FAMILY & LIFESTYLE

Diari Cisca Becker: Saya Mengajarkan Anak untuk Memilih



Hidup itu adalah pilihan. Kalimat yang sering sekali kita dengar mengenai kompleksitas hidup dan tantangannya. Mereka yang tidak berhasil menjalankan hidup sebagaimana yang diinginkan, dikatakan telah membuat keputusan-keputusan yang salah dalam hidupnya.

Saat saya membuat tulisan ini, warga Jakarta juga sedang bersiap untuk membuat pilihan, yaitu untuk memilih gubernur dan wakil gubernurnya, begitupun dengan semua propinsi di Indonesia, dalam kesempatan Pilkada serentak secara nasional. Siapapun yang terpiih, akan berpengaruh langsung dalam segala sendi kehidupan masyarakat setidaknya untuk 5 tahun mendatang, bahkan mungkin lebih.

Semua pasti setuju bahwa hirup pikuk kampanye pilgub ini telah mendominasi banyak percakapan, baik di berbagai pertemuan nyata ataupun secara virtual di sosial media. Di segala kebisingan ini, satu hal yang terpikir oleh saya, “Apakah nanti anak-anak saya bisa membuat pilihan terbaik untuk hidup mereka, jika saatnya tiba mereka harus memilih?” Dalam kehidupan dewasa mereka nanti, mereka akan harus memilih banyak hal yang akan berpengaruh dalam menentukan arah hidup mereka. Memilih teman. Memilih hobi. Memilih pasangan. Memilih pekerjaan. Memilih pemimpin. Memilih untuk mengatakan ya. Atau memilih untuk mengatakan tidak. .

Bagaimana saya bisa memastikan, bila tiba saatnya mereka untuk memilih, mereka bisa memilih dengan pikiran jernih dan akal sehat, bisa menyaring pilihan berdasarkan nilai-nilai dan konsekuensi. Bisa memutuskan sendiri, tidak mengikuti saja suruhan orang lain, tidak mudah terpengaruh dengan hasutan orang-orang yang sesungguhnya tidak peduli pada kepentingan terbaik anak-anak saya?

Setelah saya pikirkan, saya menyadari, tidak mungkin memastikan bahwa semua pilihan mereka akan selalu menjadi pilihan terbaik. Yang bisa saya lakukan, memastikan mereka terbiasa untuk memilih atas dasar kemauan dan keinginan mereka. Untuk belajar bahwa semua pilihan mereka terpaku pada konsep sebab-akibat. Bahwa pilihan mereka bisa berdampak pada orang lain juga. Bahwa banyak faktor yang harus dipertimbangkan sebelum bisa mengambil keputusan.

Saya cukup lega saat menyadari, bahwa saya sebenarnya sudah membiasakan anak-anak saya untuk memilih sejak mereka bisa mengutarakan keinginan mereka. Tentunya karena masih sangat muda, saya tetap membuat keputusan-keputusan terbesar dalam hidup mereka, namun saya biarkan mereka membuat keputusan untuk hal-hal kecil setiap harinya dalam keseharian mereka.

Mereka saya biarkan untuk memilih baju atau sepatu yang ingin mereka kenakan. Seringkali padanan atasan dan bawahan tidak nyambung samasekali, tapi itu adalah ekspresi mereka, jadi saya biarkan. Pernah mereka memaksa untuk menggunakan sepatu ala princess saat ada pelajaran olahraga di sekolah. Saya biarkan, sehingga mereka menyadari, tidak selamanya sepatu ala princess adalah pilihan terbaik. Yang pasti tidak saat harus berlari keliling lapangan sambil melempar bola. Mereka belajar soal konsekuensi.

Anak tertua saya pernah keukeuh untuk menonton sampai habis serial TV kesayangan di rumah dan bukannya langsung berangkat sekolah sebagaimana mestinya. Hasilnya, rombongan kelasnya yang hendak berangkat karyawisata harus menunggunya hingga terlambat, dan dia menjadi anak terakhir yang masuk ke dalam bis. Sekarang ia tidak pernah memaksa nonton TV lagi di pagi hari, karena ingat bagaimana tidak enaknya membuat satu kelas telat.

Mereka juga saya libatkan dalam hal memilih menu makanan. Agar mereka tidak punya alasan untuk menolak makanan yang terhidang. Kan itu pilihan mereka. Tapi kalau memang sangat tidak suka, mereka juga belajar untuk memilih menu lain di kesempatan berikutnya.

Terkadang, saya juga berdiskusi dengan mereka mengenai pilihan yang harus saya buat. Beli kado ulangtahun apa yah buat Opung? Saya beritahukan variabel-variabel yang harus saya perhitungkan, dari harga, minat Opung, dan kado apa yang akan paling berguna baginya. Saya biarkan mereka tahu kenapa pada akhirnya saya memutuskan untuk membeli kado yang akhirnya saya pilih. Begitupun dengan destinasi liburan keluarga. Saya informasikan pro dan kontra dari berbagai pilihan, dan juga membagi alasan mengapa kami orangtuanya memutuskan untuk mengajaknya ke sana.

Untuk anak saya tertua, pada ulangtahunnya yang keempat, saya melibatkannya dengan memberikan pilihan tema pesta, menanyakan padanya siapa saja yang dia mau undang, dan saya berikan juga pilihan tempat dimana pesta bisa diadakan. Selain mengajari anak membuat keputusan, proses ini juga merupakan bonding-moment yang sangat menyenangkan.

Yang saya dapati, dari kebiasaan memilih yang mereka lakukan, mereka menjadi anak-anak yang percaya diri. Mereka menjadi yakin akan kemampuan mereka. Mereka juga menjadi lebih peka pada orang di sekeliling mereka, dan lebih peduli pada kebutuhan orang lain. Karena terlatih dalam memilih, mereka juga tidak mudah dipengaruhi orang lain untuk memilih hal lain yang menurut mereka tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Saya berharap ini akan membantu mereka saat mereka diajak untuk melakukan hal-hal tidak benar nantinya, seperti ajakan menggunakan narkoba ataupun peer pressure lainnya.

Rencananya, seiring usia mereka bertambah, maka akan lebih banyak kesempatan saya berikan pada mereka untuk melakukan pilihan. Semakin sedikit batasan yang saya berlakukan, dan semakin luas lingkup pilihan yang menjadi dasar pemikiran mereka. Saya hanya bisa berharap, semua ini bisa membantu mereka menjadi pengambil keputusan yang baik nantinya. Setidaknya, saya berharap dari mulai bertanggungjawab dalam memilih sepatu untuk sekolah, mereka pun bisa dengan bertanggung jawab membuat pilihan terbaik saat tiba momen penting dalam hidup mereka, dimana antara satu pilihan dengan lainnya dapat menentukan bukan hanya hidup mereka, namun juga hidup banyak orang.

Momen seperti itulah yang sedang kita alami sekarang, dalam momen Pilkada 2017. Semoga siapapun pilihan rakyat, adalah pilihan terbaik untuk daerah kita masing-masing. Dan yang terbaik untuk masa depan anak-anak kita. Agar merekapun kelak tetap bisa memilih arah hidup sesuai aspirasi mereka.