Type Keyword(s) to Search
FAMILY & LIFESTYLE

Mom of the Month Spesial Hari Kartini: Maureen Hitipeuw

Mom of the Month Spesial Hari Kartini: Maureen Hitipeuw

Ibu bukanlah peran yang mudah, begitu pula dengan ibu tunggal. Dengan berbagai tantangan yang dihadapi sebagai seorang ibu, stigma yang buruk tentang “janda” menambah beban ibu tunggal di Indonesia. Itulah salah satu dari sekian banyak tantangan yang dihadapi oleh para ibu tunggal menurut Maureen Hitipeuw (43), founder komunitas Single Moms Indonesia (SMI).

Meski bukan keputusan mudah, bercerai dan menjadi ibu tunggal bukanlah hal yang disesali oleh Maureen. Ia bahkan mengaku bahwa momen itu membebaskannya dan merupakan salah satu momen penting dalam hidupnya. Namun, hal ini tak bisa dilepaskan dari proses penyembuhan luka batin yang panjang dan penuh tantangan.

Dengan pengalaman tersebut, ibu dari Alexander Rohn ini mendirikan Single Moms Indonesia untuk membantu para ibu tunggal bangkit dan berdaya bagi diri sendiri dan orang-orang yang dicintai. Bonusnya, ia juga berharap bisa mengubah pandangan buruk masyarakat tentang ibu tunggal dan membangun kondisi yang ramah ibu tunggal dalam jangka panjang.

Dalam rangka merayakan semangat emansipasi Kartini selama bulan April 2022, M&B mengajak Maureen Hitipeuw yang menjadi Mom of the Month April Spesial Hari Kartini ini berbincang lebih jauh soal ibu tunggal dan keberdayaan perempuan.

Sebagai founder dari Single Moms Indonesia, bisakah cerita sedikit tentang komunitas ini? Apa alasan Anda mendirikan komunitas ini?

Komunitas Single Moms Indonesia pertama kali berdiri pada 8 September 2014. Awalnya dari pengalaman pribadi. Jadi, sebelum resmi bercerai, aku sudah mencari komunitas. Tapi zaman dulu, di tahun 2009, belum ada komunitas khusus ibu tunggal di Indonesia. Saat itu ada banyak forum, tapi di luar negeri. Aku akhirnya turut bergabung, tapi enggak bisa relate karena aku orang Indonesia. Setelah itu pun enggak langsung membuat komunitas ini, tapi berproses dulu. Begitu resmi bercerai, aku menjalani perjalanan pribadi untuk healing.

Lalu saat dibuat pun enggak ada planning atau mimpi besar. Setelah kenal dengan single moms lainnya, semakin besar kerinduan untuk mendukung dan membantu menyediakan support system untuk para ibu tunggal. Kemudian aku mengundang 2 teman, sehingga komunitas ini diawali dengan 3 orang. Sekarang anggota kami sudah lebih dari 6.900 ibu tunggal, tersebar di seluruh Indonesia dan beberapa di luar negeri.

We’re no different than other mothers. Kita sama-sama punya struggle saat parenting, sama-sama berusaha menjadi ibu yang kuat untuk anak-anak.

Menurut Anda, apa sih yang sebenarnya dibutuhkan para ibu tunggal? Dukungan seperti apa yang diperlukan oleh mereka?

Sederhana, yang dibutuhkan adalah support dan empati. Kami enggak meminta perlakuan khusus yang istimewa. Kami hanya ingin diakui bahwa kami sama seperti ibu lain. We’re no different than other mothers. Kita sama-sama punya struggle saat parenting, sama-sama berusaha menjadi ibu yang kuat untuk anak-anak. Sebenarnya struggle-nya sama, hanya bedanya kami melakukannya cenderung sendiri.

Contoh sederhananya, enggak lagi menggunakan kata janda dalam konotasi yang negatif. Masih sangat disayangkan, bahwa kata janda, meski sangat simple, tapi sangat powerful juga. Bahkan punya kekuatan marketing di belakangnya, sehingga kadang masih digunakan sebagai gimmick. Harapannya dengan edukasi, diskusi, dan bangun awareness, banyak orang yang tersadar bahwa sebenarnya yang dibutuhkan ibu tunggal adalah support, bukan dijadikan bahan bercanda atau meme yang disebar di media sosial.

Perceraian dan kematian adalah beberapa contoh alasan seorang ibu menjadi single mom. Momen ini tentu bukanlah harapan awal dan menjadi salah satu momen penuh tantangan. Bagaimana cara ibu tunggal bisa melewati momen ini dengan baik?

Aku sering pakai analogi ini. Kalau kita naik pesawat, pramugari selalu minta untuk pakai masker oksigen ke diri sendiri dulu di saat bencana. Jadi memang kita harus menyelamatkan diri sendiri dulu, setelah itu bisa menyelamatkan anak dan orang terkasih lainnya.

Yang paling penting adalah bangkit. Caranya bagaimana? Dicari yang paling cocok. Karena proses healing yang seutuhnya adalah sesuatu yang sangat personal. It is a personal journey, enggak one size fits all, bukan seperti saat beli baju. Jadi cara healing ini perlu dicari.

Kalau dulu, aku coba beragam cara untuk healing. Mulai dari yoga, meditasi, sampai pergi ke Ubud. Soalnya, waktu itu aku merasa sangat butuh pemulihan agar bisa berfungsi dan menjalani peran ibu dengan baik.

Yang perlu diingat, single moms juga perlu mengalami 5 stages of grief dan enggak bisa dilewati. Jika dilewati, sooner or later bakal balik lagi karena ada tahapan yang enggak dihadapi. Jadi memang proses ini enggak gampang. Tapi percayalah, di ujung sana, kalau sudah tiba di titik di mana kita enggak lagi melihat ke belakang dengan penuh kemarahan dan bisa menatap masa depan dengan penuh pengharapan, that’s when you know you are healed.

Dulu awalnya, saat melihat muka mantan suami rasanya selalu emosi. Tapi kemudian aku berproses, dan aku sudah sampai di titik di mana aku dan pasangan sudah bercanda. It’s not impossible. Bercerai enggak berarti harus bermusuhan seumur hidup.

Kalau sudah tiba di titik di mana kita enggak lagi melihat ke belakang dengan penuh kemarahan dan bisa menatap masa depan dengan penuh pengharapan, that’s when you know you are healed.

Menurut Anda, apa tantangan yang sering dialami para single moms? Bagaimana sebaiknya mereka mengatasi berbagai tantangan tersebut?

Untuk tantangan ibu tunggal di Indonesia masih cenderung berat, apalagi untuk teman-teman di daerah. Buat yang di Jakarta, kita punya privilege karena orang-orangnya cenderung terbuka, meski tentu tantangannya masih ada.

Bisa dibilang, tantangan terbesar biasanya soal finansial. Jadi ada banyak kasus di mana mantan suami hilang, gone with the wind, lepas tanggung jawab. Kalau sebelumnya sang ibu bekerja, mungkin enggak akan terlalu kaget. Tapi jika sebelumnya full time ibu rumah tangga yang enggak punya penghasilan sendiri atau tergantung 100% sama suami, pasti syok cukup besar.

Kita pernah survei tentang challenge para ibu tunggal di Indonesia. Ternyata tantangan nomor 1 adalah finansial dan yang kedua emosional. Dalam kasus perceraian, enggak ada perceraian yang baik-baik saja. Pasti ada trauma atau emotional mourns yang harus dihadapi. Nah, ini prosesnya enggak gampang.

Tantangan lainnya adalah dalam hal parenting. Soalnya, dalam banyak kasus mantan suami malah menghilang. Jadi ada peran dan tanggung jawab yang harus dilakukan oleh para ibu sendiri. Menjadi ibu, juga menjadi ayah. Beruntung kalau keluarganya bisa support. Tapi banyak pula kasus di mana ibu ini hanya sendirian, sampai bertanya, “Mbak aku harus bagaimana agar ada figur ayah?”

Ditambah lagi, ada semacam stigma di masyarakat. Ya, kita tahu, kata janda masih berkonotasi negatif. Kadang-kadang kalau aku baca cerita teman-teman SMI jadi berpikir, “Ya ampun, ternyata yang mereka alami seperti di film atau sinetron. Terutama yang hidupnya di daerah.”

Contoh kasus, seorang ibu tunggal tiba-tiba menjadi buah gosip ibu-ibu sekompleks dan dikucilkan setelah bercerai. Ia dianggap berpotensi menjadi pelakor, karena sudah menjadi janda. Sedih banget! Padahal boro-boro jadi pelakor, mikirin makan dan sekolah anak saja sudah berat.

Oleh karena itu, aku dan tim SMI selalu mengajak teman-teman untuk mengubah mindset. Karena stigma enggak akan berubah dalam satu malam, maka yang perlu dilakukan adalah menjadi kuat dan berdaya. Karena kalau lemah, maka yang sering terjadi adalah malah menstigma diri sendiri. Dengan berbagai stigma ini, mereka jadi takut untuk bergerak atau bekerja. Jadi enggak maju. Berbagai stigma buruk ini sebenarnya enggak perlu kita aminkan, selama kita benar menjalani hidup.

Karena stigma enggak akan berubah dalam satu malam, maka yang perlu dilakukan adalah menjadi kuat dan berdaya.

Jadi, mengubah stigma ini memang termasuk prioritas utama untuk memperbaiki kehidupan para ibu tunggal, ya?

Iya, itu salah satunya. Tapi yang paling penting adalah menjadi ibu tunggal berdaya. Karena memang wajar banget jika di awal masa perceraian dunia terasa berakhir, apalagi jika perceraiannya karena orang ketiga. Tapi yang kupelajari, ternyata teori Kuble Ross tentang “5 Stages of Grief”, juga berlaku untuk yang bercerai.

Di SMI, kita mengajak untuk mencari cara menyembuhkan luka batin lalu bangkit. Kenapa penting? Karena ada anak. Enggak mungkin kan, kita sebagai ibu bilang ke anak, “Sebentar, Ibu mau healing dulu.” Selain itu, anak biasanya punya hubungan batin yang dekat dengan ibu. Hal ini pun aku rasakan sendiri.

Saat dulu aku berpisah dengan mantan suamiku, anakku masih kecil, masih belum genap 3 tahun. Di umur segitu, ia sudah merasa bahwa ada yang salah dengan ibunya, sehingga sering rewel. Waktu itu ibuku yang mengingatkan, “Ya, iyalah anakmu rewel, soalnya kamu rewel dan nangis mulu.”

Komunitas kami punya internal joke, bunyinya, “Eh ibu-ibu, rezeki dari Tuhan, bukan dari mantan suami.” Harus diingatkan seperti itu agar enggak terlalu berharap, daripada ujungnya emosi jiwa dan bertengkar terus. Jadi, memang harus bangkit dan berdaya, baik secara finansial atau emosi. Apa pun caranya.

Ada banyak banget perempuan yang enggak dibikin berdaya selama menikah. Mantan suami bisa menjadi sosok yang toxic, abusive, fisik maupun emosional. Ada banyak yang setelah menikah istrinya enggak boleh kerja. Itu sebenarnya bisa termasuk sebagai abusive power. Jadi istri dibuat enggak berdaya agar tergantung dan enggak bisa lepas. Menyedihkan sekali.

Menyembuhkan luka batin lalu bangkit. Kenapa penting? Karena ada anak. Enggak mungkin kan, kita sebagai ibu bilang ke anak, “Sebentar, Ibu mau healing dulu.”

Apa sih yang menjadi passion Anda?

Aku kalau sudah bicara soal single mom bisa semangat banget. Haha. Aku sangat concern dan passionate soal pemberdayaan perempuan. Enggak hanya seputar ibu tunggal, tapi semua perempuan. Karena perempuan adalah sosok yang punya super power dan potensi yang luar biasa.

Di bulan ini, M&B merayakan semangat emansipasi perempuan. Menurut Anda, bagaimana komunitas Single Moms Indonesia turut mendukung semangat ini?

Kami sangat dipengaruhi oleh Kartini. Menurut kami, pemberdayaan para ibu tunggal mau enggak mau harus dimulai dari rumah, apalagi kita sebagai ibu. Generasi depan itu ada di tangan kita, lho. Kalau kita enggak bisa menjadi contoh sebagai perempuan yang kuat dan berdaya, bagaimana dengan anak kita? Karena kita harus walk the talk. Jadi, enggak hanya menjadikan Kartini sebagai slogan saja, tapi benar-benar diterapkan dalam kehidupan.

Aku sendiri sangat senang dengan Kartini. Kalau bisa dibilang, beliau adalah woman beyond the times. Walaupun ia sendiri akhirnya menikah dan menjadi istri ke sekian, ia punya visi yang sangat maju. Apakah kita sudah merdeka? Apakah kita sudah menjadi diri kita seutuhnya? Inilah yang harus kita tanyakan ke diri kita sendiri sebagai refleksi.

PR-nya masih banyak. Apalagi kalau bicara soal kesetaraan gender, terlebih lagi di daerah. Edukasi ini enggak cuma PR perempuan, tapi laki-laki juga harus diedukasi tentang seksisme dan kesetaraan. Dan perlu diakui, Indonesia cenderung masih patriarkis banget. Jadi memang mungkin masih panjang perjalanannya. Intinya, harus berawal dari keluarga.

Apa prinsip Anda saat merawat Si Kecil? Apakah ada perubahan dari sebelum hingga menjadi single mom?

Pastinya ada. Dulu di awal masih ideal. Tapi sekarang aku lebih go with the flow. Karena enggak ada buku panduan menjadi orang tua, ya. Memang ada banyak tips di sekitar, tapi belum tentu cocok juga dengan keadaan kita. Jadi, sekarang aku dan anakku lebih santai. Apalagi di usianya sekarang yang sudah remaja, jadi lebih menantang dibandingkan dulu saat ia masih bayi. Aku pun masih punya banyak PR untuk belajar menangani anak remaja yang moody, yang gampang emosi. Aku lebih mengikuti perkembangan anakku sendiri.

Bagaimana tantangan sebagai ibu tunggal dari pengalaman pribadi Anda?

Sama dengan tantangan teman-teman lain. Nomor satu pastinya finansial. Apalagi dari tahun 4 tahun lalu, bapaknya anakku meninggal. Sebelum meninggal hubungan kami baik, bisa co-parenting dan ia tetap membiayai anaknya walaupun sudah menikah lagi. Nah, setelah meninggal, beban finansial 100% di aku. Kadang anxiety tiba-tiba muncul. Tapi aku percaya yang namanya rezeki pasti ada. Aku hanya perlu berusaha dan bersyukur.

Kalau dari sisi parenting, aku agak khawatir dengan kehadiran figur ayah. Untungnya aku punya adik laki-laki. Ia cukup dekat dengan anakku, jadi bisa mengisi kekosongan. Kadang-kadang tepikir bahwa sekarang anakku sudah enggak punya bapak, agak sedih. Apalagi hubungan aku dengan mantan suami baik. Jadi pas beliau meninggal pun aku sedih banget.

Di sisi lain, co-parenting yang berjalan baik ternyata bermanfaat banget untuk anakku. Ia enggak pernah merasa bahwa ia adalah anak broken home. Aku cerai di tahun 2010, dan sekarang sudah masuk tahun ke-12. Selama ini, aku menyadari jika aku merasa baik dan aman, maka anakku juga merasa aman.

Jika dirangkum, apa saja 3 hal yang paling penting di dalam hidup Anda?

Tanpa bermaksud selfish, tapi nomor satu ya, diri sendiri. Kenapa? Karena misalnya aku enggak baik-baik saja, bagaimana nanti aku bisa menjalani tugas sebagai ibu tunggal? So I need to be ok with myself. Aku harus ada di titik di mana aku bahagia dan enggak mencari kebahagiaan dari luar.

Yang kedua anakku, karena semata wayang. Haha. Aku berharap ia tumbuh menjadi seseorang yang punya dampak positif bagi dunia. Pasti itu menjadi doa kita semua sebagai ibu.

Yang ketiga, keluarga. 2 tahun belakangan ini cukup berat. Aku kehilangan kedua orang tua dalam waktu berdekatan. Aku seperti tersadarkan, "Wow, life is short and family is everything." (M&B/Gabriela Agmassini/SW/Foto & Digital Imaging: Saeffi Adjie)