Type Keyword(s) to Search
FAMILY & LIFESTYLE

Saat Anak Kehilangan Orang Tua, Apa yang Harus Dilakukan Keluarga Besar?

Saat Anak Kehilangan Orang Tua, Apa yang Harus Dilakukan Keluarga Besar?

Kabar tentang kecelakaan lalu lintas yang menewaskan pasangan selebriti Vanessa Angel (27) dan Febri “Bibi” Andriansyah (31), pada 4 November 2021, tentu saja meninggalkan duka mendalam bagi keluarga, sahabat, serta para penggemarnya. Bukan hanya merasa kehilangan, publik juga ikut sedih memikirkan nasib sang anak, Gala Sky Ardiansyah (1), yang harus kehilangan kedua orang tuanya. 

Gala bukan satu-satunya anak yang harus kehilangan orang tua. Di usianya saat ini, Gala mungkin belum terlalu mengerti apa yang tengah terjadi. Ia juga belum sepenuhnya mengerti tentang arti kehilangan orang yang dicintai. Lantas bagaimana dengan anak-anak lain yang ditinggal kedua orang tuanya untuk selama-lamanya? Apa yang harus dilakukan keluarga besar ketika ada seorang anak yang mendadak menjadi yatim piatu karena sesuatu hal?

Menurut psikolog Devi Sani, M.Psi, kehilangan orang tua akan sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Akan tetapi, cara menghadapi rasa duka akan berbeda-beda tergantung usia serta karakter anak.

Untuk anak yang berusia di atas 3 tahun, akan muncul kekhawatiran tentang apa yang menyebabkan seseorang bisa meninggal. Di sisi lain, mereka juga terlihat tidak terlalu memikirkannya. Jadi bisa dibilang, tampilannya seorang anak bisa bervariasi dari menangis di satu waktu, lalu bermain biasa di waktu lain. Semakin besar sang anak, maka ia akan semakin paham tentang konsep kematian.

Nah, sikap dan tindakan keluarga terhadap anak yang kehilangan orang tua karena kematian juga berbeda, sesuai dengan usia sang anak.

“Untuk anak berusia 0-2 tahun, biasanya anak belum mengerti. Tapi mereka bisa menangkap kesan emosi orang-orang yang ada di sekitarnya. Tak apa untuk memperlihatkan sedih, tetapi tidak berlebihan. Pasalnya, anak sudah merasa takut dengan situasi yang ada, namun pemahamannya belum berkembang untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi,” kata Devi Sani, M.Psi, Psikolog Anak sekaligus Certified Parent-Child Interaction Therapist dan Certified Therapeutic Play Skill.

“Sedangkan untuk anak berusia 2-5 tahun, mereka masih belum stabil untuk bisa menangkap bahwa kematian itu artinya tidak bertemu selamanya. Tapi berikan jawaban jujur, beri ketenangan dan afeksi. Adanya regresi sebagai ekspresi duka wajar. Dan untuk anak berusia 5 tahun ke atas, mulai muncul pemahaman bahwa tidak akan bisa kembali selamanya. Regresi mungkin terjadi. Dukung anak saat ia mengekspresikan emosi. Tidak perlu mengatakan 'Sudah, enggak usah nangis', karena di momen ini anak sangat boleh menangis,” jelasnya.

Perlukah diberikan penjelasan?

Berapa pun usia anak, sebaiknya ia tetap diberikan penjelasan soal kematian kedua orang tuanya, termasuk anak-anak yang masih tergolong bayi seperti halnya Gala. Hanya saja, penyampaiannya akan berbeda terhadap anak yang masih kecil dengan anak yang sudah lebih besar.

“Anak bayi, tentu mereka belum paham. Tapi kita bisa menyampaikan bahwa mama dan papanya sudah tidak ada. Penting untuk menambahkan, sekarang dan seterusnya ia akan bersama siapa. Dua kalimat cukup,” ujar Devi Sani.

“Gunakan lebih banyak bahasa tubuh yang menenangkan untuk anak usia bayi sehingga kita bisa mengembalikan lagi rasa aman yang ia rasakan. Di sisi lain, kita perlu bijak juga memutuskan apakan bayi akan dibawa ke pemakaman karena di sana akan ada banyak orang-orang yang mungkin intens dalam meluapkan emosi,” lanjutnya.

Saat anak dewasa kelak, penjelasan tentang kepergian orang tuanya tentu diperlukan. Sesungguhnya tak ada patokan usia pasti, kapan keluarga perlu memberitahu anak bahwa kedua orang tuanya telah meninggal.

“Namun saat ia mulai bisa mencari-cari orang tuanya, di saat ini sudah bisa mulai kita sampaikan bahwa mama tidak ada dan siapa yang akan mendampinginya. Semakin bertambah usia anak, keluarga bisa semakin detail dalam menjelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami. Tetapi perlu ditambahkan dengan siapa ia sekarang, dan pastikan ia tetap merasa disayang dan terjamin rasa amannya,” kata Devi Sani.

“Intinya, tetap diceritakan dengan bahasa yang anak pahami dan tidak ditutupi. Bersikaplah terbuka jika anak bertanya. Harus diingat, anak yang masih berusia di bawah 4 tahun kerap merasa bahwa kematian orang tuanya bisa disebabkan oleh dirinya. Inilah hal penting yang perlu diluruskan,” imbuhnya.

Adanya bimbingan

Selain keterbukaan, yang tak kalah penting adalah adanya bimbingan bagi anak-anak untuk bisa melalui masa berkabung. Hal ini disebabkan karena anak belum memiliki kapasitas regulasi emosi yang baik. 

Pendampingan khusus mungkin diperlukan, terutama jika terjadi hal-hal sebagai berikut:

  • Lingkungan keluarga tidak sadar sering kali melarang anak mengekspresikan kedukaannya. Misal dengan mengatakan "Sudah, jangan menangis".
  • Keluarga sering kali meminta anak untuk menghentikan tangisan kedukaannya.
  • Keluarga merasa belum bisa untuk mulai kembali kepada rutinitas biasa satu bulan setelah kehilangan.
  • Anak tidak menunjukkan kesedihannya.

Khusus bagi anak yang memiliki saudara kandung, sebaiknya juga tidak langsung dipisahkan setelah mereka kehilangan orang tua. Anak baru saja mengalami perubahan besar dalam hidupnya. Sangat disarankan untuk beri ia waktu guna menyesuaikan diri dengan perubahan ini, baru kemudian menghadirkan perubahan lainnya, seperti harus tinggal berpisah dengan adik atau kakaknya. (M&B/Wieta Rachmatia/SW/Foto: Freepik)