti apa gaya parenting Adianti?

I totally believe in parenting through sport. Karena menurutku sportsmanship itu penting banget, it’s more than just a sport. Sportsmanship itu kan juga bisa diaplikasikan di kehidupan sehari-hari, tenggang rasa, team work, dan lain-lain. Jadi, olahraga mengajarkan banyak untuk anak-anak, terutama anak laki-laki.

Makanya Riega, anak pertamaku, dari umur 4 tahun sudah aku masukkan di Garuda Baseball, sampai sekarang. Kalau Naya, karena dia anaknya lumayan "princess" dan enggak suka tempat panas, jadi dia sekarang ikut balet dan berenang. Mungkin nanti akan aku arahkan Naya untuk bisa basket.

Yang paling penting, aku juga ingin anak-anak bisa berenang, karena berenang baik untuk kesehatan jantung mereka. Kebeteluan mereka juga keturunan alerginya lumayan besar, di mana aku punya sinus dan ayahnya asma. Jadi aku dan ayahnya anak-anak sama-sama punya pemikiran parenting itu harus dilengkapi dengan olahraga. Karena menurut kami berdua, movement is also a meditation. Jadi, ketika mereka bergerak, mereka bisa nge-release apa pun, misalnya perasaan juga energinya.

I totally believe in parenting through sport. Sportsmanship itu penting banget. Dari olahraga, anak bisa belajar banyak hal. Mulai dari tenggang rasa, team work, dan lain-lain.

Bagaimana co-parenting dengan ayah anak-anak?

Aku dan ayahnya anak-anak berpisah di tahun 2019. Co-parenting kita working very well, beneran! Kalau ditanya gimana caranya, aku juga bingung. We went through a hell, tapi relationship-nya baru bekerja dengan baik kalau kita sudah dalam posisi begini kayanya. Tapi akhirnya kita berdua jadi saling menghargai dan malah menemukan common grounds yang mungkin saat masih bersama kita enggak punya, karena masing-masing egonya besar.

Sekarang mungkin karena sudah sama-sama tahu kondisinya, dan harus saling tenggang rasa, malah jadinya works very well, and the kids are happier. Dan memang akhirnya common grounds kita adalah whatever happens, the kids first. So, we take turns, kita berusaha memberikan waktu untuk masing-masing anak supaya bisa quality time sama bapak, sama ibu, dan kita berempat sebagai keluarga.

We still do family holiday, we try to make it as family banget, deh. Jadi, bisa dibilang saat ini kita a functioning dysfunctional family, dan lumayan enggak peduli sih orang ngomong apa, yang penting whatever works for my kids aja.

Seberapa penting me time bagi Adianti?

We cannot pour out of an empty cup. Ibaratnya, kalau gelas kita aja kosong, gimana kita mau kasih ke orang lain. Jadi, it’s okay to be a little bit selfish, karena kalau enggak, kita akan jadi ibu yang enggak happy. Kalau ibu enggak happy, yang lain juga pasti enggak happy.

Menurutku family really involves around the mothers synergy, the mother’s energy. Apalagi bayi, ya. So, I guess it’s very important for mothers to have their own time, tapi juga ada batasnya, ya. Kalau aku, karena co-parenting-nya jalan, when it’s time for the father to have his time, I will take care of the kids, dan sebaliknya.

Quality time for the mothers itu enggak harus selalu kongkow mengeluarkan uang. Bisa sesederhana, mandi, nonton drakor, atau jalan pagi. Minimal prioritize on your well being, and then find what makes you flow. Kalau aku, yang what makes me flow adalah memang olahraga.

Bagaimana pengalaman Adianti nonton konser bareng anak?

Aku dan Naya nonton konser Niki September lalu, dan pas banget di bulan kelahirannya juga. Jadi, konser ini sebenarnya surprise untuk Naya. Di konser pertamanya ini dia happy banget! It was a quite an experience, mother and daughter time.

Menurutku age appropriate is very important kalau mau ajak anak nonton konser. Karena kalau enggak, kayaknya kita harus siap untuk explanation kalau anak-anak lihat yang aneh-aneh. Pastikan juga promotornya yang reliable, biar experience pertama anak nonton konser tuh enjoyable. Karena aku juga ingin anak-anak tumbuh dengan bisa mengapresiasi musik. So, I want them to actually enjoy the music, experience dari festivalnya sendiri. Pastiin juga anak sudah makan atau biarkan mereka tidur dulu sebelum pergi, and wear good shoes, itu juga penting, hehe.

Setiap orang tua pasti ingin jadi yang terbaik untuk anak-anaknya. Apa yang Anda lakukan untuk mencapai itu?

Kayaknya susah ya, jadi orang tua yang baik untuk anak. Tapi, minimal aku berusaha untuk selalu hadir untuk Riega dan Naya. Karena aku berharap mereka punya budi pekerti yang baik, juga empati yang besar, aku berusaha menanamkan norma-norma yang baik ke mereka, supaya mereka juga bisa menempatkan dirinya di segala situasi nanti.

Soal agama, I’m not a religious person. Aku mau anak-anak in touch with their religion, tapi di sisi lain aku enggak mau mereka jadi mabok agama. Aku ingin mereka punya pandangan yang lebih universal dan bisa bertenggang rasa dengan yang lain. Jadi aku selalu pengin mereka expose the environment yang majemuk, yang beragam.

Karena itu, pas TK mereka aku masukin sekolah internasional. Nah, pas SD aku masukin sekolah Islam, karena aku pengin mereka belajar agama dulu. Kemudian Riega aku masukin ke sekolah lain lagi, biar dia tau jadi minoritas itu gimana. Karena aku enggak mau nanti mereka besar hidup dengan selalu punya privilege. Ada hal di dunia ini yang memang harus diusahakan, jadi mereka harus bekerja keras.

Apa arti kehadiran Riega dan Naya?

Riega, he is my first born, he's always gonna be my first one. Dia yang pertama mengajarkan aku bagaimana caranya jadi ibu dan bagaimana aku harus bisa mendidik dia sebagai gentleman, and it's not easy. Dengan hadirnya Riega, aku juga jadi belajar supaya enggak terlalu idealis dan menjadi pribadi yang lebih rileks. So, through him, I learned to be a better person.

Nah, Naya, she thought me a lot of things! Kayaknya dia yang membentuk aku menjadi seorang Adianti yang sekarang. She’s my biggest muse, also my biggest challenge. But then, I think I became a better human dan menemukan my true calling, yaitu menjadi prenatal dan postnatal coach, karena dia. So, I’m here because I need to help these woman and it’s because of her (Naya).

It’s okay to be a little bit selfish, karena kalau enggak, kita akan jadi ibu yang enggak happy. Kalau ibu enggak happy, yang lain juga pasti enggak happy.

(M&B/Vonda Nabilla/SW/Photographer: Hadi Cahyono/Digital Imaging: Ragamanyu Herlambang/MUA: Atika Sakura (@tsakeru)/Hairdo: Rachela Yu (@rachela_yu)/Stylist: Gabriela Agmassini/Wardrobe: MASSHIRO&Co. (@masshiroandco), Marves Baby & Kids (@marvesbaby)/Location: The Dharmawangsa Jakarta (@thedharmawangsa)