Moms, mungkin Anda pernah mendengar istilah OCD. Ini merupakan singkatan dari obsessive-compulsive disorder, bentuk gangguan mental di mana orang yang mengalaminya akan memikirkan berbagai hal buruk tertentu secara berulang kali dan melakukan upaya pencegahan dengan berlebihan.
Sebuah penelitian menemukan bahwa saat hamil, wanita cenderung mengalami gangguan mental OCD tersebut. Bentuk gangguan yang sering dialami oleh wanita hamil antara lain adalah terobsesi untuk selalu bersih-bersih, selalu memeriksa keadaan janin atau bayinya, dan timbulnya pikiran-pikiran buruk mengenai masa depan janin di dalam kandungannya.
"Kebanyakan ibu hamil yang mengalami OCD terus memikirkan janinnya. Mereka selalu berpikir bahwa janin mereka menghadapi bahaya. Biasanya, kondisi ini terbawa sampai setelah melahirkan. Akibatnya, penderita OCD, tidak mau berdua saja dengan bayinya karena takut hal buruk akan terjadi pada bayi mereka," kata Profesor Paul Salkovskis, psikolog klinis dari King's College, London.
Menurut Salkovskis, sangat sulit untuk ibu hamil mengatasi masalah OCD ini jika tidak mendapat bantuan dari para ahli. "Masalahnya, kebanyakan orang-orang yang berhubungan dengan perawatan ibu hamil, dokter, perawat, bidan, tidak mengerti bagaimana cara menangani gangguan OCD ini," Tambahnya lagi.
Anakku Dalam Bahaya!
Sebuah penelitian meneliti wanita dengan OCD berusia 40-50 tahun yang ternyata gejala gangguannya muncul ketika mereka hamil. "Sebenarnya, mungkin saja kejadian itu hanya kebetulan. Namun setelah melalui penelitian panjang, diketahui bahwa kehamilan dan meningkatnya rasa tanggung jawab sebagai orang tua menjadi pemicu timbulnya OCD," jelas Salkovskis.
Saat hamil, para ibu cenderung memikirkan banyak hal yang terkait dengan bayi di dalam kandungannya. Para ibu merasa perlu menghalau segala hal yang mereka pikir dapat membahayakan bayinya. Mereka jadi cenderung terlalu bersih, mengecek segala hal berulang-ulang (misalnya memastikan Si Kecil masih bernapas), dan semua kegiatan itu akhirnya menjadi suatu obsesi yang menyakitkan.
Risiko OCD bisa juga ditimbulkan oleh peristiwa persalinan yang memengaruhi emosi dan fisik seorang ibu. Menurut Dr. Ian Jones, psikiater perinatal dari Cardiff Univesity, ada kemungkinan hormon memengaruhi kecenderungan gangguan ini. Namun, hormon bukanlah faktor kunci OCD.
Gejala OCD
Menurut Salkovskis, ada tiga karakteristik gejala OCD. Pertama, tanda umum OCD adalah selalu mencuci tangan karena ketakutan terkontaminasi kuman penyakit. Karakteristik kedua, selalu berusaha mengecek segala hal berlangsung dengan semestinya.
Ibu dengan karakteristik kedua akan selalu merasa perlu melihat apakah bayinya masih bernapas. "Di saat Anda tidak bisa melakukan hal lain, menjadi takut tidur, dan tidak bisa mengalihkan perhatian dari bayi Anda, artinya Anda dalam masalah besar," ujar Salkovskis.
Karakteristik ketiga adalah pikiran-pikiran negatif yang selalu muncul mengenai keselamatan Si Kecil. Ketika penderita OCD berusaha menghilangkan pikiran itu, yang terjadi malah pikiran itu semakin kuat. Akibatnya, penderita OCD tidak dapat melakukan hal lain, menjadi stres, depresi, dan akhirnya merasa tidak pantas menjadi orang tua.
Bisakah Disembuhkan?
Bagi beberapa orang, OCD akan hilang begitu penyebab stres berkurang dan para ibu mulai memahami kondisi sebenarnya. Tetapi, pada beberapa orang lainnya, gejala akan semakin parah. Menurut Salkovskis, jika dalam enam bulan gejala tidak lenyap, maka Anda harus mencari bantuan.
Biasanya, jika OCD sangat parah, penderita akan mendapat perawatan terapi perilaku yang dipadukan dengan pengobatan anti-depresi. Dokter akan memberikan obat penenang semacam Prozac untuk menolong penderita OCD. (M&B/Vonia Lucky/SW/Dok. Freepik)