Setiap pasangan yang sudah menikah tentunya mendambakan pernikahan yang harmonis dan rukun selalu. Namun, tak bisa dimungkiri, terkadang dalam kehidupan berumah tangga muncul perbedaan pendapat yang bisa saja berujung kepada keributan dan pertikaian antara suami istri, sehingga bukan tidak mungkin tebersit keinginan untuk menyudahi pernikahan dan memutuskan untuk berpisah atau bercerai.
Proses perceraian barangkali akan lebih mudah diambil buat pasangan yang belum punya anak. Namun, ketika pasangan sudah dikaruniai anak, mereka akan berpikir beribu kali buat berpisah dan lebih memilih untuk mempertahankan rumah tangga demi anak.
Meskipun begitu, kehidupan pernikahan mungkin tidak akan seharmonis seperti sebelumnya, dan boleh jadi anak yang justru akan jadi korban dari situasi tersebut. Ia bisa saja mengalami depresi.
Apalagi, jika anak sudah menginjak usia remaja. Cepat atau lambat, ia bakal tahu mengenai kondisi pernikahan orang tuanya yang sudah tak lagi harmonis. Bahkan, sang anak mungkin saja akan mempertanyakan, kenapa kedua orang tuanya tidak memutuskan untuk bercerai saja?
Bertahan atau memilih bercerai?
Menurut Liza Marielly Djaprie, psikolog klinis, saat menikah, kita tentu tahu apa alasan kita mau menikah dengan pasangan kita. Kita juga pastinya punya visi dan misi bersama yang jelas ketika menikah, ada komitmen dengan pasangan, dan ada kerja sama.
“Tapi, tentu saja (dalam pernikahan) ada kondisi-kondisi di mana kemudian konflik tidak terelakkan, mungkin beda pendapat, bertengkar. Pertanyaannya kemudian adalah apakah bisa diperbaiki atau tidak. Kalau masih bisa diperbaiki, maka diusahakan sebisa mungkin untuk diperbaiki tentunya, karena rasanya hampir tidak ada orang yang menikah punya target untuk nantinya bercerai. Apalagi jika sudah punya anak,” jelasnya.
Namun sayangnya, sering kali pasangan bertahan di dalam pernikahan yang memang memiliki konflik dan bermasalah, tapi tidak ada usaha dari kedua belah pihak, baik suami maupun istri, untuk sama-sama berusaha memperbaiki hubungan tersebut dan berkomitmen untuk menjadi lebih baik.
“Sehingga mereka mempertahankan pernikahan hanya karena anak, karena status, karena kebutuhan pekerjaan, karena keluarga, atau karena kondisi perekonomian. Jadi mereka memilih untuk bertahan.”
Dijelaskan oleh Liza, ini tentu saja merupakan kondisi yang secara psikologis tidak baik dan secara sosial pun tidak baik, karena di dalam hubungan yang tidak membantu kita untuk tumbuh dan berkembang dengan lebih baik, kita pasti akan stres. Apalagi jika di dalam pernikahan sudah ada anak. Ini akan bisa menjadi trauma tersendiri buat sang anak.
“Jadi, kalau memang kesepakatannya tetap bersama demi anak, mereka mesti memperbaiki hubungan tersebut, ketemu di tengah, sama-sama saling memahami apa yang disuka dan tidak disuka pasangan, apa yang harus dicegah untuk tidak dilakukan. Turunkanlah ego agar anak punya lingkungan keluarga yang kondusif untuk ia tumbuh dan berkembang.”
“Enggak bisa egois. Kalau kita memutuskan untuk bersama, ya karena kita memang bisa mengusahakan yang terbaik untuk anak.Tentunya tidak ada pernikahan yang dalam kondisi rukun selalu dan cocok selalu, tapi bagaimana kita berusaha untuk menemukan jalan tengahnya.”
Menurut Liza, ketika memang sudah ada kesepakatan untuk tetap bersama karena ada anak, pasangan tidak bisa hanya sekadar bersama tapi di dalam lingkungan tersebut masih ada hubungan yang tidak baik, toxic, dan juga tidak kondusif.
“Karena yang harus diingat, children see children do. Ketika kelak nanti anak kita punya keluarga sendiri, apakah kita mau dia membangun keluarga seperti yang dia contoh dari orang tuanya? Itu yang harus ditanyakan pada diri sendiri, pada pasangan.”
Begitu pula ketika keputusan untuk bercerai mesti diambil. Menurut Liza, kalau memang ternyata sampai harus berpisah atau bercerai, bagaimana kita bisa menciptakan kondisi yang kondusif dalam perpisahan tersebut, bukan sibuk cari sekutu dengan anak, menceritakan kejelekan pasangan, atau bahkan tidak bercerita sama sekali—sehingga anak jadi bingung, tidak juga merangkul anak untuk sama-sama berdiskusi yang berkaitan dengan emosinya.
“Karena itu, mau tetap bersama atau mau berpisah, sebagai pasangan, kita tetap harus berusaha menciptakan lingkungan yang kondusif buat anak, karena anak butuh dan punya hak untuk bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dalam lingkungan yang kondusif. Banyak, kok, yang memang bercerai tapi lebih bisa menciptakan lingkungan yang kondusif buat anak, tapi ada juga yang masih bersama tapi kemudian tidak membawa kebaikan (buat anak).”
“Misalnya masih mau bersama, ya, ciptakan lingkungan yang kondusif tersebut semaksimal mungkin, bagaimana bisa saling ketemu di tengah, bagaimana menjalankan perannya masing-masing, bagaimana bisa saling menurunkan ego. Nah, hal yang sama juga harus dilakukan kalau memutuskan untuk bercerai, bagaimana sama-sama bisa berusaha untuk memberikan yang terbaik buat anak, bagaimana bisa sama-sama menurunkan ego untuk menerapkan co-parenting yang baik untuk anak,” tutup Liza.
Baca juga: Tips Menjalankan Co-Parenting yang Efektif
(M&B/SW/Foto: Freepik)