Tak ada rumah tangga yang benar-benar sempurna. Setiap keluarga dan pasangan pasti akan menemukan masalahnya masing-masing. Salah satu masalah yang kerap terjadi di antara pasangan yang menjalani kehidupan berumah tangga adalah munculnya orang ketiga atau perselingkuhan.
Akibat dari perselingkuhan sangat berbahaya, banyak keluarga yang hancur dan memilih jalan perceraian. Memang ada juga pasangan yang memilih untuk berdamai dan saling memaafkan. Namun, sebelum sampai kepada keputusan akhir itu, akan selalu ada pertengkaran dan prahara di dalam rumah tangga.
Perselingkuhan tidak hanya menjadi masalah antara pasangan, tapi juga akan berimbas pada buah hati Anda berdua. Pasalnya, perselingkuhan yang dilakukan orang tua ternyata membawa dampak yang sangat serius dan berkepanjangan pada psikologi anak.
Menurut Huffington Post, ada sekitar satu juta anak yang orang tuanya bercerai akibat perselingkuhan setiap tahun. Dampak orang tua yang selingkuh bisa membuat anak mengalami syok, marah, gelisah, dan bahkan malu dengan keadaan sekitar karena keluarganya berpisah. Parahnya lagi, anak mungkin akan memiliki masalah dalam membangun kepercayaan, cinta dan kasih sayang dengan seseorang ke depannya nanti.
Catherine Ford Sori, seorang penulis dan psikolog keluarga dari Chicago Center For Family Health, AS, telah menggambarkan reaksi dan dampak psikologis anak-anak akibat adanya perselingkuhan berdasarkan usia mereka berikut ini:
Pada Anak Balita
Pada anak-anak usia balita, mereka mungkin tidak sepenuhnya memahami apa yang telah terjadi pada orang tuanya. Namun, bagaimanapun trauma dapat muncul karena adanya perubahan suasana emosional di rumah.
Si Kecil akan mulai merasa bahwa suasana yang tadinya terasa normal mulai hilang dan hancur akibat ketidakharmonisan orang tuanya. Si Kecil mungkin tidak akan bisa dengan mudah mengungkapkan isi hatinya, tetapi ia akan menunjukkan tanda-tanda seperti mudah sakit, kembali mengompol, mengisap jempol, tantrum, atau sulit tidur saat malam hari.
Rusaknya hubungan orang tua akan membuat Si Kecil menangkap sinyal itu dan merasa lingkungannya telah hancur. Ia pun akan mulai merasa mudah takut ditinggalkan.
Pada Anak yang Lebih Besar
Anak yang lebih besar tentu akan mengalami trauma akibat perselingkuhan yang dilakukan orang tuanya. Usia dan kemampuan anak yang lebih besar membuatnya lebih mudah untuk mengungkapkan kecemasan dengan kata-kata tentang apa yang ia rasakan atau pikirkan.
Semakin tua seorang anak, semakin ia mampu berpikir abstrak, jadi khawatir tentang apa yang akan terjadi pada keluarga dan bagaimana kehidupan mereka akan berubah dan kehilangan salah satu figur orang tua jika nantinya terjadi perceraian.
Anak akan menarik diri atau malah mulai bertingkah demi mendapatkan perhatian orang tuanya. Hal lain yang bisa dilakukan untuk mengalihkan perasaan emosionalnya misalnya adalah mengutil, vandalisme, berkelahi, melarikan diri dari rumah, hiperaktif, atau bahkan mengancam bunuh diri. Semua itu merupakan reaksi yang umum dialami seorang anak.
Pada Anak Praremaja dan Remaja
Semakin dewasa usia seorang anak, semakin mudah ia mengerti konflik seputar perselingkuhan yang dilakukan oleh salah satu atau kedua orang tuanya. Pada anak remaja, orang tua juga seringkali melibatkan mereka untuk mengambil keputusan atau terlibat dalam konflik.
Anak mungkin akan diminta untuk menyimpan rahasia atau diharapkan untuk memilih pihak. Padahal, meminta seorang anak, secara terbuka atau terselubung, untuk memihak salah satu orang tuanya sama dengan meminta seorang anak kehilangan orang tuanya itu sendiri. Ini selalu memiliki konsekuensi emosional yang parah. Menyembunyikan rahasia dari satu atau kedua orang tua dapat menciptakan rasa bersalah yang mengerikan dan perasaan diri sendiri sebagai perusak dan penyebab masalah. (Binar MP/SW/Dok. Freepik)