Type Keyword(s) to Search
FAMILY & LIFESTYLE

7 Tanda Anda Telah Menjadi Toxic-Mom untuk Si Kecil

7 Tanda Anda Telah Menjadi Toxic-Mom untuk Si Kecil

Semua orang tua tentu menginginkan segala hal terbaik untuk anaknya, mulai dari edukasi terbaik, nutrisi terbaik, hingga pola asuh terbaik. Sayangnya, alih-alih menerapkan pola asuh yang baik, orang tua sering kali tak sadar telah menjadi sosok toxic-mom bagi anaknya sendiri. Maksud Anda mungkin membentuk karakter baik seperti yang Anda harapkan, namun caranya sering kali salah.

Apa saja ciri toxic-mom yang kerap tak disadari orang tua? Yuk, ketahui tanda Anda telah menjadi toxic-mom bagi buah hati Anda sendiri. Semoga Anda bukan salah satunya ya, Moms.

1. Terlalu kritis

Memberikan kritik membangun tentu baik untuk anak, namun tidak demikian jika kritik yang diberikan sudah berlebihan. Bukannya mengkritik, toxic-mom cenderung untuk sering menyalahkan segala hal yang telah dilakukan anak. Maksud Anda mungkin ingin anak tidak mudah berpuas diri atau ingin anak berusaha lebih maksimal lagi, tetapi terus-menerus mengkritik anak secara berlebih adalah sikap toxic yang harus segera dihentikan! Anak juga butuh diapresiasi lho, Moms. Jika usahanya belum maksimal, lebih baik bantu ia mencari solusi, bukan hanya mengkritik tanpa alasan jelas.

2. Menjadikan anak sebagai lelucon

"Anak saya yang gendut itu kalau makan rakus banget, persis sapi di peternakan!" Familiar dengan kalimat seperti itu? Itu adalah contoh lelucon yang sering dilontarkan toxic-mom. Padahal, tidak ada yang lucu dengan menjadikan anak sebagai bahan lelucon. Jika Anda ingin menyampaikan kekhawatiran Anda tentang kekurangan pada diri anak, sampaikan dengan jujur dan tanpa mengkritik berlebih, bukan dengan menjadikannya lelucon.

3. Membatasi emosi anak

Semua manusia memiliki berbagai emosi, baik yang positif maupun negatif. Setiap anak berhak dan perlu mengenal cara menunjukkan emosi. Sayangnya, toxic-mom sering kali membatasi atau melarang anak meluapkan emosi negatifnya, seperti dilarang menangis, marah, panik, dan bingung.

Mengutip Life Hack, mengabaikan perasaan dan emosi negatif anak justru bisa membuat anak depresi lho, Moms. Anak yang depresi justru akan lebih sulit untuk menguasai cara tepat menunjukkan emosi negatif di kemudian hari. Jangan kaget kalau kelak emosinya sering meletup-letup.

4. Mementingkan perasaan diri sendiri

Seorang toxic-mom sering mengutamakan perasaan dirinya sendiri, tanpa memikirkan perasaan anak dan anggota keluarga lainnya. Ya, kami mengerti, umumnya ibu memang pemberi keputusan, mulai dari menu makan malam hingga destinasi liburan, tapi bukan berarti perasaan anak harus dikesampingkan.

5. Mengekang

Entah mengekang pilihan permainan, mengekang tidak boleh bermain ke luar rumah, hingga mengekang kebebasan anak untuk beropini. Semua bentuk pengekangan seperti itu adalah sikap toxic yang sebaiknya dihindari, karena dampaknya sangat buruk bagi anak. Mengekang anak dapat membuatnya sulit membuat keputusan, beropini, dan tidak percaya diri mengeluarkan gagasan karena takut ditolak.

6. Silent Treatment

Ini adalah menghukum anak dengan tidak mengajaknya berinteraksi sama sekali. Mungkin sulit untuk berbicara dengan anak saat Anda sedang marah besar, tetapi menerapkan silent treatment bisa berdampak buruk lho, Moms. Perlakuan pasif-agresif ini bisa merusak hubungan ibu-anak karena anak merasa tertekan untuk menyelesaikan masalah.

Jika Anda sedang marah dan kesulitan berbicara dengan baik, tenangkan dulu diri Anda dan tarik napas dalam-dalam. Setelah lebih tenang, ajak anak bicara dari hati ke hati. Jangan hanya mendiamkan anak tanpa membuatnya tahu apa salahnya dan apa yang harus diperbaiki.

7. Menakutkan

Untuk memupuk rasa hormat dan disiplin, bukan berarti anak harus takut pada orang tuanya. Hanya orang tua dengan sikap toxic yang memilih pola asuh menakutkan untuk membuat anak hormat dan disiplin. Ingat, hormat dan takut bukan sikap yang saling berkaitan, lho.

Sikap dan kebiasaan menakutkan memberi dampak negatif yang permanen pada anak. Padahal sikap saling menghormati akan lebih mudah diajarkan dengan memberikan contoh, bukan ancaman. (Tiffany/SW/Dok. Freepik)