Kekerasan dalam bentuk apa pun yang dialami anak tentu membawa dampak. Selain stres dan depresi, kekerasan yang dialami juga dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara psikis maupun fisik. Dampak yang dialami anak berbeda-beda, tergantung dari jenis kekerasan yang mereka alami dan cara mereka menerima tindak kekerasan tersebut.
Dra. Mayke Tedjasaputra, M.Psi, Ahli Psikologi anak dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia mengatakan, anak yang memiliki pengalaman buruk dengan perlakuan kasar dari orangtuanya, berpotensi dapat melakukan hal yang sama terhadap keturunannya kelak. Tanpa sadar, mereka meniru sisi brutal dari orangtuanya, seperti saat tindak kekerasan terjadi.
“Karena meniru, anak bisa melakukan hal yang sama pada keturunannya kelak. Yang jelas, perkembangan kepribadian psikis anak akan terganggu. Mereka juga akan menjadi sangat agresif dan marah kepada lingkungan karena yang dia alami adalah sesuatu yang negatif,” tutur Mayke.
Contoh nyata bahwa kekerasan memengaruhi kejiwaan seseorang adalah penguasa Nazi dan pembunuh berdarah dingin, Adolf Hitler. Hitler mengalami kekerasan dari ayahnya sejak usia 7 tahun. Sang ayah sangat membenci Hitler karena menganggapnya anak yang aneh dan antisosial. Pengalaman tersebut ternyata menumbuhkan dendam hingga Hitler tumbuh menjadi manusia yang sangat dingin dan kejam.
Selain menjadi agresif, anak yang mengalami kekerasan seringkali menjadi orang yang mudah takut, sangat cemas, lemah, sulit bergaul, introvert, tidak percaya diri, merasa tidak aman, hingga depresi. Efek traumatis ini juga dapat membuat prestasi belajar Si Kecil menurun. Selain itu, trauma anak tersebut juga bisa muncul sewaktu-waktu saat ia melihat peristiwa yang sama terjadi pada orang lain.
Pada dampak kekerasan fisik, biasanya akan meninggalkan bekas lebam, kerusakan fisik, kecacatan, hingga kematian. Sementara, pada kekerasan seksual biasanya menimbulkan trauma sangat mendalam yang memengaruhi masa depan, seperti takut menikah, penyimpangan seksual, atau kasus transgender maupun transeksual saat mereka beranjak dewasa.
Namun, tidak semua anak korban kekerasan akan mengalami dampak negatif. Mayke mengungkapkan, dalam beberapa kasus, terdapat anak yang justru mengambil sisi positif dari kejadian yang pernah ia alami. “Dari segi kepribadian, anak tersebut memiliki suatu nilai plus dalam dirinya yang membuat dia mencoba untuk bangkit dan mengalami turning point. Jadi, ia tidak mau melakukan hal yang sama. Ia juga melihat akibat-akibat yang dia rasakan, dan ia tidak mau itu terulang dengan anaknya nanti,” kata Mayke.
Selain itu, dampak buruk yang ia pernah rasakan juga bisa menjadi motivasi seorang anak tertentu untuk berprilaku lebih positif dan tidak mau menyakiti orang lain. Untuk mengatasi anak yang sudah terlanjur mengalami trauma, memang diperlukan beberapa pendekatan. Untuk kondisi yang sudah parah, diperlukan terapi psikologis khusus yang ditangani oleh tenaga ahli. Tidak hanya itu, dukungan dan kemauan orangtua untuk berubah juga sangat diperlukan dalam mengatasi masalah ini. Karena sejatinya, perkembangan kepribadian dan karakter seorang anak berawal dan terbentuk dari kehidupan yang ia jalani di rumah. Kehidupan keluarga yang kondusif, memiliki kesempatan lebih besar dalam membentuk pribadi yang baik pada keturunan mereka.
Baca: Kekerasan pada Anak (3): Saat Rumah Tak Lagi Aman
(Aulia/freedigitalphotos)