Terapi suara menggunakan singing bowl mungkin belum terlalu dikenal. Namun, ketertarikan dan keahlian memainkan singing bowl membuat Adeline Windy membawa warna baru pada dunia terapi kesehatan mental maupun fisik di Indonesia. Bukan hanya itu, Adeline juga sudah sejak lama menekuni yoga dan teknik pernapasan buteyko.
Apa yang dijalaninya saat ini, yang juga sudah menjadi profesi tetapnya, membawa dampak besar dalam kehidupannya, baik untuk dirinya sendiri sebagai pribadi maupun saat mengemban perannya sebagai ibu dari seorang gadis kecil bernama Sora Gea.
Hal apa yang membuat wanita yang akrab disapa Adel ini tertarik pada berbagai profesi yang ia jalani saat ini? Seperti apa dampak yang ia rasakan dari segala keahlian yang dimilikinya pada pengasuhan Si Kecil? Sebagai ibu tunggal, apa saja tantangan yang ia hadapi saat mengasuh sang putri semata wayang? Yuk, simak wawancara eksklusif M&B untuk lebih dekat dengan sosok Adeline Windy berikut ini.
Anda menjalani berbagai profesi, sebenarnya apa yang membuat Anda tertarik dengan hal-hal tersebut?
Saya berasal dari keluarga yang awareness akan kesehatan holistiknya cukup rendah. Jadi kalau sakit, biasanya kami langsung minum obat. Nah, sekian tahun melihat keluarga saya secara kesehatan tidak cukup baik dan kami pun mengonsumsi obat medis cukup lama pada saat itu, ternyata kami tidak pernah tahu bahwa sakit fisik itu punya kaitan yang kuat dengan sakit secara emosional atau batin. Akhirnya saya memutuskan untuk mempelajari apa yang saya jalani saat ini. Pertama kali di tahun 2000, saya ambil training prana healing, yoga di tahun 2007, kemudian di tahun 2018 memutuskan untuk training singing bowl hingga sekarang.
Boleh dijelaskan, sebenarnya singing bowl itu apa, sih?
Singing bowl merupakan sejenis lonceng berbentuk mangkuk yang menghasilkan beragam suara, tergantung pada ukuran dan bahannya. Kinerja singing bowl memanfatkan dua hal. Pertama, suara, yang bisa menurunkan gelombang otak. Ketika kita mendengar suara dari singing bowl tersebut, kita akan merasa lebih rileks. Jadi dari sisi emosi, kalau kita lebih rileks, maka ketika kita mau melakukan afirmasi akan lebih tepat dilakukan di saat kondisi tersebut. Sementara dari sisi kesehatan fisik, kalau gelombang otak kita turun, physically kita akan lebih sehat, napas juga jadi lebih pelan saat kita rileks.
Kedua, singing bowl memanfaatkan getaran. Getaran dari singing bowl itu kalau dibunyikan, bisa masuk ke matriks energi di badan atau di sekeliling kita. Jadi, kalau ada blockage atau sumbatan dalam tubuh, getaran tersebut bisa membantu mengurainya, efeknya bisa seperti pijatan.
Terapi singing bowl kebanyakan diterapkan pada klien saya yang memiliki masalah depresi. Kalau sudah depresi, badan jadi lemah dan mereka akan disconnected terhadap fisiknya. Mereka bisa merasa capek terus, tidak tahu di mana sakit yang dirasakan di tubuhnya.
Nah, singing bowl bisa membantu mereka untuk mengetahui apa yang dirasakan di tubuhnya, misalnya perut yang bergetar atau terasa sesuatu di punggung saat mendengar suara singing bowl.
ketika kita punya clarity, sadar dengan yang kita lakukan, kita bisa merespons sesuatu dengan lebih sehat.
Dari semua keahlian yang Anda miliki, apakah berpengaruh pada bagaimana Anda menjalani peran sebagai ibu serta pengasuhan Si Kecil?
Sangat berpengaruh. Saya jadi merasa punya clarity. Kita kan hidup di dunia di mana semua serba cepat, semua jadi prioritas, entah itu keluarga, pekerjaan, kesehatan, menjadi cantik, semua jadi prioritas.
Nah, ketika semua hal dijadikan prioritas, otomatis kita selalu ingin berada di posisi di mana kita bisa survive terus-menerus. Otomatis hal ini membuat kita di satu masa atau sering kali tidak clear ketika berpikir dan menjawab atau merespons sesuatu. Maka, tidak heran kalau ibu-ibu itu sering nyanyi dalam tanda kutip ya. Tapi ketika kita punya clarity, sadar dengan yang kita lakukan, kita bisa merespons sesuatu dengan lebih sehat.
Sementara pada pengasuhan Sora, saya merasa semua tidak ada lagi pemaksaan. Jadi, saya tidak merasa dominan atas anak. Secara emosional, ketika terjadi sesuatu dengan Sora, saya bisa cukup peka untuk menanyakan dan menggali akar masalahnya apa.
Misalnya ketika ia menangis karena sesuatu, saya bukan menyuruhnya diam, tapi saya tanya apa yang ia rasakan. Hal ini mungkin tidak kita pelajari dari orang tua zaman dulu ya, karena memang ada perbedaan waktu dan knowledge.
Anda membuat keputusan yang tidak mudah. Melewati masa kehamilan saat sudah berpisah dengan pasangan. Bagaimana bisa bertahan dan menjalani semuanya sendiri saat itu?
Setiap fase kehidupan itu pasti ada siklusnya. Ketika hamil ada kekacauan yang muncul, tapi di saat yang sama, juga ada berkah yang muncul. Jadi, saya tahu bahwa kehadiran Sora bukan untuk menghibur saya atau sebagai pemanis, tapi untuk memberi saya pelajaran penting dalam hidup.
Dan saya mempersiapkan diri untuk itu, sehingga saya memutuskan untuk melanjutkan kehamilan yang sebenarnya waktu itu cukup menantang. Karena selain harus mengurus semuanya sendiri, saya juga mengalami emotional imbalance, bukan hanya karena perpisahan, tapi sebagai dampak dari ketakutan akan masa depan.
Saya pernah tidak yakin dengan diri sendiri, apakah saya mampu untuk jalan terus ke depan. Ketakutannya saat itu besar sekali. Tapi yang membuat saya tetap jalan adalah tidak yakin apa-apa. Sedikit demi sedikit, apa yang terjadi hari ini saya jalani, begitu pun setelah berganti hari, ya jalani saja.
Kehadiran Sora bukan untuk menghibur saya atau sebagai pemanis, tapi untuk memberi saya pelajaran penting dalam hidup.
Di society kita, terkadang figur ayah dan ibu itu dipisah. Seakan-akan itu dua figur berdasarkan gender, perempuan dan laki-laki, padahal tidak seperti itu. Ada juga anak yang hanya diisi satu orang tua, tapi bisa tumbuh secara fisik, emosi dan spiritualnya sehat.
Selama ini yang saya lakukan adalah menjalani kedua figur tersebut. Jadi kalau dari sisi bapak, mungkin saya bisa memberi pengertian bagaimana mendekati teman atau berhadapan dengan sesuatu. Kalau ibu kan nurture ya, memberi makan, merawat. Bapak itu adalah orang yang mengayomi anak, sedangkan ibu orang yang memberikan kebutuhan-kebutuhan dasar anak. Jadi, kita bisa menjalankan kedua figur itu.
Saat ini, secara majority saya yang mengurus Sora. Bisa dibilang porsi pengasuhan 80 persen di saya dan 20 persen di ayahnya. Sora masih berinteraksi dengan ayahnya. Saya juga mengajarkan dia bahwa tidak ada baik dan buruk. Artinya relasi seperti ini bukan hal buruk, memalukan atau jadi tabu. Di masa depan mungkin dia akan mengalami hal ini juga.
Pada akhirnya saya jadi melatih Sora tentang compassion juga, melihat segala sesuatu dari sisi yang netral. Misalnya, ketika ia dipukul oleh anak lain, mungkin kita akan bilang “udah enggak apa-apa”. Tapi kalau saya, semuanya harus disesuaikan dengan kasusnya juga, saya bilang “kalau kamu merasa butuh untuk membela dirimu, you go ahead do something with that.” Tapi kalau dia merasa ada sesuatu yang dia lakukan sebelumnya, sehingga dia dipukul, ya saya bilang pada Sora untuk minta maaf atau lakukan sesuatu. Jadi, ketika melihat orang lain memukul, itu bukan sesuatu yang jahat, pasti ada alasan di balik itu.
Apa saja tantangan yang Anda rasakan saat mengasuh Sora?
Tantangannya adalah terkadang saya merasa overwhelmed. Kalau kita mengasuh secara fisik sebetulnya gampang banget. Tapi mengasuh secara emosional itu yang agak susah. Kita kan tidak bisa menitipkan anak sembarangan, apalagi pada orang yang mungkin kita saja tidak yakin mereka memiliki emotional handling yang cukup baik. Jadi, ada kekhawatiran juga di masa depan, bahwa di satu sisi Sora akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak cukup mandiri, tidak bisa bekerja secara teamwork, dan emotional handlingnya kurang cukup baik.
Dalam hal ini, misalnya di budaya kita, ketika anak menangis pasti kita akan suruh diam. Suatu kali, saya pernah ada di situasi di mana Sora menangis di mal, dia meraung-raung sampai berguling-guling di lantai. Saat itu ada kakak saya yang ikut bersama kami, dia menyuruh saya untuk memeluk dan mengajak main Sora agar ia berhenti menangis. Tapi saya bilang, “No, saya tidak mau melakukan itu.” Karena menurut saya, penting untuk Sora tahu bahwa semua dalam hidup itu tidak bisa diambil. Jadi kalau dia minta mainan, sesuatu yang lebih besar atau lebih banyak, kita tidak perlu kasih semua atau menurutinya. Tapi apakah kita atau caregiver-nya tahan dan punya kemampuan untuk bersikap seperti itu, kan tidak semua orang punya kemampuan tersebut. Jadi, itu tantangan terbesarnya.
Apa saja hal-hal yang ingin ditanamkan pada Sora soal kehidupan?
Pertama, hidup itu tidak semuanya harus didapat. Kedua adalah team work. Bahwa however Sora harus bisa bekerja sama, baik dengan keluarga atau siapa pun. Bukan hanya dalam masalah profesional, tapi juga saat menjalankan sesuatu. Kita sering kali bilang ke anak, “Kamu harus jadi anak yang mandiri,” tapi saya tidak begitu. Untuk sukses secara mental dan fisik, anak-anak butuh dilatih untuk bisa kerja dalam tim. Nah, untuk bekerja dalam tim itu ada banyak aspek yang kompleks banget, mulai dari emosi, fisik, dan lain-lain.
Untuk sukses secara mental dan fisik, anak-anak butuh dilatih untuk bisa kerja dalam tim.
Anda dan Si Kecil memilih menerapkan pola makan plant based, mengapa demikian?
Mengapa kami menjalankannya, pertama dari sisi ethical. Kadang-kadang kita makan tanpa sadar apa yang terjadi di balik proses makanan yang kita makan tersebut. Saya beri tahu Sora bagaimana proses pengolahan makanan yang ia makan sampai jadi itu seperti apa, misalnya nasi itu berasal dari padi. Atau saya beri tahu pula bahwa ada banyak binatang yang terpaksa harus dikorbankan untuk kepuasan manusia. Jadi apa pun pilihannya nanti, Sora tahu bahwa dia melakukannya secara sadar.
Alasan kedua adalah dari sisi kesehatan. Plant based kan ada banyak option, sudah ada yang fast food juga. Jadi, kami bukan hanya menganut plant based-nya saja, tapi juga ke pilihan-pilihan makanan yang jauh lebih simpel, risikonya rendah di badan. Bukan berarti harus yang farm to table ya, tapi yang gampang dicerna oleh tubuh Sora.
Dengan menerapkan pola makan ini, bisa saya lihat, bahwa Sora jarang sakit, bukan cuma karena pilihan makanan tapi juga karena aktivitas. Hal yang penting juga, sebisa mungkin kami mengurangi konsumsi makanan dan minuman instan.
Bagaimana cara Anda membagi waktu untuk diri sendiri, pekerjaan, dan Sora?
Saya harus mengutamakan diri sendiri dulu. Saya harus sehat secara physically dan emotionally. Jadi, kalau bangun pagi, saya mengurus diri sendiri dulu. Entah itu meditasi, olahraga, breathwork, oil pulling, macam-macam lah.
Nah, ketika saya sudah siap, baru saya mengurus anak. Jadi bangun tidur tuh saya bukan langsung sibuk mengurus sarapan untuk Sora. Saya pastikan diri saya siap dulu. Saya juga tidak memaksakan diri untuk mempersiapkan semuanya sendiri, yang mungkin nantinya malah mengorbankan badan dan mental saya. Misalnya, soal makanan tadi, selama saya bisa cukup penghasilan, saya bisa order makanan.
(M&B/Vonda Nabilla/SW/Photo & Digital Imaging: Insan Obi/MUA: Rezy Andriati (@rezyandriati)/Stylist: Thalita Putik/Wardrobe: Senora (@senorathelabel), Ellow! (@ellow.kids)/ Location: Hotel Borobudur Jakarta (@hotelborobudurjakarta))
- Tag:
- Adeline Windy