Hipertensi paru merupakan salah satu penyakit kronis langka yang sangat berbahaya. Karena dapat menyebabkan sesak napas akut, tubuh lemas, hilang kesadaran, hingga kematian. Hipertensi paru adalah kondisi terjadinya tekanan darah tinggi di arteri paru, membuat jantung kanan bekerja lebih keras. Saat ditemui di Dialog Publik "Kenali, Cegah, dan Obati Penyakit Hipertensi Paru di Indonesia" pada 24 September, Prof. Dr. dr. Bambang Budi Siswanto, Sp.JP(K), Fascc, FAPSC, FACC, Ahli Hipertensi Paru, menyatakan bahwa penyakit ini paling banyak diidap oleh anak usia 0-9 tahun.
Faktor genetik berperan penting dalam memicu munculnya penyakit ini. Hipertensi paru pada anak banyak disebabkan oleh adanya kelainan jantung bawaan (KJB). 8 dari 1.000 kelahiran memiliki KJB. Kelainan jantung yang dapat memicu hipertensi paru antara lain lubang di serambi kanan, bilik kanan, atau bagian luar jantung. Menurut Dr. Lucia Kris Dinarti, Sp.PD, Sp.JP, Ahli Hipertensi Paru dari Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta, lubang-lubang ini umum muncul pada janin, tapi kemudian menutup seiring perkembangan janin.
Berbeda dari hipertensi sistemik, hipertensi paru lebih sulit didiagnosa. “Bila hipertensi sistemik biasa, kita bisa periksa dengan alat tensi dengan mudah. Tapi tidak dengan hipertensi paru, karena gejalanya yang tidak spesifik,” tutur Prof. Bambang. Hal ini menyebabkan penanganan yang cenderung terlambat ataupun sangat terbatas, sehingga tak jarang para pengidap hipertensi paru memiliki daya hidup yang sebentar sejak terdiagnosa.
Dr. Kris menyatakan bahwa sebenarnya hipertensi paru bisa dicegah, yaitu dengan memeriksakan keadaan jantung sejak dini. Deteksi ini bisa dilakukan sejak masih berupa janin, melalui langkah fetal echocardiographic atau USG jantung pada janin. Mencontoh Jepang, pemeriksaan sebaiknya dilakukan secara berkala. Mulai masih di dalam kandungan, berusia sebulan, tiga bulan, satu tahun, tiga tahun, enam tahun, lalu ketika ia berada di kelas satu SMP, dan kelas satu SMA.
Upaya ini merupakan salah satu cara untuk mengetahui bila dimilikinya KJB pada anak. Tindakan pencegahan dapat dimulai berdasarkan kondisi KJB yang dimiliki anak. Karena, lebih baik mencegah daripada mengobati. Dari 14 jenis obat, di Indonesia baru diedarkan satu jenis obat saja. Harganya pun tak murah. Satu tablet obat jenis Beraprost dijual dengan harga Rp 4.700, dan umumnya obat dikonsumsi sebanyak 3 kali sehari.
Selain KJB, hipertensi paru juga ditemukan pada penderita penyakit autoimun atau lupus, HIV, pembekuan darah (emboli), dan sebagainya. Tindakan penanganan juga dapat diambil melalui deteksi awal untuk mencegah hipertensi paru yang semakin parah.
Jadi, jangan segan bersambang ke dokter untuk memeriksakan jantung Si Kecil ya, Moms. (Gabriela Agmassini/SW/Dok. M&B)