Sering dikatakan bahwa tidak ada manusia yang bisa meraih skor sempurna dalam hidup. Kecuali, Nadia Comaneci (yang mengerti pasti angkatan tua). Lalu, mengapa banyak ibu rumah tangga selalu berusaha terlihat sempurna melalui pencitraan di media sosial dan cerita yang dibagi saat arisan, ataupun segala usaha tiap harinya?
Apakah ini akibat dari meningkatnya fenomena mommy pressure? Ya, mommy pressure is real. Tekanan untuk menampilkan pernikahan yang bahagia dengan anak-anak pintar yang berperilaku sempurna, untuk menjadi istri jagoan yang langsing dan pintar memasak, memiliki karier yang membanggakan, ataupun rumah yang selalu terlihat rapi bak gambar di majalah interior. Semua ini bukan hanya melelahkan, tapi juga tidak mungkin, setidaknya bagi saya.
Apalagi kalau sudah urusan merawat anak. Begitu banyak corong-corong suara yang berkumandang kencang 'menginjilkan' cara perawatan anak yang paling baik dan benar. Anak harus diberi ASI. Anak harus diberi makanan home-made yang sehat dengan produk organik. Sang Ibu harus selalu siap mendampingi dan tidak mengandalkan babysitter. Biasanya, semua gerakan ini memiliki himpunan pengikut fanatik yang siap menyebarkan isu serupa bagi ibu lain yang entah karena alasan apa pun tidak menjalankan keyakinan ataupun ritual yang sama.
Saya mengakui, saya juga sempat mengikuti perlombaan tanpa henti menuju gelar ibu sempurna ini. Dan sekeras apa pun usaha saya, sering kali saya merasa bahwa saya ibu yang gagal. Suatu kali, saya curcol pada seorang rekan kerja, menceritakan Lilou, batita saya, yang hanya mau makan nasi putih tanpa lauk apa pun, dan karena saya sedang lelah, saya tidak memaksa atau berusaha apa pun untuknya. Jadi, ya sudahlah, itu yang saya berikan kepadanya. Si Teman sesama ibu ini memandang saya dengan mata terbelalak, sambil berkata dengan suara tertahan, “Ah keterlaluan kamu, dibiarkan begitu saja anak hanya makan nasi? Saya sih tidak mungkin seperti itu, dan kalaupun akhirnya Si Kecil hanya makan nasi, saya tidak akan cerita ke siapa-siapa,” ujarnya.
Pernah beberapa kali saya dengar ada ibu yang merasa minder, terintimidasi, dan bahkan malu, karena tidak memberikan ASI eksklusif, apa pun alasannya. Kenapa mereka bisa merasa seperti itu? Dugaan kuat, lagi-lagi karena mommy pressure. Tampaknya ada asumsi, jika kita tidak melakukan sesuai dengan kisi-kisi aturan (tak tertulis) perilaku ibu sepantasnya, berarti kita bukan ibu yang baik. Bahkan lebih kejamnya lagi, berarti kita tidak terlalu sayang pada anak. Dengan kata lain, orang sangat mudah menghakimi. Judging other mommies, instead of understanding or better yet, supporting. Salah satu efek mommy pressure!
Pekerjaan menjadi ibu adalah pekerjaan paling sulit di dunia, dengan tanggung jawab paling besar. Jika CEO perusahaan multinasional pun dimaklumi jika target kerja tidak tercapai, kenapa pengertian itu tidak bisa diberikan kepada seorang ibu? Ibu kan juga manusia biasa, bukan manusia super (langsung berdendang I Am Not Your Superwoman-nya Karyn White).
Tentunya, tak ada yang salah dengan keinginan untuk menjadi lebih baik. Namun, jika usaha mengejar kesempurnaan pada akhirnya hanya membuahkan frustrasi bahkan depresi, mungkin kita harus meninjau kembali cara pandang dan menentukan ulang fokus kita.
Saya rasa, ada baiknya kita berhenti sejenak dari keriuhan agenda tanpa henti dari misi menjadi ibu sempurna untuk berpegang tangan bersama-sama demi menyerukan sebuah deklarasi. Silakan letakkan buku resep makanan balita sehat, popok kain kotor hari ini, agenda kegiatan preschool Si Kecil, paket baby gym, ataupun pompa ASI yang Anda pegang. Mari kita ulangi kata-kata berikut.
Deklarasi Ibu Tidak Sempurna
1. Saya menyadari bahwa saya tidak bisa melakukan segalanya secara sempurna. Tidak ada yang salah dengan meminta dan menikmati bantuan.
2. Saya menyadari, secanggih apa pun tampak dari luar, para ibu lain sebenarnya juga kerepotan dan tidak bisa melakukan segalanya dengan sempurna.
3. Kalaupun ternyata ada jenis 'ibu super' yang menjadi anomali dengan membuktikan bahwa ia bisa melakukan segalanya dengan sempurna, kita tidak boleh merasa iri dan langsung rendah diri karenanya.
4. Kalau kita melihat dan menyaksikan secara langsung ada sesama ibu yang menjalankan tugas rumah tangganya tidak sesuai standar atau ada yang salah, kita tidak akan menghakimi mereka.
5. Kita akan tetap merasa bahagia menjalani hari-hari sebagai ibu yang tidak sempurna, dan mensyukuri semua berkah, sekecil apa pun.
Mari kita 'rangkul' ketidaksempurnaan kita. Karena seorang Nadia Comaneci, atlet pertama yang meraih angka sempurna 10 di arena senam olimpiade (1976), juga punya kekurangan saat menjadi seorang ibu. (Cisca Becker/DMO/Dok. M&B)