Berdasarkan penelitian terbaru, trauma dapat berefek panjang baik pada kesehatan mental maupun fisik. Hal ini disebabkan adanya perubahan DNA, sehingga berdampak pada kemampuan seseorang untuk pulih dari stres. Dilansir melalui Babycenter, penelitian yang dilakukan pada anak-anak yang pernah mengalami kekerasan ini pun semakin menambah deretan bukti bahwa pengalaman yang pernah dialami dapat mengubah aktivitas gen di dalam tubuh.
“Ini bisa menjelaskan mengapa anak-anak yang mengalami stres di masa kanak-kanaknya memiliki banyak masalah, seperti tidak berprestasi di sekolah, mengalami masalah dalam bidang akademis, atau sulit untuk menentukan sebuah pilihan dan berpendapat,” jelas Seth Pollak, seorang psikolog sekaligus peneliti perkembangan anak dari University of Wisconsin-Madison, AS.
Penelitian dilakukan oleh Pollak dan timnya dengan mengamati sel darah anak-anak yang pernah mengalami kekerasan untuk memeriksa perubahan yang terjadi pada metilasi di dalam DNA. Mereka merekrut 18 anak yang pernah mengalami trauma penganiayaan di masa kecil. Sebagai perbandingan, mereka juga menyertakan 38 anak dari lingkungan yang sama namun tidak pernah mengalami kekerasan.
Hasilnya menunjukkan kalau anak-anak yang memiliki trauma masa kecil memiliki metilasi DNA yang berbeda dengan anak yang kehidupannya baik-baik saja. Pollak menyebutkan, “Walaupun mereka bisa merasakan berbagai emosi seperti orang lain, namun saat kecewa, marah, atau emosi, mereka tidak bisa meredamnya. Hal tersebut akan meningkatkan level stres, emosi, serta kemarahan.” Dengan adanya penelitian ini, Pollak pun menambahkan masalah kekerasan pada anak tidak hanya sekedar menjadi masalah sosial atau kesejahteraan saja, melainkan menjadi masalah biomedis dan perlu dilihat selayaknya sebuah penyakit. (Sagar/DT/Dok. Freedigitalphotos)