Salah satu hal yang paling dikhawatirkan orang tua adalah ketika anaknya mengalami gangguan belajar, seperti disleksia. Mungkin beberapa Moms ada yang bertanya, apa sih yang dimaksud dengan disleksia? Menurut American Academy of Pediatrics (AAP), disleksia adalah kesulitan membaca, mengeja, dan menulis.
Mitos dan Fakta Seputar Disleksia
Ada banyak mitos mengenai disleksia yang beredar di luar sana, namun tentu saja tidak semuanya benar, Moms. Untuk menambah kewaspadaan Anda akan masalah belajar yang satu ini, simak beberapa mitos dan fakta berikut ini yuk, Moms.
Mitos 1: Tanda utama disleksia adalah membaca huruf dari belakang.
Mengutip laman Understood, sebuah organisasi yang fokus pada masalah belajar anak, tidak semua anak disleksia membaca dan menulis dari belakang. Jadi ini bukan satu-satunya tanda pasti anak Anda mengalami disleksia. Faktanya, anak normal pun sering salah melihat huruf, seperti huruf b dan d, atau p dan q yang sekilas terlihat mirip.
Mitos 2: Disleksia tidak terlihat pada balita.
Menurut AAP, tanda-tanda disleksia bisa muncul kapan saja, bisa di usia prasekolah, atau bisa juga lebih awal lagi.
Mitos 3: Kalau anak belum belajar baca, maka disleksia belum bisa terdeteksi.
Tanda disleksia bisa muncul pada usia berapa saja, walaupun anak belum belajar membaca. Ini karena disleksia juga memengaruhi kemampuan berbahasa Si Kecil, yang merupakan moda utama belajar membaca.
Mitos 4: Anak telat berbicara, bisa jadi tanda disleksia.
Karena disleksia juga memengaruhi kemampuan berbahasa anak, maka anak yang telat berbicara bisa menjadi tanda ia mengalami disleksia. Tanda lainnya adalah ia kesulitan rhyming atau menyesuaikan bunyi (bersajak).
Mitos 5: Disleksia bisa diatasi jika anak mau belajar baca lebih giat.
Ini mitos yang sangat salah ya, Moms. Faktanya, penelitian menguak bahwa kerja otak memang berbeda pada anak yang mengalami disleksia. Maka sekeras apa pun anak berusaha belajar, ia akan terus mengalami kesulitan membaca, mengeja, atau menulis. Menurut Understood, tipe instruksinya yang harus diubah, bukan intensitas belajarnya.
Mitos 6: Disleksia akan hilang jika anak mulai belajar baca.
Intervensi yang tepat bisa membantu anak disleksia bisa belajar membaca, namun itu bukan berarti disleksia hilang atau berhasil disembuhkan.
Mitos 7: Disleksi bisa disembuhkan.
Sayangnya, berita baik ini hanya mitos. Menurut AAP, disleksia adalah gangguan belajar yang berlangsung seumur hidup, dan bisa memengaruhi lebih banyak aspek lagi di hidup anak dari sekadar kemampuannya membaca.
Mitos 8: Disleksia adalah masalah penglihatan.
Masalah kesehatan mata tidak ada sangkut pautnya dengan disleksia. Begitu juga sebaliknya, anak yang disleksia tidak berarti lebih rentan bermasalah dengan kesehatan mata dibandingkan anak lainnya.
Mitos 9: Disleksi adalah penyakit keturunan.
Walau belum diketahui kebenarannya, namun umumnya saudara, anak, atau orang tua dari pengidap disleksia juga akan mengalami disleksia.
Mitos 10: Anak disleksia pasti memiliki IQ rendah.
Disleksia bukan masalah kecerdasan anak. Anak dengan semua tingkat kecerdasan bisa saja mengalami disleksia.
Mitos 11: Disleksi disebabkan anak telat diajarkan membaca.
Disleksia adalah masalah neurological, dan tidak terjadi karena kurangnya minat membaca atau telatnya orang tua mengajarkan anak membaca.
Mitos 12: Anak bilingual lebih rentan mengalami disleksia.
Semua anak dari seluruh penjuru dunia dan menggunakan berbagai bahasa bisa mengalami disleksia. Namun menurut Understood.org, terkadang orang tua dari anak bilingual lebih lama menyadari anaknya mengalami disleksia. Ini mungkin karena mereka mengira anaknya hanya kesulitan memahami dua bahasa, bukan disleksia. (Tiffany Warrantyasri/SW/Dok. Freepik)