Pada tanggal 12 April 2022 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam rapat paripurnanya resmi mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pengesahan UU TPKS merupakan bentuk kehadiran negara dalam melindungi korban kekerasan seksual.
Melansir situs Komnas Perempuan, penyusunan draf RUU TPKS sudah dilakukan selama sekitar 8 tahun. Sejak 2014, draf RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) disusun melalui berbagai rangkaian diskusi, dialog, dan penyelarasan dengan berbagai fakta dan teori.
Selain itu juga dilakukan kajian dengan mencermati kasus kekerasan seksual yang terdokumentasi dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2001-2010 yang mencatat adanya 15 jenis kekerasan seksual. Angka tersebut berkembang dari semula hanya 10 jenis kekerasan seksual, 11 jenis, dan 14 jenis. Sebanyak 15 jenis kekerasan seksual tersebut kemudian menjadi landasan dalam kajian tentang ketersediaan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dapat memberikan perlindungan bagi korban dari setiap jenis kekerasan seksual tersebut.
Meski telah disusun sejak 2014, baru pada 2016 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk ke dalam daftar Penambahan Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Munculnya sejumlah kasus kekerasan seksual, termasuk kasus pemerkosaan yang menyebabkan kematian Yuyun, remaja berusia 14 tahun oleh 14 orang laki-laki di Bengkulu, kian meyakinkan lembaga legislatif dan eksekutif untuk membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Jenis tindak pidana seksual
Dalam perjalanannya, RUU PKS sempat mengalami sejumlah revisi, penghapusan pasal, dan perubahan nama menjadi RUU TPKS. Hingga akhirnya RUU TPKS disahkan menjadi UU TPKS, disebutkan 9 jenis tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 4, Ayat 1, yaitu:
- Pelecehan seksual nonfisik;
- Pelecehan seksual fisik;
- Pemaksaan kontrasepsi;
- Pemaksaan sterilisasi;
- Pemaksaan perkawinan;
- Penyiksaan seksual;
- Eksploitasi seksual;
- Perbudakan seksual; dan
- Kekerasan seksual berbasis elektronik.
Selain itu, ada juga jenis tindak pidana kekerasan seksual yang disebut dalam Pasal 1 Ayat 2, yakni:
- Perkosaan;
- Perbuatan cabul;
- Persetubuhan terhadap anak;
- Perbuatan cabul terhadap anak;
- Eksploitasi seksual terhadap anak;
- Perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban;
- Pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;
- Pemaksaan pelacuran;
- Tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; dan
- Kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga.
Tidak hanya menyinggung soal jenis pidana seksual, UU TPKS juga mengatur soal sanksi terhadap pelaku, antara lain pemberian hukuman pidana dan denda terhadap pelaku pemaksaan hubungan seksual. Disebutkan juga bahwa korporasi yang terbukti yang melakukan tindak pidana kekerasan bisa diancam hukuman pidana dan denda.
Selain itu, keterangan saksi/korban dan satu alat bukti cukup untuk menentukan terdakwa. Biasanya untuk menentukan dakwaan terhadap pelaku tindak kejahatan membutuhkan keterangan saksi/korban atau alat bukti yang lengkap. Adapun alat bukti yang sah untuk membuktikan TPKS, yaitu:
- Keterangan saksi;
- Keterangan para ahli;
- Surat;
- Petunjuk;
- Keterangan terdakwa; dan
- Alat bukti lain, seperti informasi dan/atau dokumen elektronik yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pengesahan UU TPKS ini tentunya mendapat sambutan positif. Ada sejumlah manfaat dengan disahkannya UU ini, terutama bagi kaum perempuan yang lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual, yakni:
1. Masuknya peran lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dalam proses pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual. Dengan demikian, pemerintah harus memastikan kehadiran penyedia layanan berbasis masyarakat dalam pembentukan pusat layanan terpadu.
2. Menekankan adanya victim trust atau dana bantuan bagi korban kekerasan seksual yang merupakan kompensasi negara kepada korban tidak pidana kekerasan seksual.
3. Adanya ketentuan yang mewajibkan aparat penegak hukum untuk menggelar penyidikan dan proses hukum lain tanpa menimbulkan trauma bagi korban. Selain itu UU juga melarang pelaku kekerasan seksual untuk mendekati korban dalam jarak dan waktu tertentu selama berlangsungnya proses hukum.
4. Adanya ketentuan tentang hak korban, keluarga korban, saksi, ahli, dan pendamping untuk memastikan terpenuhinya hak korban dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan, sekaligus memberikan perlindungan bagi keluarga, saksi, ahli, dan pendamping korban.
(M&B/Wieta Rachmatia/SW/Foto: Freepik)