Pandemi akibat COVID-19 masih berlangsung. Pengaruhnya pun tak hanya dirasakan oleh orang dewasa. Anak-anak di berbagai usia juga merasakan perubahan yang menyangkut aktivitas mereka dan ini membuat emosi mereka jadi bergejolak.
Si Kecil tentu sedikit banyak merasakan beratnya tidak pergi ke sekolah, tidak bertemu teman untuk bermain bersama, atau tidak bisa jalan-jalan ke tempat yang menyenangkan dengan leluasa. Situasinya benar-benar membuat mereka bertanya-tanya, "Benarkah ini dunia yang aku kenal?"
Berbeda dengan orang dewasa yang bisa lebih terbuka dalam menunjukkan emosi yang dirasakan, anak-anak cenderung sulit melakukan hal tersebut. Karenanya, orang tua perlu menanyakan kondisi anak bukan hanya secara fisik, tapi secara mental yang berkaitan dengan perkembangannya selama ini.
Tujuannya tentu untuk memastikan bahwa anak masih "sadar" dengan apa yang terjadi pada dirinya dan lingkungan di sekitar. Namun, perlu diingat bahwa pertanyaan Anda bukan untuk memberikan jawaban yang pasti di saat yang tidak pasti ini, melainkan untuk mengajarkan Si Kecil tentang sikap dalam menghadapi situasi yang berat ini.
"Tugas kita sebagai orang tua bukanlah memberikan kepastian di saat yang tidak pasti. Tugas orang tua adalah membantu anak-anak menolerir ketidakpastian yang sedang terjadi dan dirasakan anak, "jelas Dr. Jerry Bubrick, psikolog klinis di Child Mind Institute, seperti dilansir dari Father.ly.
Anak Belajar Menyampaikan Perasaan
Baik dari televisi maupun media sosial, anak jadi tahu kondisi dunia yang cukup mengerikan saat ini. Karenanya, wajar jika Si Kecil membutuhkan kepastian bahwa di situasi ini ia tetap dicintai dan mendapat perlindungan dari sosok-sosok yang tepat. Namun, mereka belum dapat menyampaikan hal tersebut secara terbuka.
Moms dan Dads perlu meyakinkan anak untuk berani menyampaikan perasaan mereka dan alasan di baliknya. Setelah ia mampu mengatakannya, orang tua pun perlu memvalidasi perasaan tersebut sehingga anak tidak menganggap hanya dirinya sendiri yang merasakan beban tersebut.
"Anda dapat mengatakan hal-hal seperti, 'Mama juga merasakan kekhawatiran seperti kamu. Yuk, cerita sama mama dan papa. Kita bersama-sama mencari cara supaya segala hal yang kita hadapi bisa menjadi lebih baik.' Intinya, anak bukan hanya mendengarkan Anda saja, tapi ada percakapan untuk menyikapi situasi ini," jelas Bubrick.
Untuk memulai semua hal tersebut, Anda bisa mengajukan pertanyaan yang tentu membutuhkan penjelasan yang spesifik, seperti yang disarankan Bubrick berikut ini:
⢠Apa yang kamu pelajari hari ini?
⢠Hal menarik apa yang kamu dengar hari ini?
⢠Apa hal paling menyenangkan yang kamu lakukan hari ini?
⢠Apa yang paling kamu nantikan besok?
⢠Apa bagian tersulit menurutmu hari ini?
⢠Apa yang tidak kamu sukai dari hari ini?
⢠Apa yang menghalangi kamu untuk bersenang-senang hari ini?
⢠Apa yang bisa kita lakukan bersama untuk membuat perasaan (atau situasi) menjadi lebih baik?
⢠Mama membaca sesuatu yang menarik hari ini, dan ingin tahu, bagaimana reaksi kamu saat mendengarnya, ya?
Waktu yang Tepat untuk Bertanya
Beragam pertanyaan di atas rasanya tidak mudah untuk dilontarkan di sembarang waktu. Menurut Bubrick, menanyakannya menjelang Si Kecil tidur bukanlah hal yang tepat. Pada waktu tersebut, anak diharapkan tidak memiliki kekhawatiran atau rasa cemas yang justru membuatnya jadi sulit tidur.
Jangan juga bicarakan situasinya sesaat setelah mereka bangun tidur, di mana ia baru saja akan memulai harinya. "Temukan waktu yang cukup netral, seperti saat makan malam dan dibicarakan tanpa diakhiri dengan perdebatan besar. Ciptakan situasi yang tenang supaya pembicaraan bisa dari hati-ke-hati," tambah Bubrick.
Selain itu, jangan buat percakapan menjadi rumit dan berbelit-belit. Gunakan kata-kata sederhana supaya anak lebih mengerti. Jelaskan juga bahwa situasi yang ia alami juga dirasakan oleh teman-temannya yang juga harus di rumah saja, sehingga ia bisa berusaha untuk memahami kondisi ini dengan lebih tenang. (Vonia Lucky/SW/Dok. Freepik)
- Tag:
- balita
- anak
- emosi anak
- mental anak